Sore itu, di teras rumah Aruni, udara terasa lebih hangat dari biasanya. Bukan karena terik matahari, melainkan karena kelegaan dan kehangatan yang menyelimuti hati Aruni. Setelah Aruni menceritakan tentang usianya yang menginjak tiga puluh tahun, reaksi Ahmad sungguh di luar dugaan.
"Lalu kenapa, Mbak? Bukankah usia hanyalah angka?" ucap Ahmad dengan senyum tulus, seolah beban yang selama ini menghantui Aruni tiba-tiba terangkat.
Aruni menatapnya, ada genangan haru di pelupuk matanya. "Saya... saya pikir, Mas akan keberatan."
Ahmad menggeleng pelan. "Justru saya kagum, Mbak Aruni sudah mapan dan mandiri di usia ini. Usia tidak pernah menjadi patokan bagi saya untuk memilih pendamping hidup. Yang terpenting adalah kesesuaian hati dan komitmen." Ia meraih jemari Aruni yang diletakkan di atas meja, menggenggamnya erat.
"Jadi, Mbak Aruni, apakah ini berarti... Mbak bersedia melanjutkan hubungan kita ke jenjang yang lebih serius?"
Jantung Aruni berdebar kencang. Dalam diri Ahmad, ia menemukan ketenangan, kejujuran, dan penerimaan yang selama ini ia cari. Keraguan tentang perbedaan latar belakang perlahan sirna digantikan oleh keyakinan.
"Iya, Mas Ahmad," jawab Aruni, suaranya bergetar menahan kebahagiaan. "Saya bersedia."
Senyum lebar mengembang di wajah Ahmad. Ada binar bahagia yang terpancar dari matanya.
"Alhamdulillah. Terima kasih, Mbak Aruni. Saya janji akan berusaha menjadi yang terbaik untuk Mbak."
Setelah kepergian Ahmad, Aruni masuk ke dalam rumah dengan langkah ringan. Senyum tak lepas dari bibirnya, membuat Pak Burhan dan Bu Aminah saling berpandangan heran.
"Ada apa ini, Nak? Kok senyum-senyum sendiri?" goda Bu Aminah saat Aruni duduk di sofa ruang keluarga.
Aruni tertawa kecil. Ia menatap kedua orang tuanya yang selalu khawatir akan dirinya. "Ayah, Ibu... Aruni dan Mas Ahmad sudah sepakat."
Pak Burhan dan Bu Aminah mengerutkan kening. "Sepakat apa, Nak?" tanya Pak Burhan penasaran.
"Sepakat untuk... melanjutkan hubungan kami ke jenjang yang lebih serius," jawab Aruni, pipinya merona merah.
Seketika, raut wajah kedua orang tuanya berubah drastis. Mata Bu Aminah berkaca-kaca, dan senyum lega tersungging di bibir Pak Burhan.
"Alhamdulillah!" seru Bu Aminah sambil memeluk Aruni erat. "Ya Allah, akhirnya doa Ibu terkabul, Nak!"
Pak Burhan menepuk bahu Aruni dengan bangga.
"Syukurlah, Nak. Ayah senang sekali mendengarnya. Memang Ahmad anak yang baik. Ayah tidak salah memilihkan pria itu untukmu."
Malam itu, rumah Aruni dipenuhi suasana suka cita. Bu Aminah sibuk menelepon sanak saudara untuk membagikan kabar gembira, sementara Pak Burhan tak henti-hentinya bersyukur. Aruni merasa sangat lega dan bahagia melihat kebahagiaan orang tuanya.
Di sisi lain, Ahmad juga menyampaikan kabar gembira itu kepada ibunya, Bu Yanti.
"Bu, Ahmad mau bicara serius," kata Ahmad saat makan malam bersama ibunya.
Bu Yanti menatap putranya penuh perhatian menanti apa yang ingin dikatakan oleh putranya itu.
"Ada apa, Nak? Wajahmu berseri-seri begitu.Apa ada kabar bahagia? " tanya Bu Yanti penasaran.
"Iya, Ahmad sudah mantap, Bu," ucap Ahmad.
"Ahmad dan Mbak Aruni sudah sepakat untuk melanjutkan hubungan kami ke jenjang yang lebih serius. Kami siap untuk menikah." imbuhnya
Mendengar itu, sendok di tangan Bu Yanti nyaris jatuh. Ia menatap Ahmad tak percaya, kemudian senyum perlahan mengembang di wajahnya. Ada air mata haru yang mulai menggenang di sudut matanya.
"Benarkah, Nak? Alhamdulillah ya Allah... Akhirnya kamu mau menikah," ucap Bu Yanti, suaranya bergetar. Ia masih tidak percaya dan memeluk Ahmad erat.
"Ibu bersyukur sekali, Nak. Kamu sudah dewasa, usiamu sudah cukup, saatnya membangun rumah tangga. Aruni itu gadis yang baik, Ibu tahu."
Kebahagiaan Bu Yanti begitu tulus. Selama ini, ia selalu cemas Ahmad anaknya akan terus sendiri, fokus pada kebunnya dan melupakan urusan pendamping hidup. Kini, mendengar kabar pernikahan anaknya, seolah beban berat terangkat dari pundaknya.
*********
Tak butuh waktu lama, kedua keluarga pun sepakat untuk menyelenggarakan acara lamaran atau pertunangan terlebih dulu. Persiapan dilakukan dengan sederhana namun penuh makna. Sebuah tanggal pun ditentukan, disesuaikan dengan waktu luang Aruni dan Ahmad, serta kesediaan keluarga besar.
Pada hari yang telah ditentukan, rumah Aruni dipenuhi oleh sanak saudara dari kedua belah pihak. Aroma masakan tradisional yang harum semerbak memenuhi udara. Dekorasi sederhana namun cantik dari bunga-bunga segar dan bunga sintesis menghiasi setiap sudut ruangan.
Aruni mengenakan kebaya modern berwarna hijau pastel yang senada dengan kerudung yang membingkai wajahnya. Ia tampak anggun dan berseri-seri. Ahmad, dengan kemeja batik terbaiknya, terlihat gagah dan sedikit gugup.
Acara dimulai dengan sambutan dari perwakilan keluarga Ahmad, yang menyampaikan maksud kedatangan mereka untuk melamar Aruni secara resmi.
"Kedatangan kami kemari adalah dengan maksud baik, yaitu ingin melamar mbak Aruni untuk menjadi istri anak kami Ahmad, Apakah lamaran ini di Terima? " Tanya perwakilan dari Ahmad.
Kemudian, giliran perwakilan keluarga Aruni yang memberikan sambutan dan jawaban atas maksud baik keluarga Ahmad dan menyatakan kesediaan mereka untuk menerima lamaran tersebut setelah berbicara dengan Aruni.
"Dengan senang hati, kami sudah bertanya kepada putri kami apakah dia mau menerima lamaran ini. Dan ternyata anak kami menerima Lamaran ini." ucap ayah Arun dengan penuh kebahagiaan.
Hari itupun Arun dan Ahmad resmi betunangan, Sebagai tanda Cincin pertunangan pun disematkan di jari manis Aruni oleh Bu Yanti, sebagai simbol ikatan yang akan segera terwujud.
Suasana haru dan bahagia menyelimuti seluruh ruangan. Senyum tak lepas dari wajah Aruni dan Ahmad, begitu pula dari wajah kedua orang tua mereka. Setelah sesi tukar cincin, dilanjutkan dengan doa bersama dan ramah tamah. Aruni dan Ahmad duduk berdampingan, menerima ucapan selamat dan doa restu dari para tamu. Hati mereka dipenuhi rasa syukur dan harapan akan masa depan yang cerah.
Saat acara selesai, Aruni dan Ahmad duduk di teras, menikmati sisa-sisa kehangatan sore hari itu.
"Tidak menyangka ya, Mas. Secepat ini," ujar Aruni sambil tersenyum.
Ahmad menggenggam tangan Aruni. "Saya juga tidak menyangka, Mbak. Tapi saya yakin, ini adalah takdir terbaik dari Allah untuk kita." Ia menatap mata Aruni lekat-lekat. "Mbak Aruni siap hidup di desa bersama saya?"
Aruni mengangguk mantap. "Insya Allah, Mas. Saya siap."
"Tapi–," kata Ahmad, suaranya sedikit merendah, "Ada sesuatu yang ingin saya bicarakan dengan Mbak Aruni, sebelum semuanya berjalan lebih jauh." Wajah Ahmad berubah serius, ada sedikit keraguan di matanya.
Aruni menatapnya cemas. "Apa itu, Mas?"
Ahmad menarik napas panjang, sorot matanya menunjukkan keraguan yang dalam. Informasi apa yang akan ia sampaikan ini akankah memengaruhi kebahagiaan yang baru saja mereka raih?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments