PBS 02

...----------------...

"Aduh! Bagaimana ini, Bin? Aku takut," Gisel mondar-mandir didepan pintu ruang rawat.

Setelah menabrak orang tersebut, Gisel dan Bintang membawa orang tersebut ke rumah sakit. Sepertinya tidak parah hanya saja orang tersebut tidak sadarkan diri.

Karena tidak tega dan takut bermasalah Gisel sudah menghubungi kedua orang tuanya dan mereka sedang dalam perjalanan ke rumah sakit ini.

Bintang yang sejak tadi duduk dikursi tunggu, berdiri dan memeluk Gisel. Dia memberi usapan lembut dipunggungnya, memberinya ketenangan.

"Tidak apa-apa, Sel. Tenangkan pikiranmu dan jangan takut. Kita tunggu saja kabar dari dokter. Duduklah," kata Bintang.

Sebenarnya Bintang juga takut dan khawatir, tetapi dia masih bisa berpikir jernih. Lagi pula Gisel melajukan mobil dengan santai, jadi Bintang yakin jika orang yang Gisel tabrak akan baik-baik saja.

Ketakutan dan kekhawatiran Gisel teralihkan ketika mendengar suara pintu terbuka dan dokter keluar dari sana.

"Dok, bagaimana keadaannya? Dia baik-baik saja, kan?" tanya Gisel sambil berjalan menghampiri dokter.

Dokter tersenyum melihat raut wajah panik Gisel. "Tidak apa-apa, Dek. Pasien sekarang sudah sadar, hanya ada luka memar dan sedikit syok saja. Permisi ya," kata dokter.

"Silakan, Dok. Terima kasih." balas Gisel. Setelah dokter pergi dia menyeret lengan Bintang dan mengajaknya masuk ke dalam ruang rawat.

"Hai, maaf ya. Aku tidak sengaja menabrakmu." seru Gisel, dia sudah berdiri disisi ranjang pesakitan bersama Bintang.

"Iya, tolong maafkan kami. Apa kau baik-baik saja?" kata Bintang.

"Tidak semudah itu memaafkan kalian." jawab remaja yang masih menggunakan seragam SMA. Dia adalah Zo Paksa, putra bungsu dari pasangan Sera Paksa dan Victor Paksa.

Bintang dan Gisel terkejut, mereka berdua beradu pandang dan kembali menatap Zo. "Bukankah kau tidak terluka parah? Jadi, tolong maafkan kami." mohon Bintang.

Bukan Bintang yang menabraknya, tetapi dia juga berada disana. Jadi Bintang juga merasa itu adalah salah mereka berdua. Bintang juga tidak ingin Gisel merasa takut sendirian.

"Aku memang tidak berdarah-darah. Tetapi dadaku terasa sesak. Jadi kalian harus membawaku ke dokter spesialis." kata Zo, menatap dua cewek didepannya.

Kening Bintang dan Gisel menukik tajam. Keduanya kembali beradu pandang. Lalu kembali menatap Zo. "Kau ingin memeras kami?" seru Bintang dan Gisel, ternyata mereka mengarah pada hal yang sama.

Mendengar kekompakan cewek didepannya dahi Zo mengerut tajam. Mengapa mereka nyolot. "Aku tidak memeras kalian. Aku hanya ingin memastikan dengan baik keadaanku ini. Apa itu salah?"

Gisel meneguk ludah, dia takut karena remaja tersebut terlihat tidak bersahabat. Dari pada keadaan menjadi rumit lebih baik Gisel mengiyakan saja, semoga orangtuanya akan setuju dengan permintaan remaja tersebut.

"Baiklah, kita tunggu orang tuaku datang. Dan kau bisa mengatakan itu pada orangtuaku nanti." kata Gisel.

Bintang yang mendengar keputusan Gisel seketika melotot tajam, Bintang segera menatap Gisel dan menggenggam tangannya. "Hei, Sel. Kau hanya dibodohi dia. Lihatlah, dia baik-baik saja. Aku yakin dia hanya memerasmu."

"Hei, siapa yang memeras kalian! Aku hanya ingin memastikan keadaanku, itu saja! Kenapa kalian berpikir negatif tentangku?" Zo tidak terima mereka mengatakan jika dirinya tengah memerasnya. Dada Zo memang sesak sungguhan.

"Sudahlah, kalian ini adalah cewek yang tidak bertanggung jawab! Aku sangat berharap tidak akan pernah bertemu dengan kalian lagi!" Zo bangun dari ranjang pesakitan. Dia segera keluar dari sana dengan sedikit sempoyongan, selain dadanya yang sesak kepala juga terasa pening.

Brug

"Aaa..!"

Terdengar teriakan dari depan ruangan, Bintang dan Gisel bergegas kesana dan melihat apa yang terjadi. Ternyata pemuda tadi bertubrukan dengan orang tua Gisel.

"Mami," seru Gisel, dia membantu Zo berdiri dan membantunya duduk di kursi tunggu yang tidak jauh dari sana.

Mia, Maminya Gisel meminta maaf pada Zo yang tidak sengaja tadi menubruknya. Dengan rasa kesal menumpuk di dada, Zo terpaksa memaafkannya karena tidak ingin dicap tidak sopan.

Bintang yang masih berdiri di sana melipat kedua tangan didada sambil memperhatikan mereka bertiga duduk bersebelahan. Bintang melihat wajah Zo yang terlihat memerah dan sedikit pucat. Mungkin Zo benar-benar menahan sakit. Seketika Bintang merasa bersalah.

"Mi, dia yang tadi tidak sengaja aku tabrak." seru Gisel, dia menatap Maminya meminta bantuan. Berharap Mami akan membantu menyelesaikan problem ini.

"Boleh tahu siapa namamu anak muda?" tanya Mami Gisel pada Zo yang memegangi sisi kepala.

"Namaku, Zo, Tante. Aku juga meminta maaf karena terburu-buru dan berakhir bertubrukan dengan Tante." jawab Zo jujur.

Mami Gisel tersenyum lembut. "Baiklah, kau masih perlu istirahat, Zo. Mengapa kau berkeliaran di luar?"

"Pfff ..." Gisel dan Bintang membekap mulut menahan tawa mendengar ucapan Mia.

"Ehem..!" Bintang menetralisir hatinya dan menatap Zo dan Mami Gisel serius. "Tante, tadi Zo meminta untuk dibawa ke dokter spesialis."

Mami Gisel terkejut dan menatap Zo disampingnya. "Baiklah, ayo kita ke sana sekarang. Demi memastikan keadaanmu." khawatirnya.

...----------------...

Pukul 17:00, sore.

Setelah ikut mengantar Zo ke dokter spesialis. Bintang akhirnya sampai ditempat tinggalnya diantar oleh Gisel. Bintang merebahkan badan diatas kasur dengan helaan tipis setelah menaruh tas diatas nakas.

Badannya terasa lelah, begitu juga dengan pikirannya. Bintang memeluk guling dengan posisi miring, setelahnya Bintang terlelap.

Dirumah lain, remaja yang tidak lain adalah Zo sedang mendengarkan ultimatum dari sang Papa yang sudah dia anggap sebagai angin lalu.

Semua perkataan yang Papa lontarkan padanya seakan debu yang beterbangan diterpa angin. Wusss ... Hilang tak bersisa.

"Zo, apa kau mendengar Papa?" tanya Victor, dia Papanya Zo. Mereka sedang duduk diruang keluarga hanya bertiga saja dengan Sera, Mamanya Zo. Sedangkan Abangnya Zo dia sudah menikah dan tinggal dirumahnya.

Dengan malas Zo menjawab. "Hm,"

"Yasudah, belajar sana!" seru Victor.

Dengan senang hati, Zo pergi dari ruang tengah menuju kamarnya dilantai atas. Dia bergegas mengunci pintu kamar dan ambruk keatas tempat tidur. Zo menggosok telinga kanan dan kirinya dengan kedua tangan.

"Ya robb, telingaku panas sekali," lirihnya, Zo sudah hafal dengan tabiat Papa dan Mamanya. Mereka selalu saja seperti itu, sepulang sekolah pasti mereka menanyakan berapa nilai pelajaran dan berakhir mengeceknya.

Sialnya, jika nilai Zo hanya mendapat tujuh, mereka pasti akan memberinya ultimatum seperti tadi, mungkin satu jam, dan itu sangat membosankan.

Zo terkadang tak habis pikir dengan kedua orangtuanya, otak manusia itu kapasitasnya tidak sama dengan manusia yang lainnya. Tetapi kenapa mereka selalu memaksanya untuk mendapat nilai seratus?

"Jika Papa dan Mama terus begitu. Aku akan bun.uh diri," Kata Zo penuh tekad.

Terpopuler

Comments

R 💤

R 💤

hei Thor, aku mampir. sudah ku subscribe biar tidak ketinggalan up terbaru,, smngtt terus /Drool//Drool//Drool/

2025-06-06

0

Mommy Ana

Mommy Ana

padahal mendapatkan nilai seratus itu susah banget

2025-06-02

0

DeanPanca

DeanPanca

like nya nyusul ya Thor. tiap mau like gak bisa.

2025-06-03

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!