Bab Lima

Vania berdiri di samping Khanza. Membuat dia jadi malu buat buka baju.

"Mbak, kenapa masih di sini?" tanya Khanza dengan suara lemah.

"Aku mau bantu kamu mandi," jawab Vania dengan tersenyum.

"Aku bisa mandi sendiri. Lagi pula aku malu kalau Mbak ada di sini."

"Aku akan balik badan. Kamu cepat aja mandinya. Sumpah, deh. Aku tak akan ngintip!" ucap Vania.

 Vania langsung membalikkan badannya. Mana mungkin dia meninggalkan Khanza seorang diri. Bisa-bisa dia akan mencoba bu'nuh diri lagi, pikir gadis itu.

Beberapa saat kemudian terdengar suara air. Setelah cukup lama, akhirnya Khanza selesai mandi. Dia menyentuh bahu Vania.

"Mbak, apa aku sudah bersih?" tanya Khanza. Matanya tampak kosong. Pertanyaan yang dia ajukan itu mengandung dua arti, bersih tubuhnya karena kotoran dan atau karena dinodai. Namun, Vania mengerti apa yang dia tuju.

"Tentu saja kamu sudah bersih. Sekarang kita keluar. Kamu pakai bajuku saja."

Vania lalu mengajak Khanza keluar dari kamar mandi. Dia meminjamkan baju tidur yang dimiliki. Setelah itu rambutnya Khanza di sisir rapi.

Khanza tampak pasrah dengan apa yang Vania lakukan pada dirinya. Pandangannya masih tetap kosong. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat ini.

Vania lalu mengambil sup ayam yang telah dia panaskan. Dia lalu menyodorkan ke hadapan Khanza. Tapi dia bergeming. Lalu, Vania menyuapi makanan itu. Awalnya tak mau buka mulut, tapi karena dokter kandungan itu terus membujuk, barulah dia membuka mulut. Setengah piring telah habis.

"Aku udah kenyang, Mbak."

"Kalau begitu minum. Setelah itu tidurlah! Kamu butuh istirahat. Jangan pikirkan apa yang telah terjadi. Tubuhmu juga butuh buat tidur dan istirahat.

Setelah makan, seperti janjinya, Khanza masuk ke kamar yang Vania tunjuk. Sebelum dia masuk, tadi seisi kamar telah dibersihkan dari benda-benda tajam. Dia tak mau menanggung resiko jika Khanza mencoba mengakhiri hidupnya lagi.

Khanza melihat ke sekitar ruangan. Dia jadi teringat kejadian tadi. Dimana dia terbangun di kamar dan telah dinodai. Dia lalu berteriak sekuat tenaga.

"Tidaaakkk ...!"

Teriakan Khanza membuat Vania yang baru saja akan memejamkan mata terkejut. Begitu juga dengan pembantunya dan dua orang bidan yang biasa bekerja dengannya. Kedua orang bidan itu memang tinggal di rumah ini bersama Vania.

Keempat orang itu dan satu orang pria, supir sekaligus penjaga rumah, berlari ke arah asal suara.

"Siapa itu Bu?" tanya mereka serempak. Mereka memang memanggil Vania dengan sebutan Bu Dokter.

"Teman ku. Dia sedang sakit. Kalian kembalilah ke kamar. Biar aku saja yang melihatnya. Aku takut jika dia melihat banyak orang, akan membuat dirinya makin ketakutan," ucap Vania.

"Baiklah, Bu. Maaf," ucap salah satu dari mereka.

Vania tersenyum menanggapi. Dia lalu masuk ke dalam kamar yang di tempati Khanza. Dia melihat wanita itu menangis di sudut kamar dengan memegang kedua lututnya. Hati Vania merasakan sakit yang sama. Air mata jatuh membasahi pipinya melihat kesedihan Khanza.

Vania mendekati Khanza dan memeluknya. Mereka saling terisak.

"Kenapa aku? Apa salahku, Mbak? Kenapa harus aku yang mengalami semua ini?" tanya Khanza di sela isak tangisnya.

"Karena Tuhan yakin kamu kuat. Yakinlah Tuhan tak akan memberikan cobaan di luar kemampuan umat-Nya," ucap Vania.

"Tapi aku tak sanggup, aku mau pergi saja dari dunia ini. Aku lelah. Selama ini aku hidup sebatang kara. Saat aku mulai kuat dan mampu hidupin diri sendiri, kenapa cobaan lebih berat harus menimpaku. Kenapa mereka tega melakukan ini padaku. Apa salahku?" tanya Khanza.

"Aku yakin kamu kuat. Kamu harus buktikan pada mereka yang jahat denganmu, jika kamu tak sanggup di jatuhkan hanya dengan perbuatan mereka. Kamu itu harus bangkit. Lawan semua orang yang telah menyakiti kamu," ucap Vania.

Khanza kembali menangis. Setelah puas menangis, dia melepaskan pelukannya.

"Mbak, siapa pria yang menolong aku? Kenapa tak dia biarkan saja aku mati?" tanya Khanza lagi.

"Istighfar, Khanza. Kamu tak boleh berpikir untuk mengakhiri hidup ini."

Vania lalu mengajak Khanza naik ke ranjang. Dia lalu meminta wanita itu berbaring. Setelah itu dia selimuti.

"Tunggu sebentar, aku ambil obat dulu," ucap Vania.

Vania dengan terpaksa mengambil obat tidur agar Khanza bisa terlelap. Hanya ini satu-satunya cara agar dia bisa sedikit tenang.

Khanza memandangi langit-langit kamar. Kembali dia menangis.

Ya Tuhan, sebenarnya apa yang engkau siapkan dibalik semua ujian ini. Kenapa harus aku lagi yang merasakannya? Belum cukupkah semua luka yang ku terima sebelumnya. Harus berapa kali lagi aku menerima semua cobaan dalam hidup ini? Berapa kali lagi aku harus merasakan sakitnya dan kerasnya hidup ini? Aku tak pernah mengambil kebahagiaan orang lain, tapi kenapa orang lain selalu merenggut kebahagiaan ku. Harus berapa lama lagi aku harus menerima sakitnya? Aku hanya ingin hidupku tenang dan bahagia. Tapi kenapa aku tak bisa merasakannya seperti orang lain itu? Aku tak mengeluh atas takdir yang Engkau berikan, sesungguhnya aku benar-benar lelah, Tuhan. Bolehkah aku sejenak istirahat dan menghilang dari dunia ini?

Vania kembali dengan satu butir obat dan memberikan pada Khanza. Awalnya dia tak mau meminumnya. Vania mencoba meyakinkan jika obat ini bisa menghilangkan rasa lelahnya.

Khanza lalu meminumnya. Tak berapa lama dia merasa mengantuk dan tertidur. Vania juga ikut berbaring di sampingnya. Takut saat terbangun, wanita itu kembali menjerit.

Pagi harinya Vania terbangun karena mendengar suara Dipta yang memanggil namanya. Bibi mengatakan kalau mungkin gadis itu tidur di kamar tamu. Karena saat lagi tadi dibangunkan, dia tak berada di kamarnya.

Vania membuka pintu setelah beberapa kali Dipta mengetuknya. Matanya masih terasa mengantuk karena tidur jam tiga dini hari.

"Kenapa kamu tidur di kamar tamu?" tanya Dipta.

"Khanza tadi malam masih trauma dan berteriak. Ternyata dia memang mengalami pelecehan," ucap Vania.

"Kalau begitu kita harus bantu dia melaporkan itu," ucap Dipta.

"Bukan semudah itu, Dipta. Membayangkan kejadian itu saja dia sudah trauma. Kita gak bisa memintanya untuk bercerita saat ini. Biarkan rasa trauma itu sedikit hilang. Nanti dia akan mengatakan semuanya," ujar Vania.

"Terserah Bu Dokter saja. Aku bawa sarapan. Mandilah. Kita sarapan dulu," ucap Dipta dengan mengacak rambut Vania.

"Baik, Pak Bos." Vania lalu menutup kembali pintu kamar itu. Dia berjalan menuju kamarnya.

Terpopuler

Comments

Adelia Rahma

Adelia Rahma

malang sekali nasibmu Khanza.. udah hidup sebatang kara di lecehkan lagi dan untuk yang sudah membuat kehidupan Khanza hancur kalian akan mendapatkan karma dan kehancuran yang lebih parah dari Khanza terutama Fanny sebagai perempuan dia telah tega berbuat keji

2025-05-29

1

mbok Darmi

mbok Darmi

kasihan khanza semoga teman" yg menjebak khanza dapat karmanya dan untuk kamu yg sdh pengambil sesuatu yg berharga buat khanza seumur hidup mu hanya ada kata menyesal dan hidup mu tdk akan pernah baik" saja

2025-05-28

2

ken darsihk

ken darsihk

Semangat melanjutkan hidup Khanza lupakan yng menyakitkan diri kamu , kamu bertemu dngn orang baik jadi jangan lah berputus asa 💪💪

2025-05-28

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!