Kegelapan Jalanan dan Cahaya Tak Terduga

Sudah seminggu sejak ibunya mengusir Lisa dari rumah, dan sejak itu pula, hidupnya berubah drastis. Ia bukan lagi Lisa yang dulu, yang setiap malam pulang ke kasur empuknya.

Kini, ia seperti gadis jalanan, terpaksa tidur di emperan toko atau di bawah jembatan, berbagi tikar dengan para gelandangan lain yang senasib.

Dinginnya malam menusuk tulang, perutnya sering keroncongan, dan rasa takut selalu menghantuinya.

Setiap pagi, dengan sisa tenaga yang ada, Lisa berusaha mencari pekerjaan. Ia mendatangi satu per satu toko, warung, hingga kantor kecil. Namun, tak ada yang mau menerima dirinya.

Penampilan lusuh, mata sembab, dan bau badan yang samar-samar tercium membuat orang-orang memandangnya dengan sebelah mata.

"Maaf, kami tidak butuh karyawan," atau

"Cari saja di tempat lain," adalah kalimat yang paling sering ia dengar.

Harapan untuk hidup normal perlahan-lahan pupus, berganti dengan keputusasaan yang semakin pekat. Lisa merasa sendirian di tengah kota yang hiruk pikuk ini, tanpa arah dan tanpa tujuan.

Lisa teringat saat malam pertama ia tidur di bawah jembatan, Ia meringkuk ketakutan, mendekap lututnya erat-erat seolah ingin menghilang dari dunia.

Dinginnya malam menusuk hingga ke tulang, diperparah oleh embusan angin yang membawa bau anyir genangan air dan asap knalpot.

Suara bising kendaraan di atas jembatan tak henti-hentinya menderu, seolah mengolok-olok ketenangannya yang hancur.

Setiap ban yang melindas aspal terdengar seperti langkah kaki raksasa yang semakin mendekat, membuat bulu kuduknya berdiri.

Lisa memejamkan mata, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk yang akan segera berakhir.

Tiba-tiba, sebuah bayangan menghampirinya, disusul aroma tanah basah dan sedikit tembakau. Lisa tersentak, matanya langsung terbuka.

Di hadapannya, berdiri seorang pria tua dengan rambut acak-acakan yang sebagian besar sudah memutih, dan jenggot panjang yang tampak tak terurus.

Wajahnya dipenuhi kerutan, namun sepasang matanya memancarkan kelelahan sekaligus ketenangan. Lisa mundur sedikit, jantungnya berdegup kencang.

Pria tua itu berjongkok perlahan, tidak terlalu dekat.

"Anak muda, jangan takut," katanya dengan suara serak, seolah pita suaranya sudah lama tak digunakan.

"Di sini aman. Kita semua di sini sama-sama mencari tempat berteduh." Tangannya yang kurus terulur, menggenggam sepotong singkong rebus yang sudah dingin dan mengeras.

"Ini, mungkin bisa sedikit mengisi perutmu."

Lisa menatap singkong itu, lalu beralih ke wajah pria tua tersebut. Ada kebaikan yang tulus di sana, sesuatu yang sudah lama tak ia rasakan.

Perutnya bergejolak hebat, rasa lapar sudah mencapai puncaknya. Meskipun awalnya ragu, rasa lapar mengalahkan ketakutannya.

Perlahan, ia mengulurkan tangan dan mengambil singkong itu.

"Terima kasih," bisiknya hampir tak terdengar, suaranya tercekat.

Pria tua itu tersenyum tipis, sebuah senyum yang tak sampai ke mata namun cukup menenangkan.

Pria tua itu, yang kemudian ia tahu dipanggil Pak Raden oleh gelandangan lain, tidak banyak bicara setelah itu.

Ia hanya duduk diam beberapa meter dari Lisa, bersandar pada pilar jembatan, matanya menerawang jauh ke kegelapan.

Kehadirannya yang tenang, tanpa tuntutan, tanpa pertanyaan, secara perlahan menenangkan Lisa. Singkong itu memang dingin dan hambar, tapi kehangatan dari uluran tangan Pak Raden jauh lebih berarti.

Di malam pertamanya yang mengerikan di jalanan, Lisa menemukan bahwa bahkan di antara keterasingan, masih ada secercah kemanusiaan yang mampu meredakan badai di dalam hatinya. Ia tidak sendirian sepenuhnya.

 .

Setelah malam itu, di mana kebaikan Pak Raden menjadi sedikit penghiburan, Lisa terus berjalan.

Pagi harinya, ia meninggalkan kolong jembatan, rasa malu dan putus asa masih menempel erat. Ia tak tahu harus ke mana, hanya melangkah, menyusuri trotoar yang ramai dengan orang-orang yang sibuk dengan kehidupannya sendiri.

Hari-hari berikutnya adalah perjuangan tanpa henti. Lisa mencoba meminta-minta, namun tak banyak yang peduli.

Beberapa kali ia mencoba mencari sisa makanan di tempat sampah, menahan mual demi mengisi perut kosongnya. Ia tidur berpindah-pindah, dari emperan toko yang gelap gulita hingga bangku taman yang dingin dan basah karena embun malam.

Setiap hari adalah pertarungan melawan lapar, dingin, dan tatapan jijik dari orang-orang yang melintas. Rasa putus asa semakin menjadi-jadi, hampir merenggut semangatnya untuk bertahan. Ia merasa dirinya benar-benar sudah seperti gadis jalanan, tanpa harapan dan tanpa masa depan.

Singkatnya, setelah satu minggu terlempar dari rumah, Lisa kini adalah potret nyata dari keterpurukan.

Pakaiannya lusuh, rambutnya kusam, dan matanya cekung, dipenuhi bayangan trauma dan kelelahan. Ia telah merasakan kerasnya hidup di jalanan, bertemu dengan berbagai macam orang, dan menghadapi kenyataan bahwa dunia ini tidak selalu ramah.

Minggu pertama ini adalah pelajaran pahit tentang bagaimana bertahan hidup ketika semua yang ia miliki telah direnggut.

☘️☘️

Senja mulai menyelimuti kota, memudar menjadi warna ungu kelabu. Lisa, yang baru saja gagal lagi mendapatkan pekerjaan di sebuah warung makan, melangkah gontai menyusuri gang sempit yang remang-remang.

Ia memilih jalan itu karena lebih sepi, berharap bisa mencapai emperan toko langganannya sebelum benar-benar gelap. Namun, harapannya pupus.

Dari balik tumpukan sampah, muncullah tiga bayangan laki-laki. Mereka terlihat lebih tua, dengan tatapan mata yang tajam dan seringai meremehkan.

"Hei, sendirian saja, manis?" salah satu dari mereka menyapa, suaranya kasar dan menusuk. Jantung Lisa langsung berdetak kencang, memukul-mukul dadanya seperti genderang perang.

Keringat dingin mulai membanjiri punggungnya. Ia tahu jenis tatapan itu, jenis suara itu. Ketakutan yang luar biasa langsung menyergapnya, melumpuhkan kakinya untuk sesaat.

Dua lainnya mulai mendekat, mengurung Lisa dari sisi kiri dan kanan. Aroma rokok dan alkohol menyeruak, membuat Lisa ingin muntah.

"Mau ke mana buru-buru? Ikut kami saja, kita bisa bersenang-senang," kata yang lain, tangannya terulur mencoba meraih lengannya.

Lisa merasakan napasnya tertahan. Otaknya berteriak untuk lari, tapi tubuhnya terpaku. Matanya melirik sekeliling, mencari celah, mencari bantuan. Tidak ada siapa-siapa. Gang itu benar-benar kosong, hanya mereka berempat.

"Jangan sentuh aku!" teriak Lisa, suaranya tercekat dan bergetar hebat.

Rasa jijik dan panik membuncah. Dengan sekuat tenaga, ia mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya.

Saat salah satu berandalan itu mencoba merengkuhnya, Lisa refleks menunduk, lalu dengan gerakan cepat yang tak terduga, ia menendang keras ke arah selangkangan pria di depannya. Pria itu mengaduh kesakitan, pegangannya terlepas.

Itu adalah celah yang ia butuhkan. Tanpa berpikir dua kali, Lisa memutar tubuhnya dan berlari secepat yang ia bisa. Ia tidak peduli arah, tidak peduli apa yang ada di depannya.

Kakinya melaju kencang, jantungnya berpacu gila-gilaan, dan napasnya memburu. Suara makian dan langkah kaki di belakangnya menjadi pemicu adrenalin yang membuatnya terus berlari tanpa henti.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!