Langit tampak cerah. Anak-anak berlarian di halaman sekolah, tertawa riang. Rumi mengawasi mereka dari bangku panjang di bawah pohon besar, senyum tipis terlukis di wajahnya meski matanya tampak sayu.
"Hai, Rumi."
Suara asing itu membuatnya menoleh.
Seorang wanita cantik dengan gaun rapi dan kacamata hitam berdiri di hadapannya. Wangi parfum mahal menyusup cepat ke udara.
“Maaf, Anda siapa?” tanya Rumi sopan, berdiri dari duduknya.
Wanita itu tersenyum—senyum angkuh yang menuntun pada aura tidak bersahabat. Ia melepas kacamata pelan-pelan.
“Namaku Reva. Mungkin Radit pernah cerita soal aku,” katanya santai.
Rumi mengerutkan dahi. “Maaf, saya tidak begitu ingat.”
“Ah, ya … mungkin dia memang terlalu sibuk untuk menyebut namaku.” Reva tertawa kecil, lalu duduk di bangku yang tadi diduduki Rumi. “Aku cuma penasaran. Seperti apa, sih, perempuan yang akhirnya bisa membuat Radit menikah lagi?”
Rumi hanya diam, berusaha tetap tenang.
Reva melanjutkan, nada suaranya mulai terasa menusuk. “Guru TK, ya? Wah, menggemaskan. Tapi jujur aja, kamu nggak ngerasa ... terlalu rendah untuk masuk ke dunia Radit?”
Rumi meneguk ludah pelan. “Saya tidak merasa harus menyesuaikan dunia siapa pun. Saya hanya menjalani peran saya dengan tulus.”
“Hm, keren juga jawabannya.” Reva tersenyum miring. “Tapi jangan terlalu nyaman, ya. Karena Radit itu susah ditebak. Hari ini bisa dekat, besok bisa lupa.”
Rumi mengeratkan genggaman tangannya. “Kalau memang itu terjadi, mungkin saya yang harus belajar merelakan.”
Reva berdiri, membenahi tas kecilnya. “Good. Karena kadang, orang seperti kamu itu cuma persinggahan, bukan tujuan akhir.”
Wanita itu pun pergi, meninggalkan aroma menusuk di udara—bukan dari parfumnya, tapi dari kata-katanya.
Rumi berdiri membatu. Tangannya bergetar, tapi ia menegakkan kepala. Anak-anak di depannya masih tertawa, dan ia tahu di hadapan mereka, ia tak boleh terlihat lemah.
"Rum, siapa itu? Kok, datang-datang malah kata-katain kamu?"
Novi yang tak sengaja mencuri dengar obrolan mereka, akhirnya mendekat setelah Reva pergi.
"Mungkin ... pacarnya Mas Radit," jawab Rumi yang ia sendiri sedikit tak yakin akan jawaban itu.
"Pacar? Jadi, suamimu itu punya pacar? Tapi kenapa dia nikahi kamu, Rum?"
"Entahlah, Nov. Ini hanya dugaanku saja."
Novi tersenyum singkat lalu menarik tubuh Rumi agar sedikit lebih rapat dengannya.
"Udah, jangan sedih-sedih lagi. Lebih baik kamu tanyain langsung ke suamimu nanti."
"Aku nggak berani, Nov. Dokumen perjanjian kita melarang mencampuri urusan pribadi."
"Lho, tapi kan si perempuan itu udah menghina kamu? Masak iya, sih, kamu diam aja? Kamu juga harus mendapatkan penjelasan tentang siapa dia sebenarnya."
Rumi masih berpikir. Hubungannya dengan Radit masih sangat dingin. Tapi tiba-tiba, seseorang datang dan membuatnya makin kacau saja.
"Em, gimana kalau selesai kelas nanti kita shopping? Mau nggak, Rum?"
"Boleh. Tapi aku harus izin dulu ke Mas Radit."
"Iya, deh, iya. Si paling punya suami sekarang."
Rumi dan Novi tertawa bersamaan. Sejenak Rumi bisa melupakan tentang kedatangan Reva.
.....
"Mas Radit keliatannya capek banget. Mau aku pijitin nggak?"
Radit menoleh ke arah Rumi yang berdiri tak jauh darinya. Ia tengah duduk santai di sofa, menatap layar televisi yang menayangkan siaran acak.
Akhir-akhir ini, pekerjaannya memang cukup menguras tenaga dan pikiran. Sebagai CEO perusahaan besar, ada saja hal yang harus ia tangani sendiri.
"Aku emang nggak jago mijit, sih, Mas. Tapi boleh dicoba, kok," lanjut Rumi dengan senyum tipis.
Radit tertawa kecil, lalu mengangguk. "Ya sudah. Boleh."
Ia bergeser turun, duduk lesehan di atas karpet berbulu, membiarkan Rumi duduk di sofa di belakangnya.
Jemari Rumi mulai menyentuh pelan sisi kepalanya.
"Kalau sakit, bilang, ya."
"Nggak apa-apa. Dingin tangan kamu, ya."
"Iya, deg-degan mungkin," jawab Rumi pelan, setengah bercanda, tapi setengahnya lagi jujur.
Radit membuka mata, menoleh sedikit ke arah Rumi. Tatapan mereka bertemu sesaat.
"Kamu selalu deg-degan dekat aku?"
Rumi mengalihkan pandangan, pura-pura fokus lagi memijat. "Nggak tau. Soalnya Mas tuh suka bikin aku ...."
Rumi menggigit bibir, merasa ragu untuk melanjutkan ucapannya.
"Ketakutan?" tebak Radit, dan sialnya sangat tepat sasaran.
Karena tak ada sanggahan, Radit menganggapnya sebagai 'iya'.
Radit kembali menghadap ke depan, senyumnya mendadak tidak bisa ditahan. Ada sesuatu yang menghangat di dadanya─perasaan yang tak bisa ia jelaskan.
Diam-diam, Rumi juga mengumbar senyum yang sama. Ternyata bercanda dengan suami kontraknya ini tidak seburuk yang ia kira.
Namun, momen itu hanya bertahan sekejap.
Radit tiba-tiba bangkit, berdiri menjauh seolah tersadar dari sesuatu. Rumi menatap punggungnya, bingung.
"Mas," panggilnya pelan.
"Maaf," gumam Radit, masih membelakangi. Suaranya berubah datar. "Nggak seharusnya kita seperti ini."
"Kenapa?"
Radit menoleh, dan kali ini tatapannya jauh lebih berbeda dari sebelumnya. Dingin, seperti ada dinding tinggi yang mendadak dibangun.
"Aku butuh sendiri. Maaf."
Lalu ia melangkah ke kamarnya, menutup pintu dengan pelan. Meninggalkan Rumi yang tak hanya bingung, tapi juga merasa tertolak.
.....
Pagi ini, Rumi bersama asisten rumah tangga tampak menyiapkan sarapan bersama. Sesekali, Rumi bertanya tentang makanan apa saja yang Radit suka dan tidak.
Mereka menjelaskan secara detail, tak kurang satu pun.
Rumi pun mencatat baik-baik dalam kepala pintarnya.
Radit tampak rapi dengan setelan jas dan juga tas kerja. Ia menyusul ke meja makan setelah sempat melirik Rumi sesaat.
"Mas Radit kerja hari ini?"
Rumi bertanya sambil meletakkan lauk terakhir di atas meja. Ia juga melarang asisten untuk mengalaskan nasi ke dalam piring Radit. Entah kenapa, ia ingin melakukannya sendiri.
Karena terlalu kaya, Rumi merasa tak ada pekerjaan yang boleh dilakukan olehnya. Bahkan untuk mengelap minuman tumpah di atas meja pun, Rumi harus bergerak lebih cepat dari orang-orang yang bekerja di sana.
"Iya, ada kunjungan ke kantor cabang. Mungkin aku akan pulang malam."
Rumi tersenyum dan menatap Radit sejenak. "Hati-hati di jalan, ya, Mas. Semangat kerjanya."
Sesuatu dalam diri Radit seolah disentuh dengan lembut. Sikap Rumi yang perhatian, entah kenapa malah membuat Radit merasakan sesuatu yang berbeda dari biasanya.
Rumi terlalu baik, tak seperti mantan istrinya yang hanya memikirkan dirinya sendiri. Rumi terlalu pengertian, tak seperti mantan istrinya yang selalu menuntut banyak hal darinya. Rumi terlalu tenang, mudah memaafkan, dan penyayang.
Radit menatap piring nasinya yang kini sudah penuh. Rumi duduk di sampingnya, menuangkan air ke dalam gelas.
"Nanti Mas Radit jangan sampai lupa makan siang," katanya tanpa melihat ke arah Radit, pura-pura sibuk menata sendok.
Radit hanya mengangguk pelan, tapi dadanya terasa aneh. Hangat, seperti disentuh halus dari dalam. Ia ingin bilang terima kasih, tapi lidahnya terasa kaku.
"Kalau capek banget, jangan dipaksa, ya, Mas." Rumi menambahkan, kali ini sambil menatapnya.
Radit tak bisa menahan senyum kecil di bibirnya. "Kamu perhatian banget." Bahkan setelah semalam ia tinggalkan begitu saja.
Rumi mengangkat bahu pelan. "Soalnya Mas Radit baik."
Radit menahan napas sejenak. Kalimat sederhana itu seperti mengetuk pintu yang lama tertutup di hatinya. Ia menunduk, menyendok nasi, tapi pikirannya sibuk membongkar ulang semua kenangan. Mungkin, pertama kalinya sejak perceraiannya, ia merasa lebih dianggap.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
Obito Uchiha
reva nih apa2an, sirik sama rumi? bilang aja. rumi bukan tipe cewek seperti anda! untungnya ada novi yg bisa mencairkan suasana.
rumi mijitin radit, tapi radit buru2 tersadar dan inget kontraknya. tapi lama2 radit kayaknya baper juga tuh. apa dalam benak si radit ini semua cewek sama aja? makanya dia menyimpan trauma.
btw saya kasih bintang. masuk gak?
2025-05-26
1
Muliana
Rumi melakukan kewajibannya sebagai istri, mungkin sebagai bentuk rasa terima kasih, karena jika membayarnya dengan uang pun, Rumi takkan sanggup
2025-05-26
1
Shadiqa Azkia
Reva pasti merasa rendah diri, makanya dia memilih menghina Rumi. Secara, Rumi lah, yang mendapatkan atau yang di pilih Radit
2025-05-26
1