Rasa sakit berdenyut di belakang kepala Thanzi, namun kini bukan lagi rasa sakit fisik yang mendominasi. Gelombang memori, asing namun begitu jelas, membanjiri kesadarannya.
"Arghhh... ada apa ini?" Thanzi memegangi kepalanya, seolah otaknya akan meledak. Itu bukan ingatannya, melainkan kenangan dari jiwa yang entah ke mana, dari tubuh yang kini ia tempati. Kilasan demi kilasan membentuk gambaran hidup yang suram, sepotong demi sepotong merangkai kisah pedih tentang Thanzi, sang figuran antagonis.
Pemilik tubuh ini, seorang pemuda yang juga bernama Thanzi, adalah anak sulung dari Marquess Aerion, seorang bangsawan berpengaruh di Kekaisaran Eldoria. Nama yang besar, keluarga yang terhormat, dengan kekayaan melimpah ruah. Seharusnya, Thanzi yang asli hidup dalam kemewahan dan kasih sayang, menjadi pewaris yang dielu-elukan. Namun, realitasnya jauh lebih kejam.
Sejak kelahirannya, Thanzi tak pernah merasakan kehangatan yang layak diterima seorang anak. Ia memang anak pertama, tapi kedatangannya tak disambut sukacita, hanya formalitas dan harapan akan pewaris yang kuat. Ayahnya, Marquess Aerion, adalah pria dingin dan pragmatis yang lebih peduli pada kekuasaan. Ibunya, Lady Elara, adalah wanita cantik yang rapuh dan cenderung mengikuti keinginan suaminya karena sangat mencintai sang suami. Mereka adalah orang tua yang ada secara fisik, namun absen secara emosional.
Semua berubah drastis saat adik laki-lakinya, Michael, lahir. Kelahiran Michael adalah sebuah perayaan akbar yang mengguncang seluruh Eldoria. Michael adalah segalanya. Lahir dengan rambut keemasan berkilau seperti matahari dan mata hijau zamrud yang memesona, Michael langsung menarik perhatian setiap orang yang melihatnya. Seolah itu belum cukup, Michael diberkahi dengan bakat sihir yang luar biasa sejak usia dini, sebuah anugerah langka yang bahkan para penyihir terhebat pun hanya bisa memimpikannya. Cahaya sihir selalu menyelimuti Michael, bahkan dalam tidurnya.
Marquess Aerion dan Lady Elara menumpahkan seluruh kasih sayang dan perhatian mereka kepada Michael, memujanya seolah dia adalah dewa kecil. Pesta demi pesta diadakan untuk merayakan setiap pencapaian kecilnya.
Guru-guru terbaik disewa untuk melatih bakat sihirnya. Setiap helaan napas Michael adalah sebuah anugerah, setiap senyumnya adalah kebahagiaan bagi mereka.
Dan Thanzi? Dia perlahan tapi pasti menjadi bayangan yang terlupakan. Rumah megah Marquess yang dulu terasa hampa, kini terasa semakin dingin dan asing baginya. Kamarnya yang luas terasa seperti sangkar. Para pelayan yang dulunya setidaknya menunjukkan rasa hormat dasar, kini terang-terangan mengabaikannya.
Mereka akan berbisik-bisik di belakang punggungnya tentang "anak sulung yang tak berguna" atau "kakak yang iri dan tak berbakat".
Cemoohan itu menusuk, melukai hati Thanzi yang rapuh. Ia mendengar bisikan-bisikan itu, merasakan tatapan meremehkan, tapi tak ada satu pun yang peduli. Orang tuanya terlalu sibuk memuja Michael untuk menyadari keberadaan Thanzi, apalagi luka yang menganga di hatinya.
Bagi mereka, Michael adalah kebanggaan dan masa depan keluarga, simbol status dan kekuatan mereka, sementara Thanzi hanyalah beban, sebuah kegagalan yang harus disembunyikan.
Kecemburuan adalah racun yang merayap perlahan, menggerogoti setiap sisa kebaikan dalam diri Thanzi yang asli. Diabaikan, dihina, dan tanpa kasih sayang sedikit pun, hati Thanzi yang dulu bersih mulai dipenuhi kegelapan.
Ia mencoba menarik perhatian orang tuanya dengan cara apa pun, seperti belajar keras, mencari masalah, bahkan mencoba menjadi "nakal" agar mereka memarahinya, agar setidaknya ia mendapat perhatian. Namun, setiap usahanya hanya berakhir dengan tatapan dingin atau teguran singkat, atau lebih parah, seolah ia mengganggu ketenteraman Michael.
Kebenciannya pada Michael tumbuh subur, seperti gulma yang menjerat taman. Ia tidak menginginkan kekuatan Michael atau bakat sihirnya yang cemerlang. Yang ia inginkan hanyalah secuil perhatian, sehelai kasih sayang yang selalu diberikan kepada adiknya.
"Jika Michael tidak ada," pikirnya dalam keputusasaan, "atau setidaknya tidak sesempurna itu, mungkin Ayah dan Ibu akan kembali melihatku."
Pikiran-pikiran gelap ini berujung pada satu niat, menyakiti Michael. Bukan untuk membunuh, awalnya. Tidak, Thanzi yang asli terlalu pengecut untuk itu. Ia hanya ingin Michael tidak sekuat atau sesempurna itu. Ia mulai mempelajari racun-racun sederhana, ramuan tidur, atau merencanakan kecelakaan kecil.
Namun, seperti yang Thanzi dari Bumi ketahui dari novelnya, Thanzi yang asli adalah figuran antagonis yang bodoh dan tidak berguna, dengan rencana yang selalu berakhir konyol. Setiap usahanya selalu terbongkar sebelum berhasil, atau malah gagal total, kadang-kadang malah merugikan dirinya sendiri.
Usaha terakhirnya yang ceroboh untuk mencelakai Michael terbongkar dengan mudah. Michael, yang berhati murni dan peka terhadap energi, selalu bisa merasakan niat jahat Thanzi atau mendeteksi ramuan aneh. Kali ini, ia hanya tersenyum sedih dan melaporkan semuanya kepada orang tua mereka.
Itu adalah puncaknya. Marquess Aerion dan Lady Elara akhirnya menunjukkan perhatian yang Thanzi inginkan selama ini. Tapi bukan perhatian yang baik. Yang ada hanyalah kemarahan membara, tatapan jijik, dan kekecewaan yang sangat mendalam. Raut wajah mereka menyiratkan, 'Kau adalah aib bagi keluarga ini.' Mereka sudah muak. Muak dengan tingkah laku Thanzi yang selalu mengganggu Michael, muak dengan kehadirannya yang dianggap merusak citra keluarga.
Tanpa banyak bicara, dengan hati yang sedingin es, mereka memutuskan untuk menyingkirkan Thanzi. Bukan dibunuh, tapi diasingkan.
Dijebloskan ke sebuah hutan terpencil milik keluarga untuk menghukum penjahat, jauh dari ibukota, jauh dari pandangan masyarakat dan khususnya Michael.
Tempat itu lebih mirip penjara pribadi daripada rumah, karena memang tidak ada bangunan apapun untuk dirinya bernaung, yang ada hanyalah pepohonan besar yang menjulang tinggi.
Thanzi yang asli, dengan hati yang hancur, dipenuhi kebencian dan rasa tidak berharga, akhirnya membusuk di sana, menunggu akhir yang menyedihkan sebagai salah satu korban sampingan dari kehebatan para tokoh utama.
Kisah hidupnya berakhir dengan kematian yang memalukan di tangan monster yang ia pancing secara ceroboh, menjadi salah satu filler cerita yang cepat dilupakan.
"Bodoh sekali..." gumam Thanzi.
Kilas balik itu berakhir. Thanzi dari Bumi menghela napas, merasakan beratnya takdir yang kini menempel pada tubuhnya. Ia bukan lagi "Si Penolong" yang mati konyol diseruduk kambing.
Ia kini adalah Thanzi, anak Marquess yang dibuang, dengan dendam dan kepahitan yang mengakar dari pemilik tubuh aslinya. Sebuah ironi yang kejam: ia yang selalu membantu kini terjerat dalam hidup yang penuh kebencian dan pengabaian. Ia yang selalu melihat kebaikan, kini berada di tubuh yang hanya tahu rasa sakit dan iri hati.
Namun, Thanzi dari Bumi bukanlah jiwa yang pasrah begitu saja. Ia tidak akan membiarkan dirinya membusuk dan mati di hutan ini seperti yang dilakukan Thanzi yang asli. Pengetahuan tentang plot novel memberinya keunggulan. Ia tahu persis di mana ia berada: di ujung Hutan Kegelapan, wilayah berbahaya yang menjadi tempat 'pembuangan' para penjahat minor. Ia juga tahu bahwa Thanzi yang asli akan tetap di sini, bersembunyi ketakutan, hingga akhirnya mati mengenaskan diserang monster yang tak sengaja ia pancing.
"Tidak akan," gumam Thanzi, suaranya mantap, memecah keheningan hutan. Ia mendorong dirinya untuk berdiri. Otot-ototnya terasa pegal, namun semangatnya berapi-api. Tubuhnya mungkin lemah, tapi otaknya tidak.
"Aku tidak akan menunggu mati di sini."
Meskipun ia tahu sedikit tentang geografi Aeridor dari novel yang ia baca, Thanzi sama sekali tidak memiliki pengalaman bertahan hidup di alam liar.
Di Bumi, petualangan terliarnya adalah dikejar anjing atau orang gila di tengah kota. Hutan yang sesungguhnya? Suara serangga yang tak dikenal, bau tanah dan dedaunan busuk, serta bayangan pepohonan raksasa yang tampak menelan cahaya, semuanya terasa asing dan mengancam. Ia tidak tahu cara mencari makan, bersembunyi dari predator, atau bahkan arah mata angin.
"Bagaimana, ya?" Thanzi mulai berpikir, jantungnya berdetak kencang. Setiap ranting patah atau bisikan angin membuat bulu kuduknya berdiri. Itu pasti suara monster.
Namun, pikiran tentang kematian konyol yang menanti Thanzi yang asli, ditambah tekadnya untuk mengubah takdir yang tidak adil dan plot yang overpowered, memberinya kekuatan yang aneh. Thanzi yang asli mungkin pengecut, tapi Thanzi dari Bumi adalah seorang "penolong" yang berani menghadapi copet dan kambing kalap.
Dengan pandangan mata yang lebih tajam dari sebelumnya, Thanzi mulai melangkah. "Lebih baik mencoba, daripada mati dengan sia-sia."
Ia tidak berjalan acak, melainkan mencoba mengingat deskripsi hutan dalam novel. Ia berusaha mencari tanda-tanda yang bisa membawanya keluar. Setiap langkah adalah perjuangan. Duri-duri menggores kulitnya, lumpur menjebak sepatu botnya, dan napasnya memburu.
Ia mendengar auman samar di kejauhan. "Apa itu...?" batin Thanzi waswas.
Ia terus bergerak. Ia bertekad. Ia tidak akan mati di sini, tidak sebagai figuran yang menyedihkan. Ia akan keluar dari hutan ini, mencari jalan untuk mendekati peradaban, dan dari sana, ia akan memulai misinya.
Misi untuk menyeimbangkan dunia yang kacau ini, dan mungkin, hanya mungkin, menemukan semacam penebusan bagi jiwa Thanzi yang asli. Ini adalah awal dari perjalanannya, bukan sebagai pahlawan, bukan sebagai penjahat, melainkan sebagai pengatur takdir yang tidak terduga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
Grayn Alangkara
Thanzi mengalami apa yang pernah ku alami, tapi untungnya aku tidak memiliki pikiran untuk bertindak senekat itu meskipun otakku pernah memikirkannya
2025-05-29
0