Hidung merah, mata sembab dan bengkak.
Namun dia tetap melakukan hukuman-nya. menyapu di halaman pesantren putra dengan menggunakan jilbab merah menyala. Dilehernya tergantung tali rafia yang mengikat disetiap ujung atas papan kardus yang tertulis "Saya tidak akan mengulangi lagi surat-suratan dengan lawan jenis"
Beberapa santri putra sempat mengolok-olok nya. namun harsa memutuskan untuk menebalkan muka.
Beberapa kali dia juga melihat gus abid melintas, namun harsa enggan untuk melihat. Melihat wajah pria yang dulu menjadi alasannya dalam segala hal kini, membuat dia hanya ingin menghindari saat ini.
Harsa ingat, semalaman dia tak henti menangis, hingga lupa makan dan tugasnya. Para penghuni kamar berpikir dia menangisi hukuman yang dia lakukan saat ini, terkecuali talita.
Harsa menghentikan tangannya, dari jauh dia melihat tiga santri putra yang menyapu dihalaman santri putri. mereka tidak ada rasa malu karena ada temannya, sedangkan harsa sendirian.
"ini tidak adil, karena kalian. aku yang tak salah harus menerima hukuman, cinta macam apa ini..."
Gumam harsa, matanya menyorot tajam, seolah menandai wajah ke tiga santri putra penyebab dia dihukum.
"pandangan-nya neng, udah di hukum masih aja matanya jelalatan kemana-mana."
Sindir pengurus keamanan putri yang memantau harsa. Harsa melirik sinis dua pengurus yang tengah duduk sambil menatapnya.
Jengkel, namun dia hanya bisa mendengus.
Menyapu sendiri di halaman santri putra yang lebarnya hampir seperti lapangan bola, membuat tubuh harsa lengket oleh keringat.
Dia menarik handuknya yang tergantung dengan wajah tak bersahabat. Penghuni kamar Khadijah itu tak berani menyapa, mereka hanya melirik sekilas lalu kembali pada aktifitas masing-masing.
"ternyata banyak juga ya gebetannya neng harsa."
Celetuk salah satu mereka pada penghuni yang ada.
"neng harsa kan memang cantik..." jawab marwa.
"modal cantik doang, kalau isi kepala gak ada ya zonk."
"huss, bagaimanapun dia putri kyai lo..."
"putri angkat kali." jawab salah satu mempertegas status harsa.
Dari belakang mereka membicarakan harsa, karena mengira tidak ada orang lain yang mendengar.
Talita yang barus saja dari kamar mandi itu sempat mendengar kalimat menjengkelkan itu, dia begitu marah mendengar teman kamarnya membicarakan harsa dengan begitu entengnya.
"ah tenyata dikamar khadijah ada sengkuni ya, gue baru tahu sekarang..."
sindir talita sambil melempar handuk ke ranjang baju kotor.
Semua penghuni kamar diam.
talita menatap marwa sang ketua kamar sesaat, sebelum melanjutkan untuk mengambil baju ganti.
loe, gue tandai....
"gue aja kali ini yang nyetir."
Talita mengambil kunci motor dari tangan harsa. mahasiswi yang berwajah lemas tak bersemangat berangkat kuliah itu hanya bisa pasrah, dan naik ke boncengan.
motor beat karbo itu meluncur mulus keluar dari gerbang pesantren.
"ta.."
"iya..."
"waktu gue sia-sia..."
"enggak lah. ngapain sia-sia."
jawab talita judes. sebenarnya talita merasa bersalah karena surat itu yang membuat sahabatnya harus dihukum untuk pertama kali dalam seumur hidup.
"loe pernah jatuh cinta..."
"pernah, bahkan lebih parah saat SMP."
"parah?."
"iya, tapi loe jangan ilfeel sama gue ya.."
harsa mengangguk. dia ingin tahu bagaimana masalalu sahabatnya sebelum mereka kenal.
"gue pernah jatuh cinta sama cowok sekelas, dia pinter, populer plus tampan kebangetan. gue naksir dia lama tapi gak berani ungkapkan. ternyata dia tahu perasaan gue, tapi hal yang paling menyakitkan bukan itu, dia memanfaatkan perasaan gue sa."
Suara talita kini berubah sedikit sendu.
"udah ta, kalau loe gak kuat cerita, gak usah..."
"enggak, loe harus tahu sisi sial dalam hidup gue dulu." kekeh talita.
"gue dan dia awalnya temenan, terus lama-lama gue nyaman. pas di momen yang tepat gue nyatain perasaan. dan dengan mudahnya dia nerima gue jadi pacarnya. hari itu gue kegirangan berasa menang lotre aja. kami menjalin hubungan pacaran selama tiga bulan."
"kamu tahu part terparahnya. dia ternyata gay sa, pacaran sama gue cuma mau nutupin aibnya doang. anjirr parah gak tu cowok, casing dan dalem nya gak sesuai ekspektasi. lebih parahnya gue yang memergoki kejadian gila itu. Dia makan timun sama timun dengan sahabatnya dari kecil. sumpah gue trauma sama cowok tampan sampai saat ini..."
entah itu sedih atau lucu, harsa bingung menyikapi cerita talita.
"apes banget lo ta..."
"iya apes banget gue, loe tahu gue gak suka menjalin pacaran dengan serius karena alasan itu..."
"terus yang kemarin malam apa donk?."
Tanya harsa, mengingat jika talita baru saja ketemuan sama santri putra.
"gue cuma deket doang kok itu, gak sampek mengubah status."
Harsa mencebik, dia tak begitu percaya pada sahabatnya yang absurd itu. namun cerita garing talita sedikit menghibur harsa.
"loe gak ngarang ceritakan?."
"suwer, demi apa gue ngarang cerita buat loe..., patah hati ya patah hati aja kali. buat apa gue bohong hanya demi hiburan garing buat loe..."
talita tiba menyunggingkan senyum miring. harsa yang melihat dari kaca spion, memincingkan mata curiga.
"tata!!!."
Harsa terkejut, dia langsung memeluk erat tubuh talita.
"nikmati sensasi dibonceng mbak rosie..."
"gue masih mau hidup ta!!"
teriak harsa, dia masih memeluk erat talita.
"gue kira mau mengakhiri hidup setelah nangis semalaman lo sa..."
Talita masih menarik gasnya dengan kencang, dia terbahak-bahak melihat sahabatnya itu ketakutan.
***
"umma ngapain dikamar harsa?."
Tanya gus abid setelah melihat ibunya baru saja keluar dari kamar lama harsa.
"cuma mau ambil album foto."
Dulu saat hari libur, harsa akan pulang ke ndalem dan menempati kamar lamanya. barang -barang gadis itu masih tersimpan rapi.
gus abid menatap ibunya yang membawa album foto milik harsa dan duduk di sofa depannya.
"menurutmu, adikmu itu udah pantes gak jadi istri bi?."
pertanyaan umma halimah membuat gus abid terdiam, dia membayangkan sesuatu.
"kok bengong..."
"ahh, apa umma?."
tanya balik gus abid.
"gak jadi."
umma halimah ternyata bisa ngambek juga ke putranya. wanita paruh baya itu, kini fokus membolak balikan isi album foto harsa, namun tidak menemukan foto terbaru dari putri angkatnya itu.
"ini aja kali ya."
gumam umma halimah yang masih terdengar oleh gus abid. pemuda itu menatap sang ibu yang menarik salah satu foto milik harsa.
"buat apa umma?."
dia begitu penasaran.
"buat om bas, kemarin dia kan minta foto salah satu santriwati. setalah umma pertimbangkan sepertinya harsa adalah pilihan yang tepat."
Gus abid yang sedang menyeruput kopinya, tiba-tiba tersedak. umma halimah tak begitu peduli pada keadaan anak bujangnya yang sebentar lagi akan menikah.
"apa umma sudah membicarakan dengan harsa?."
"belum, tapi umma sudah membicarakan dengan abahmu. dia setuju dengan usulan umma."
gus abid mengeryit.
"umma mau jodohkan harsa juga?."
"umma hanya kenalkan pada Axel, siapa tahu dia suka dengan adikmu."
"maa, mas Axel itu..."
gus abid menghentikan ucapan-nya ditengah. umma halimah menatap sang putra dengan tatapan penuh tanda tanya.
"maksud aku, harsa masih muda, dan mas Axel itukan sudah pernah menikah."
"memang kenapa kalau dia sudah menikah? kegagalan berumah tangganya itu kan karena mantan istrinya yang berkhianat. umma yakin axel adalah sosok yang tepat untuk adikmu itu. dia dewasa dan tentu bertanggung jawab."
Gus abid terdiam, entah mengapa dadanya terasa nyeri. dia tidak bisa menerima ucapan ibunya.
"umma, tapi mas axel dan harsa itu memiliki jarak umur yang jauh."
umma halimah mengalihkan pandangan dari album ke putranya. tatapan tajam seorang ibu pada anaknya itu seolah sedang mengoreksi sesuatu.
"kenapa kamu keberatan bi?."
Gus abid membeku, dia diam. namun wajahnya tak bisa membohongi ibunya.
"kamu akan menikah dengan elsa, meski poligami bagi pria diperbolehkan, umma tak akan merestui itu!! ."
Ucapan umma halimah menampar kesadaran gus abid. dia menatap ibunya tanpa berkedip, seolah rahasia lamanya terlucuti.
"umma..."
"Selamanya harsa hanya akan menjadi adikmu, hanya sampai situ.."
umma halimah bangkit dari duduknya, membawa album harsa bersamanya.
maafkan ummi....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments