Malam hari, kediaman Leonhart.
Rumah itu luas dan sunyi, dinding-dindingnya memantulkan cahaya lampu gantung yang hangat, tapi dingin dalam rasa. Adrian menaiki tangga menuju lantai atas, langkahnya lambat, seolah beban di pikirannya lebih berat dari tubuhnya sendiri.
Ia berhenti di depan sebuah pintu putih bergambar kelinci dan bunga berwarna pastel. Ia membukanya perlahan.
Claire sudah tertidur, wajah kecilnya damai dalam pelukan boneka kelinci lusuh yang hampir selalu ia bawa ke mana-mana. Selimut bergambar awan menutupi tubuh mungilnya, dan rambut pirangnya yang ikal berantakan di bantal.
Adrian mendekat, berjongkok di samping ranjang. Ia membelai lembut kening putrinya dan membisikkan, "Maaf, Daddy pulang terlambat."
Anak itu tidak bergerak, hanya mendesah pelan dalam tidurnya. Sejenak, dunia Adrian terasa sederhana, hanya dia dan putrinya.
Tapi kenyataan tak membiarkannya tinggal lama.
Adrian beranjak pergi, membuka pintu kamarnya dan melepas jas serta dasinya. Ia menyalakan lampu gantung, berjalan ke arah lemari dan melepas kemeja. Saat hendak menuju kamar mandi, dering teleponnya memecah kesunyian.
Ia sempat menatap layar ponsel di meja samping ranjang. "Nenek" terpampang jelas. Adrian menghela napas, lalu mengangkatnya.
"Ya, Nek?"
Suara ceria Elizabeth langsung terdengar di ujung sana. "Adrian! Bagaimana jamuannya? Bukankah Anneliese luar biasa? Wanita sempurna, bukan?"
Adrian berjalan ke arah jendela, memandangi taman belakang yang temaram. "Dia baik, sopan, dan cerdas."
"Dan cantik! Jangan lupa itu. Kau melihat mata birunya? Seperti safir!"
Adrian hanya menjawab dengan dengusan samar.
"Jadi?" desak sang nenek. "Kapan kalian akan makan malam lagi? Atau aku undang ke sini saja minggu depan, sekalian makan malam keluarga?"
"Nenek," suara Adrian terdengar berat. "Dia memang luar biasa... Tapi aku tidak ingin melanjutkan. Dia terlalu sempurna untuk disia-siakan dalam hubungan palsu."
Sejenak, hanya terdengar keheningan dari seberang.
Kemudian, Elizabeth menarik napas dalam. "Adrian... kau keras kepala seperti ibumu. Tapi jangan terlalu lama menolak takdir. Lelaki sepertimu tak bisa hidup dalam bayangan masa lalu selamanya."
Sebelum Adrian bisa membalas, suara neneknya kembali terdengar, kali ini lebih lembut. "Pikirkan Claire. Dia butuh sosok wanita dalam hidupnya. Bukan sekadar pengasuh atau guru TK."
Adrian menggigit bibirnya, "Aku tahu, Nek. Selamat malam."
Ia menutup telepon, meletakkannya kembali, lalu bersandar di kusen jendela. Malam itu, pikirannya tidak dipenuhi oleh Anneliese, bukan juga nasihat neneknya.
Yang muncul hanyalah suara tawa kecil Claire... dan sorot mata Elina yang menolak cek kosongnya dengan harga diri yang utuh.
...****************...
Mentari pagi menyusup lembut melalui jendela besar ruang makan keluarga Leonhart. Aroma roti panggang dan kopi hitam menyebar tipis di udara, menambah kehangatan di rumah megah yang biasanya sunyi itu.
Adrian turun dengan kemeja putih yang tergulung rapi di lengan, wajahnya masih menyimpan sisa letih malam sebelumnya. Tapi langkahnya melambat saat melihat sosok kecil yang duduk manis di kursi makan, mengenakan seragam TK berwarna pastel dengan pita merah muda di rambutnya.
"Selamat pagi, Daddy!" seru Claire dengan mata berbinar.
Adrian tersenyum, jarang, tapi tulus. "Pagi, Claire."
Gadis kecil itu mengayun-ayunkan kakinya sambil menyesap susu hangat. Wajahnya berseri saat mulai menceritakan semua kejadian luar biasa yang dialaminya kemarin.
"Daddy tahu nggak? Kemarin aku dapat bintang emas dari Miss Elina! Katanya karena aku bisa mewarnai tanpa keluar garis!" Claire menunjukkan tempelan bintang kecil di sudut tasnya. "Dan... dan! Aku juga belajar nyanyi lagu baru, Daddy harus dengar nanti malam!"
Adrian duduk, menatap anaknya yang begitu hidup pagi itu.
Setelah sarapan, Claire menggenggam tangan Daddynya dengan penuh semangat. Mereka berjalan beriringan menuju mobil yang menanti di pelataran.
Sepanjang perjalanan menuju sekolah, Claire tak henti-hentinya berceloteh. Tentang temannya yang baru, tentang bunga yang mekar di taman sekolah, tentang harapannya untuk membawa kelinci sungguhan ke kelas.
Mobil berhenti di depan gerbang sekolah TK. Seperti biasa, para orang tua mulai berdatangan, mengantar anak-anak mereka sebelum kembali pada rutinitas masing-masing.
Adrian turun terlebih dahulu dan membuka pintu untuk Claire. Gadis kecil itu turun dengan riang dan menggenggam tangan ayahnya erat. Mereka melangkah ke gerbang, dan saat itulah pertemuan tak terduga itu terjadi.
Elina berdiri di sisi lain gerbang, dengan setumpuk buku cerita di pelukannya, mengenakan blouse sederhana berwarna biru muda dan rok panjang polos. Wajahnya sedikit pucat, namun tetap memancarkan kehangatan yang khas. Mata mereka bertemu.
Waktu seolah melambat.
Elina tampak terkejut, tapi buru-buru tersenyum sopan. "Selamat pagi, Tuan Leonhart...Claire."
Claire langsung melepaskan genggaman ayahnya dan berlari memeluk Elina. "Miss Elina! Aku sudah latihan nyanyi lagu ‘Pelangi’, lho!"
Elina tertawa kecil, membelai rambut Claire dengan lembut. "Wah, Miss tidak sabar mendengarnya."
Adrian berdiri kaku beberapa langkah di belakang, menatap keduanya. Lalu Elina mengalihkan pandangannya padanya, menunduk sopan.
"Terima kasih... untuk pengantaran kemarin," ujarnya pelan, tidak menyebut tentang cek yang ditolaknya.
Adrian tidak langsung menjawab. Hanya menatap wajah wanita itu, mata lelah yang menyembunyikan kekuatan, bibir yang menahan banyak kata.
Akhirnya ia berkata, suaranya rendah, "Sama-sama. Claire sangat menyukaimu, sepertinya."
Elina tersenyum, kali ini lebih tulus. "Saya juga menyukainya."
Bel masuk berbunyi, membuat Claire buru-buru pamit dan berlari masuk ke dalam bersama teman-temannya.
...****************...
Hari di sekolah berjalan lambat bagi Elina. Meski senyum tak pernah lepas dari wajahnya, hati dan pikirannya nyaris tak pernah tenang. Seperti biasa, dia menyambut murid-murid kecil dengan hangat, mengajari mereka mewarnai, membaca cerita, hingga menyanyikan lagu-lagu sederhana yang membuat tawa kecil mereka memenuhi ruang kelas. Tapi ada sesuatu yang mengganjal di dadanya, kecemasan yang terus berdesir di bawah senyum.
Satu per satu anak dijemput oleh orang tua mereka. Suara langkah kaki semakin jarang, derai tawa memudar. Sinar mentari bergeser ke arah barat, dan aroma kapur tulis di ruang guru mulai memudar, tergantikan dengan udara sore yang gerah.
Begitu bel pulang berdentang, Elina membereskan buku cerita dan perlengkapan kelasnya. Ia melirik jam dinding. Waktu pulang. Tapi entah kenapa, langkahnya terasa berat saat mendekati gerbang sekolah.
Dan benar saja, di sana mereka berdiri.
Dua pria.
Yang satu tinggi kurus, dengan rambut disisir rapi dan tatapan mata licik. Ia bersandar santai di samping sebuah mobil hitam tua dengan cat yang mulai mengelupas. Sementara satunya lagi bertubuh gempal, mengenakan setelan jas yang tampak usang dan kusut. Sebatang rokok bertengger malas di sudut bibirnya, mengepulkan asap yang membuat udara sore terasa lebih pengap dari biasanya.
Begitu mata mereka menangkap Elina, senyum mengejek merekah.
"Akhirnya keluar juga, Nona Elina," gumam si gempal, suaranya berat dan mengandung ancaman manis yang menyesakkan dada.
Wajah Elina memucat. Ia menunduk sedikit, seolah berharap tidak ada guru lain yang memperhatikan.
"Jangan di sini," bisiknya cepat. "Tolong... ikut saya bicara di tempat lain."
Si kurus mengangkat alis. "Di tempat lain? Kenapa? Di sini cukup terang, cukup ramai. Aman."
Elina menatap sekeliling dengan gugup. Beberapa orang tua murid masih berlalu lalang, dan seorang guru muda berjalan di kejauhan. Wajah Elina semakin pucat.
"Tolong," ujarnya memohon, suaranya nyaris bergetar.
Akhirnya, dengan gerakan kepala dari si gempal, mereka membuka pintu mobil.
"Masuk!"
Elina menggigit bibirnya, ragu sejenak. Tapi ia tahu tak ada pilihan. Ia tak bisa mempertaruhkan pekerjaannya. Ia melangkah masuk ke dalam mobil dengan hati penuh cemas, tanpa menyadari bahwa dari kejauhan...
Seseorang melihat.
Adrian Leonhart, yang baru saja tiba kembali untuk mengambil dokumen Claire yang tertinggal, berdiri tak jauh dari sana. Matanya menatap mobil tua yang tampak tak layak berada di area sekolah elite itu. Pandangannya membeku saat melihat Elina masuk ke dalam mobil itu, dengan wajah datar, tanpa penolakan.
Sebuah perasaan tak nyaman menjalar di dadanya. Ada sesuatu yang salah, pikirnya. Tapi sebelum ia sempat mendekat, dering teleponnya berbunyi. Panggilan dari asistennya.
"Tuan Leonhart, rapat dengan klien dari Jepang dimulai lima belas menit lagi."
Adrian memandang ponselnya, wajahnya mengeras.
Ada sesuatu yang tak benar. Tapi untuk saat ini... dia harus memilih.
Dan Adrian membalikkan badan, melangkah menuju mobilnya, tapi pikirannya tertinggal di tempat itu, bersama bayangan Elina yang perlahan menghilang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments