Sampai kapan

Mario duduk dengan tenang di kursinya. Kakinya terlipat dengan kedua tangan yang saling bertaut. Tatapannya jatuh pada kamera pengawas yang mengawasi gerak- gerik Valeri di rumahnya, mulai dari kamar, ruang makan, bahkan ruangan lainnya.

Hari ini gadis itu hanya berdiam di kamar lalu turun untuk makan siang. Selebihnya Valeri menghabiskan waktu di kamar dengan ponselnya Meski terlihat bosan, tapi dia tak melawan saat pelayan tak mengizinkannya keluar rumah.

"Artikel mengenai nama- nama korban telah di hapus, Tuan. Saya pastikan Nona tidak akan tahu."

Mario tak menanggapi dan hanya menatap layar macbooknya dimana menampilkan Valeri yang membuka pakaiannya satu persatu sebelum dia pergi ke kamar mandi.

Mario menoleh pada Rey, asistennya. "Bagaimana dengan obatnya?" tanya Mario dengan menengadahkan tangannya.

"Professor bilang obat ini tidak bisa di gunakan jangka panjang, Tuan." Rey menyerahkan botol obat di genggamannya ke tangan Mario.

"Apa akibatnya?" Mario menatap botol obat tersebut memutarnya beberapa kali untuk melihat isi di dalamnya.

"Bisa merusak jaringan otak, atau kelumpuhan otak secara permanen." Mario menarik sudut bibirnya, lalu bangkit setelah meraih jasnya di sandaran kursi.

"Aku akan pulang." Rey mengangguk dan segera menghubungi supir untuk bersiap.

....

Valeri membuka pintu balkon, lalu melangkahkan kakinya ke teras. Saat dia keluar dan berpegangan pada pagar pembatas dia bisa merasakan angin berhembus menerpa wajahnya.

Mata Valeri berpendar, ke bawah dimana dia melihat beberapa pria dengan stelan resmi berkeliling di sekitar halaman rumah. Apa mereka penjaga rumah yang di katakan Hilda?

Valeri melihat ada lebih dari empat. Tidak! beberapa lagi berjaga di bagian lain.

Valeri melihat lebih jauh dengan mengeryit. Pelataran rumah sangat luas dan di penuhi pepohonan, namun dia melihat gerbang dan benteng tinggi yang Valeri rasa setinggi pepohonan disana. Hingga Valeri yakin rumah ini sudah aman meski tak dijaga oleh para pria penjaga itu. Apa Mario berlebihan?

Tapi mungkin di rumah ini ada barang berharga hingga di perlukan penjagaan ketat?

Valeri mengerjapkan matanya saat merasa diperhatikan. Namun saat dia menoleh para penjaga itu masih berprilaku normal dan berjaga dengan waspada.

"Mungkin hanya perasanku," ucapnya.

Saat ini pintu gerbang terbuka dan bisa Valeri lihat tiga mobil memasuki halaman. Bak adegan di dalam film saat mobil terhenti beberapa orang berjas keluar, lalu salah satunya membuka pintu mobil di tengah-tengah dan menampilkan Mario.

Kedua mobil di bagian depan dan belakang seolah memberi penjagaan pada mobil Mario yang berada di tengah-tengah.

Valeri semakin penasaran apa pekerjaan Mario, hingga membutuhkan penjagaan ketat seperti itu.

Bukan hanya di rumah, tapi kemanapun pria itu pergi selalu ada penjaga bersamanya. Valeri tak yakin bagaimana awalnya dia bisa bertemu lalu menikah dengan Mario. Dia bahkan tak memiliki kualifikasi untuk bertemu orang sekaya Mario.

Lalu kapan mereka bertemu, hingga bisa menikah?

Pertanyaannya pada Hilda juga tak menemukan jawaban, pelayan itu hanya terus bicara dengan dingin dan kaku seolah dia bicara dengan robot. Entah bagaimana dia sebelumnya bisa hidup di rumah ini.

"Di luar dingin. Kenapa tidak menggunakan jaket?" Valeri merasakan mantel menyelimutinya.

Valeri menoleh. Lagi- lagi dia melamun terlalu lama, hingga tak menyadari Mario sudah masuk dan berada di dekatnya.

"Kau sudah pulang?" entah Valeri harus bicara apa, tapi dia juga tak bisa tetap diam.

"Hm."

Valeri mendongak menatap wajah jangkung di depannya ini. Wajahnya tampan dengan rahang yang tegas dan di penuhi bulu tipis di sekitarnya. Matanya tajam dengan bola mata biru yang menenggelamkannya. "Aku lihat banyak penjaga di luar, lalu yang mengikutimu. Sebenarnya apa pekerjaanmu?" Wajar bukan Valeri bertanya. Dia suaminya, jelas Valeri harus tahu pekerjaan suaminya.

Mario menampilkan senyum tipis. "Pekerjaan yang cukup berbahaya. Banyak musuh yang selalu mengincarku. Jadi aku membutuhkan mereka untuk menjadi tamengku."

"Kau mafia?" Valeri menatap dengan mengeryit.

"Kau takut?" Tentu saja dia takut jika itu memang benar. lagi pula sejak awal dia melihat Mario, yang terasa hanya rasa takut. Selebihnya dia merasa enggan. Tapi bagaimana lagi saat dia juga tak mengingat tentang Mario.

"Apa sebelumnya aku takut?"

Mario menarik sudut bibirnya, dua jari tangannya mengampit dagu Valeri agar semakin mendongak padanya. "Tidak, sebelumnya kau sangat berani."

Valeri tertegun saat mata Mario terus menatapnya. Lalu dia merasakan tangan besar Mario melingkari pinggangnya, untuk menariknya mendekat sebelum melabuhkan ciuman padanya.

Valeri tertegun. Bukan hanya karena terkejut Valeri diam, dia juga ingin merasakan, apakah perasaan ini asing untuknya, atau tidak.

Decakan dari ciuman basah Mario terdengar di telinga Valeri hingga dia merasakan seluruh tubuhnya meremang. Seperti tersengat aliran listrik Valeri merasakan sendi- sendinya menegang kaku.

Valeri menutup mata mencoba menggali ingatan tentang perasaan ini. Namun dia jelas tak menemukannya. Hingga saat tangan Mario mulai merambat dan menangkup buah dadanya, dia mendorong Mario menjauh.

"Apa?" Mario nampak tak suka kegiatannya terganggu.

"Maaf, tapi bisakah kita tidak melakukannya dulu." tentu saja Valeri tahu kemana arahnya permainan Mario tertuju. Apalagi jika bukan kegiatan suami istri.

"Sampai kapan?"

"Sampai aku ingat?" Valeri sendiri tak yakin kapan dia akan mengingat segalanya. Hanya bayangan gelap yang dia lihat saat memejamkan matanya.

"Kau tidak percaya aku suamimu?"

"Aku hanya merasa ini asing untukku."

"Dan aku harus bertahan sampai kau mengingatku? Lalu sampai akhirnya kau tidak pernah mengingatku selamanya, aku juga tetap tak boleh menyentuhmu?"

Valeri tertegun.

Mario mendengus lalu berjalan memasuki kamar.

Valeri melihat punggung Mario dengan perasaan bersalah yang menimpanya.

Ya, bukankah jika begitu dia akan berdosa pada suaminya?

Valeri mengikuti Mario memasuki kamar, namun dia justru melihat pria itu pergi dan menutup pintu. Valeri berjalan ke arah sofa lalu mendudukkan dirinya disana.

Valeri duduk diam dengan sesekali melihat ke arah pintu, namun dia tak melihat tanda- tanda Mario akan kembali.

Perasaan Valeri semakin gelisah, rasa bersalah karena mengabaikan Mario semakin menghantuinya.

Baiklah dia akan minta maaf nanti saat pria itu kembali. Valeri terus menunggu Mario, namun hingga hari menjelang malam Mario tak muncul lagi.

Valeri keluar dari kamar setelah menunggu lama, dan Mario tak juga muncul. Valeri berniat mencari keberadaan pria itu untuk meminta maaf. Tapi setelah mengelilingi lantai dua, Valeri tak menemukan Mario.

Valeri berniat mencari Mario di lantai satu, namun baru saja dia berniat menuruni tangga Hilda muncul dengan nampan makanan di tangannya.

"Makan malam anda, Nona," ucapnya.

"Aku akan makan di meja makan." Hilda menghela nafasnya.

"Jika anda mencari Tuan, beliau baru saja pergi."

Valeri tertegun.

"Dan beliau berpesan agar saya membawakan makan malam untuk anda." Valeri mengangguk dan membiarkan Hilda membawa makanannya ke kamar.

"Tuan juga meminta anda untuk meminum obat anda." Hilda menunjuk obat yang juga tersedia di nampan.

"Aku tahu." Valeri mengangguk lalu kembali mengikuti langkah Hilda.

Baru saja tiba di depan pintu, Hilda berbalik dan menatap Valeri. "Tuan bilang, jangan menunggunya. Beliau tidak akan pulang malam ini." Valeri tertegun, namun kembali mengangguk.

Terpopuler

Comments

Erna Wati

Erna Wati

penasaran sama mario.dy orang jahat ap baik?🤔

2025-05-19

0

Saadah Rangkuti

Saadah Rangkuti

obat berbahaya itu buat valeri kah?

2025-05-21

0

Vay

Vay

💜💜💜💜

2025-05-20

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!