Setelah meletakkan sapu, Arlena memutuskan untuk ke dapur. Ia ingin menyiapkan camilan ringan untuk Aldric jika nanti malam ia pulang terlambat.
Meski dilarang mengerjakan tugas rumah tangga, baginya perhatian kecil itu tak salah, selama tujuannya tulus.
Namun belum sempat membuka kulkas, dua pelayan berpakaian hitam masuk ke dapur. Salah satunya menatap Arlena tajam, penuh kebencian yang tak ia mengerti.
Arlena tersenyum kecil, mencoba ramah. “Halo, aku hanya ingin—”
PLAAAKKK!!
Tangan pelayan perempuan itu mendarat keras di pipi kirinya. Arlena terhuyung, terkejut, matanya membelalak.
“Jangan dekati Tuan Aldric!” desis wanita itu dengan suara tajam. “Dia milikku!”
Sebelum Arlena bisa bicara, rambutnya ditarik kasar dari belakang, membuatnya menunduk menahan sakit.
“Kau pikir siapa kau? Wanita buangan yang cuma numpang hidup! Jangan pernah merasa istimewa hanya karena Tuan Aldric sedikit baik padamu!”
Pelayan lain—seorang pria—menutup pintu dapur perlahan, menjaga agar tidak ada yang melihat atau mendengar.
“Aku tak akan diam kalau kau macam-macam,” bisik si wanita lagi, mencengkeram wajah Arlena.
“Sekali lagi kau menatapnya lebih dari sepuluh detik… aku pastikan kau akan hilang dari rumah ini dalam keadaan menyedihkan.”
Arlena menggigit bibirnya, menahan air mata. Ia ingin melawan, tapi tubuhnya gemetar. Takut. Bingung.
Setelah beberapa detik yang terasa seperti mimpi buruk, dua pelayan itu pergi, meninggalkannya sendirian di dapur.
Ia memegangi pipinya yang merah, rambutnya kusut. Lututnya lemas.
Tapi hatinya lebih sakit daripada tubuhnya. Bukan karena tamparan itu, tapi karena kenyataan bahwa tempat yang ia kira aman… juga menyimpan ancaman.
Arlena berjalan cepat menuju kamarnya. Tubuhnya masih gemetar, dan pipinya yang ditampar terasa panas dan berdenyut.
Ia membuka pintu kamar dengan tangan bergetar, lalu segera menguncinya dari dalam.
Begitu pintu terkunci, lututnya lemas.
Ia bersandar di balik pintu, lalu perlahan turun duduk di lantai. Air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya mengalir, membasahi pipinya yang masih memerah.
“Kenapa… kenapa di mana pun aku berada, aku selalu dibenci?”
Suara ancaman pelayan tadi terngiang di kepalanya. Cengkeraman kasar di rambutnya, tamparan yang membekas di pipi—semuanya membuat napasnya sesak.
Ia memeluk lututnya, menggigil meski suhu ruangan tidak dingin. Hanya suara detak jarum jam yang terdengar, dan keheningan yang menekan.
Arlena menatap ke arah cermin kecil di mejanya. Rambutnya acak-acakan, matanya sembab. Ia tampak seperti gadis ketakutan yang kehilangan tempat berpijak.
“Jangan bilang siapa-siapa… jangan bicara pada Tuan Aldric…”
Ancaman itu terus membelenggu pikirannya.
Ia memejamkan mata dan menarik napas dalam. Besok, ia akan tetap bekerja. Ia akan diam. Ia tidak akan merepotkan siapa pun.
Karena baginya… kehilangan tempat ini berarti kembali ke jalanan, kembali ke kehampaan.
Dan itu lebih menakutkan daripada tamparan apa pun.
Jam menunjukkan pukul sebelas malam ketika suara mesin mobil berhenti di halaman apartemen.
Langkah berat Aldric terdengar memasuki rumah. Jasnya masih rapi, tapi raut wajahnya menunjukkan kelelahan.
Dua pelayan yang berjaga di ruang tengah langsung menyambutnya.
“Tuan, selamat datang,” ucap salah satu dari mereka dengan nada sopan, tapi penuh maksud terselubung.
“Ada yang perlu saya ketahui?” tanya Aldric singkat.
Pelayan wanita yang tadi menampar Arlena melangkah maju, pura-pura gelisah.
“Tuan… gadis itu, Arlena. Ia seharian ini hanya mengurung diri di kamarnya. Tidak membantu apa pun. Kami sudah coba mengingatkannya, tapi dia terlalu malas dan tidak menghargai kepercayaan Anda.”
Aldric menatap keduanya, ekspresinya datar.
Tanpa berkata sepatah pun, ia berjalan menuju kamar Arlena. Suasana rumah senyap, hanya suara ketukan sepatunya di lantai yang terdengar.
Tok. Tok. Tok.
“Arlena,” panggilnya sambil mengetuk pintu. Tidak ada jawaban.
Ia mengetuk lagi. “Arlena, buka pintunya.”
Pelan-pelan, ia mencoba gagang pintu dan mendapati kunci tidak diputar. Ia membuka pintunya perlahan.
Ruangan itu gelap. Hanya remang cahaya bulan yang masuk dari balik tirai.
“Arlena?” panggilnya lagi, kali ini lebih lembut.
Ia melangkah masuk dan menemukan Arlena duduk di lantai dekat tempat tidurnya, memeluk lutut, wajahnya tersembunyi di balik lengan. Rambutnya berantakan, dan tubuhnya menggigil pelan.
Aldric mendekat, lalu menyalakan lampu.
“Arlena… kamu kenapa?” tanyanya, nada suaranya kali ini lebih hangat dari biasanya.
Arlena mendongak pelan. Matanya sembab. Pipinya masih terlihat merah samar. Dan dalam tatapannya ada rasa takut yang sulit disembunyikan.
“Aku… aku nggak apa-apa,” jawabnya pelan, mencoba tersenyum walau sangat jelas itu palsu.
Aldric berjongkok di hadapannya, menatapnya lekat-lekat.
“Siapa yang menyakitimu?” suaranya berubah tegas. Dingin. Tapi kini dinginnya seperti amarah yang mendidih dalam diam.
Arlena menggigit bibirnya, berusaha menggeleng.
“Tak ada. Aku cuma… kecapekan.”
Tapi Aldric bukan pria yang mudah dibohongi. Matanya menatap tajam bekas merah di pipi Arlena meski samar, tetap bisa terlihat.
Dan saat itu pula, ia tahu: ada sesuatu yang tidak beres di balik dinding rumahnya.
Aldric masih berjongkok di depan Arlena, matanya tajam menatap wajahnya yang pucat dan sembab. Bekas merah di pipi gadis itu mulai terlihat jelas di bawah cahaya lampu.
“Siapa yang menyakitimu, Arlena?” ulang Aldric, kali ini dengan nada lebih pelan tapi menekan.
Namun Arlena hanya menggeleng pelan. Air matanya kembali mengalir, tapi ia cepat-cepat menyekanya dengan ujung lengan seragamnya.
“Aku… aku tidak apa-apa,” ucapnya parau.
Aldric mengerutkan kening. “Kau pikir aku akan percaya?”
Arlena mengalihkan pandangannya, lalu berkata lirih, “Maaf, Tuan… saya tidak sempat menyiapkan makan malam. Saya tahu itu tugas saya… Saya mengerti kalau Anda kecewa…”
Ia menunduk lebih dalam, suaranya bergetar.
“Kalau Anda ingin memecat saya, saya ikhlas. Saya tidak pantas berada di sini…”
Ucapan itu menghantam hati Aldric seperti tamparan tak kasat mata.
"Memecat?"
Gadis ini ditampar, diancam, dan kini bahkan merasa pantas untuk diusir… hanya karena ia tidak bisa berkata jujur tentang apa yang sebenarnya terjadi?
Aldric menahan napas sejenak, lalu menghela pelan.
“Arlena, dengar aku baik-baik.”
Ia menatap langsung ke mata gadis itu.
“Aku tidak pernah berniat memecatmu. Kau satu-satunya orang di rumah ini yang jujur melakukan tugasnya dengan hati.”
Arlena terdiam. Tubuhnya masih gemetar, tapi untuk pertama kalinya ia merasa… dipahami.
Aldric berdiri, lalu melangkah ke pintu. Sebelum keluar, ia menoleh sekali lagi.
“Istirahatlah malam ini. Dan jangan takut. Mulai besok… semua akan berbeda.”
Dan dengan itu, Aldric pergi—dengan api amarah yang mulai menyala di dadanya.
Karena malam ini, dia tidak hanya melihat luka di wajah Arlena.
Dia melihat luka yang lebih dalam di hatinya.
Pintu kamar Aldric tertutup pelan. Tanpa membuang waktu, ia berjalan ke meja kerja dan menyalakan monitor yang terhubung ke sistem keamanan rumah.
Jemarinya bergerak cepat, memilih tanggal dan waktu sekitar sore hari—saat ia menduga insiden itu terjadi.
Matanya tajam mengamati setiap sudut layar, hingga akhirnya…
Klik.
Rekaman dapur sore tadi muncul.
Di sana, jelas terlihat: Arlena sedang mengambil sesuatu dari kulkas. Tak lama, dua pelayan mendekatinya. Aldric menyipitkan mata.
Kemudian—
PLAAAKKK!
Tamparan keras terdengar di dalam rekaman. Pelayan wanita menarik rambut Arlena, lalu mencengkeram wajahnya dengan penuh kebencian. Ancaman, cercaan, semuanya terekam dengan jelas, bahkan suara si pelayan yang mengatakan:
“Jangan dekati Tuan Aldric! Dia milikku!”
Wajah Aldric mengeras.
Rahangnya mengatup kuat.
Tangan kanannya mengepal di atas meja, sementara matanya masih tertuju ke layar yang memperlihatkan Arlena terduduk, ketakutan dan terhina, sebelum akhirnya ditinggalkan sendirian.
Ia menahan napas, lalu menggeram rendah,
“Sial…”
Monitor diremnya dengan satu pukulan pelan. Bukan karena rusak, tapi karena amarahnya hampir tak bisa dibendung.
Ia berdiri dari kursinya, langkahnya berat dan pasti menuju lemari kecil di pojok kamar. Mengambil ponselnya, ia mengetik cepat sebuah pesan.
“Buatkan surat pemecatan segera untuk dua pelayan: Anna dan Dion. Sertakan catatan pelanggaran berat dan larangan bekerja di bawah jaringan perusahaan manapun yang bekerja sama denganku. Efektif mulai besok pagi.”
Ia menatap kosong ke luar jendela, suaranya lirih tapi penuh ancaman.
“Tunggu saja... Aku akan membuat perhitungan dengan kalian berdua.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments