Sesampainya di sisi Dara, Sella dengan sigap berjongkok, menyamai posisi Dara yang meringis menahan sakit di pelipisnya, wajahnya terlihat pucat pasi.
"Ra lo kenapa?" Tanya Sella, suaranya terdengar penuh kekhawatiran yang terlihat tulus.
Mata Dara memerah, jari-jarinya menekan pelipis yang terasa berdenyut nyeri. Ia mendongak, melihat Sella dan Dela mendekat dengan langkah cepat. "Kepala gue sakit banget," keluhnya, menahan air mata yang mengenang di sudut matanya.
Sebuah suara tiba-tiba memecah kesunyian. "Maaf tadi gue ngak sengaja," ucap orang itu terdengar ragu-ragu dan wajahnya terlihat cemas.
Dara bangkit dari duduknya, tubuhnya bergetar menahan amarah. Tatapannya tajam menusuk, menatap seseorang di depannya. "Semua ini gara-gara lo!" Seru Dara, suaranya bergetar menahan emosi yang meluap.
Dela dan Sella saling bertukar pandang, pengenalan samar terpancar dari raut wajah mereka. "Loh, lo yang bukanya di taman kemarin ya?" Tanya Dela, ingatanya kembali pada peristiwa beberapa hari lalu.
Orang itu pun sama terkejutnya dengan apa yang ia lihat. "Loh jadi kamu?" Suaranya kini lebih lembut, dibumbui penyesalan yang tulus. Nada bicaranya berubah, lebih sopan dan penuh penyesalan.
Lelaki itu, yang kehadirannya di taman beberapa waktu lalu telah menimbulkan ketidaknyamanan mendalam di hati Dara, kini kembali muncul. Namun, pertemuan kali ini bukan sekadar pertemuan biasa, ia memicu amarah yang membuncah di dalam dirinya.
Kedua tangan Dara mengepal kuat, urat-urat di tangannya menegang seakan menahan gejolak emosi yang hampir tak terkendali. Kejadian pagi tadi, kekecewaan dengan orang tuanya, telah meninggalkan bekas kekecewaan yang mendalam.
Kini, pertemuan tak terduga dengan lelaki itu semakin memperburuk suasana hatinya yang sudah kalut. Sebuah badai emosi menerjangnya, membuat hatinya bercampur aduk antara amarah, kekecewaan, dan rasa frustrasi yang tak tertahankan.
Telunjuk Dara yang lentik mendarat tepat di wajah lelaki itu. "Lo!" Desisnya, napas memburu-buru, mata menyala amarah yang membara bagai bara api.
Lelaki itu terkesiap, tubuh menegang menghadapi tatapan wanita di hadapannya yang tiba-tiba terlihat begitu menakutkan, aura yang tadinya hangat kini berganti menjadi dingin membekukan. "Maaf, tadi ngak sengaja" ucapnya terbata, penyesalan tergambar jelas di wajahnya.
"Lebih baik kita ke UKS, aku antar kamu sebagai tanggung jawabku atas kecerobohan yang aku buat tadi," ucap lelaki itu hendak menarik lengan Dara.
Dara menghentakkan tangan lelaki itu menjauh, gerakannya cepat dan penuh penolakan. "Jangan sentuh gue dan jangan sok kenal sama gue!" Desisnya, setiap kata dihiasi amarah yang masih menyala-nyala di matanya.
Sella meletakkan tangannya di lengan Dara, sentuhannya lembut, sebuah upaya untuk menenangkan badai emosi yang masih mengamuk. "Ra, udah dong jangan marah-marah, toh dia juga udah minta maaf," suaranya pelan dan penuh pengertian.
"Minta maaf aja ngak cukup, Sella! Dia udah benar-benar merusak suasana hati gue pagi ini," kata Dara, suaranya masih bergetar karena sisa-sisa kemarahan.
Dela mengamati Dara, kekhawatiran terlihat jelas di wajahnya. Amarah Dara masih membara, mengancam akan meledak lebih hebat lagi. "Ra, sebelum keadaan semakin buruk, lebih baik kita ke UKS saja," usul Dela, suaranya tenang namun tegas, berusaha menetralisir situasi yang semakin menegangkan.
Amarah membara di dada, Dara berbalik meninggalkan mereka tanpa sepatah kata pun. Denyutan tajam di pelipisnya diabaikan, rasa frustrasi yang menggelegak jauh lebih menyakitkan daripada sakit kepalanya.
Langkahnya tegas, untuk menjauh dari hiruk-pikuk dan tatapan-tatapan yang membuatnya semakin geram.
"Ra, lo mau kemana Ra!" teriak Sella yang hendak mengejar Dara, namun dengan cepat Dela menahan lengan Sella.
"Sell, Biarin, biar Dara tenang dulu, lo tahu kan kalo mode kaya gitu berarti Dara lagi butuh waktu sendiri" kata Dela, suaranya tenang namun penuh pengertian, memahami betul sifat Dara yang cenderung menyendiri saat emosinya meledak.
Dela kemudian mengalihkan pandangannya pada lelaki itu, sorot matanya tajam. "Dan lo," ujarnya, nada suaranya dingin dan penuh penekanan, "Gue ngak tahu kenapa lo di sini dan entah kenapa cara bicara lo ke Dara bikin gue geli," tanpa menunggu respons, Dela berlalu meninggalkan lelaki itu, Sella mengikutinya dari belakang.
Kekecewaan dan frustrasi memenuhi wajah lelaki itu. Ia mengacak rambutnya dengan kasar, mengeluarkan napas panjang yang terdengar berat. "Kenapa hari pertama gue malah ancur kaya gini!" Gumamnya, suaranya dipenuhi oleh kekecewaan yang mendalam.
Dara menemukan sedikit ketenangan di bawah naungan rindang pohon mangga di taman belakang sekolah. Sepoi-sepoi angin berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dan dedaunan, namun kedamaian itu tak mampu meredam gejolak emosi yang masih menguasainya. Ia duduk di bawah pohon, termenung, tatapannya tertuju pada hamparan rumput hijau yang tampak begitu damai, kontras dengan badai emosi yang baru saja menghempasnya.
Dengan punggung tangannya, Dara menghapus jejak air mata yang tanpa disadarinya telah membasahi pipinya. "Bagaimana gue bisa tenang? Apa mungkin gue bisa fokus belajar di kelas dengan keadaan kaya gini?" gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar, tertelan oleh desiran angin.
Sebuah keluhan terlontar dari bibirnya, penuh kekecewaan. "Kenapa sih hari pertama sekolah malah diisi dengan hal-hal yang menyebalkan? Harusnya hari ini menyenangkan, bukannya seperti ini," gerutunya, suaranya dipenuhi rasa frustrasi yang masih membuncah.
Di sisi lain, Sella dan Dela mulai merasa cemas. Dara masih belum terlihat di dalam kelas. "Del, gue khawatir sama Dara. Sejak tadi belum masuk juga," kata Sella, kekhawatiran tergambar jelas di raut wajahnya yang biasanya ceria.
Dela mengangguk, rasa khawatir yang sama juga mencengkeram hatinya. "Gue juga khawatir, Sella. Tapi mau bagaimana lagi? Dara memang selalu seperti ini kalau sedang dalam kondisi emosi yang tidak stabil," jawab Dela, suaranya terdengar lesu, memahami betapa sulitnya menenangkan Dara saat sedang seperti ini.
Bel masuk bergema, menandakan akan dimulainya pelajaran pertama. Namun, Dara masih belum juga kelihatan batang hidungnya membuat kedua temannya bertambah khawatir.
Sella semakin merasakan kegelisahan di dalam hatinya. "Del, kita cari tuh bocah yuk, gue khawatir banget takutnya dia kejebur got," ujarnya, pikirannya sudah melayang kemana-mana dalam kekhawatirannya.
Seketika itu juga, Dela mencubit lengan Sella, geram mendengar ucapan sahabatnya yang kelewat berlebihan. "Mulut lo kalo ngomong disaring! Dara nga mungkin sebodoh itu lah gue percaya sama dia, tapi kalo itu lo... mungkin bisa jadi," kata Dela, nada suaranya sedikit menyindir, mengingatkan Sella akan kecenderungannya berpikiran negatif.
"Jahat banget lo Del," protes Sella, bibirnya mengerucut kesal.
Dela hanya menggelengkan kepalanya. "Makanya, doa itu yang bener," katanya, nada suaranya terdengar sedikit geli.
Tiba-tiba, riuhnya percakapan di kelas terhenti. Kehadiran Bu Ani, guru mata pelajaran, langsung membuat suasana menjadi hening. Namun, keheningan itu tak berlangsung lama. Bu Ani datang tidak sendirian, di belakangnya berdiri seorang pemuda tampan dengan postur tubuh yang ideal, membuat kelas kembali bergemuruh. Bisikan-bisikan dan decak kagum memenuhi ruangan.
Sella dan Della saling bertukar pandang, ekspresi mereka sulit diartikan, campuran rasa ingin tahu dan sedikit… heran?
Bu Ani mengangkat tangannya, meminta perhatian murid-muridnya. "Baiklah, anak-anak, tenang. Hari ini kita kedatangan murid baru," ujarnya, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya, seakan menyadari efek kehadiran pemuda itu pada para siswinya. Ia mengarahkan pandangannya pada pemuda tersebut, memberi isyarat untuk memperkenalkan diri.
Pemuda itu melangkah maju, aura percaya diri terpancar darinya. "Hai, perkenalkan, nama saya Danendra, panggil saja Andra," suaranya terdengar berat namun lembut, menciptakan kontras yang menarik. Nada bicaranya yang tenang berhasil meredam sisa-sisa kegaduhan yang masih tersisa.
"Sell, kok bisa sih sekolah kita menerima murid baru? Padahal kan ini udah kelas dua belas bentar lagi mau lulus," tanya Dela, suaranya yang terdengar heran.
Sella mengangkat bahu, menunjukkan ketidaktahuannya. "Lo tanya gue? Terus gue mau tanya siapa? Gue aja nga tahu," jawabnya dengan santai.
Dela berdecak kesal, pasalnya murid itu yang sudah membuat suasana hati Dara kacau. Mulai dari kejadian di taman dan juga kejadian pagi tadi.
Bu Ani memberi instruksi, "Kamu boleh duduk di tempat yang masih kosong."
Pandangan Andra tertuju pada bangku kosong di pojok belakang. Namun, sebelum Andra sempat bergerak, Della tiba-tiba angkat bicara. "Bu, ini tempat duduk Dara dia mau duduk sendiri."
Bu Ani menatap Dela dengan penuh pengertian. "Saya mengerti, Dara memang sering menyendiri. Tapi kali ini ada murid baru, dan Dara harus belajar beradaptasi," ucap Bu Ani memberi penjelasan pada Dela dengan lembut tetapi tegas.
"Ya sudah, kalau begitu ibu mau pamit keluar, hari ini kalian tidak ada pelajaran dulu," kata Bu Ani, melangkah keluar meninggalkan kelas. Seketika itu juga kelas kembali riuh.
Andra memilih bangku kosong di pojok belakang, bersandar pada dinding, tepat di belakang Della dan Sella. Kedua gadis itu menoleh, menatap Andra yang sudah duduk. Dela menatap Andra dengan tajam.
Dela menatap Andra dengan tajam. "Kalo lo berani macem-macem sama temen gue, awas aja lo," ancam Dela, suaranya yang terdengar tajam. Namun, Andra hanya tersenyum tipis tidak menanggapi ucapan Dela.
Tiba-tiba, Sella menyikut lengan Della pelan. "Del, Del, itu.. Dara," bisiknya, menarik perhatian Della.
Terlihat wajah Dara yang kusut tanpa ekspresi. Ia berjalan menuju tempat duduknya, tiba-tiba ia melemparkan tasnya ke atas meja dengan kasar suara keras yang nyaring membuat kelas kembali hening.
Tatapan Dara tajam tertuju pada Andra. "Lo! Kenapa bisa duduk di sini?!" suaranya bergetar, kemarahan yang sempat terpendam kembali membuncah.
Andra tersenyum lebar, tampaknya sama sekali tidak gentar dengan amarah Dara. "Panggil aku Andra," jawabnya, suara tenangnya justru semakin membuat Dara geram.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments