Bab 4. Sarapan Pahit

Tiga minggu sejak janji pernikahan itu diucapkan, sebuah rutinitas dingin telah terbentuk di penthouse. Aaron bangun jam lima pagi, mengenakan setelan kerjanya, dan pergi sebelum Claire terbangun. Ia biasanya pulang saat Claire sudah tertidur. Kadang mereka berpapasan, namun hanya sebatas itu—sekelebat pandangan, keheningan yang canggung. Bahkan sebelum Claire sempat membuka mulut hendak berbicara, Aaron sudah menghilang di balik pintu ruang kerjanya, seolah sengaja menghindari setiap peluang interaksi.

“Nyonya,” sapa Samuel dari belakang, suaranya tenang. Pria yang dikenal Claire sebagai sekretaris pribadi Aaron itu selalu bersikap hormat padanya, sebuah perlakuan yang terasa kontras, bahkan ironis, dibandingkan sikap Aaron.

“Sekretaris Sam,” balas Claire. “Anda belum pulang?” Biasanya Samuel hanya datang mengantar Aaron atau mengurus keperluan di luar. Jika Samuel menemuinya seperti ini di penthouse, Claire yakin ada sesuatu yang ingin dikatakan padanya.

“Mengenai pengeluaran Anda—”

“Pengeluaran?” Claire mendadak gelisah. Sehari setelah pernikahan, Samuel atas perintah Aaron memberinya sebuah kartu keuangan, mengatakan bahwa ia bisa berbelanja apa pun dengan uang tanpa limit di dalam kartu itu. “Tapi… tapi aku tidak menggunakan sepeser pun,” gumamnya, ia menggigit kuku ibu jarinya tanpa sadar.

Samuel mengernyitkan alis, merasa bahwa kegelisahan Nyonya Silvan di hadapannya ini tidak wajar dan tidak berdasar sama sekali. "Nyonya—"

"Tidak," sela Claire, matanya bergetar. "Sepertinya ada yang salah dalam sistemnya, Sekretaris Sam." Suaranya tercekat, "Aku—" Ia menarik napas, berusaha tenang. "—aku benar-benar tidak membelanjakan satu sen pun uang di dalamnya, sungguh!" Kegelisahan itu semakin kentara di wajahnya, semakin tidak wajar bagi Samuel yang terbiasa berhadapan dengan orang-orang yang justru terlalu mudah menghabiskan uang.

"Aku punya tabunganku sendiri," tambah Claire terburu-buru, seolah membela diri. "Catatan belanja pribadiku—aku juga masih menyimpannya. Aku bisa membuktikan jika aku belum menggunakan—"

"Justru karena hal itu, Nyonya," Samuel menghela nafas panjang, kebingungan Nyonya Silvan membuatnya lelah karena terasa tidak perlu. Ia meraih saku di balik jasnya. "Kenapa Anda tidak menggunakan kartu yang diberikan Direktur?"

Claire terdiam, matanya mengerjap. Huh? Pertanyaan itu terasa aneh baginya. Kenapa dia harus menghabiskannya?

Seolah baru menyadari bahwa tindakannya menghemat justru menimbulkan masalah, dirinya mendadak tenang, namun digantikan kebingungan lain.

"I-itu… saya hanya merasa belum membutuhkan..."

Samuel menghela napas samar, memutuskan untuk tidak bertele-tele. Kemudian mengeluarkan sebuah kartu lain, berwarna hitam pekat, dari balik jasnya.

"Ini, Direktur meminta Anda menghabiskan uang di dalamnya dalam waktu satu minggu." Kartu itu terasa berat saat Claire mengambilnya dengan ragu.

Samuel kembali menjelaskan, suaranya terdengar seperti memberi instruksi militer, namun dengan nada memohon. "Setiap akhir minggu saya akan memeriksa apakah Anda sudah mengosongkan uang di dalamnya atau tidak." Ia membungkuk sedikit, "Jika Anda tidak melakukannya... maka saya, dan mungkin Anda juga, akan berada dalam situasi sulit." Ia menatap Claire dengan tatapan yang langka—sedikit putus asa. "Tolong, Nyonya. Anggap saja ini sebuah misi dari Direktur."

Setelah kepergian Sekretaris Sam, Claire masih termenung di depan pintu ruang kerja Aaron, memandang pintu kayu mahoni yang tertutup itu dengan ekspresi sulit dijelaskan—campuran kebingungan, ketidakpercayaan, dan sedikit... terluka? "Aaron…" bisiknya lirih, pertanyaan "mengapa?" menggantung di udara sunyi.

Claire turun ke lantai bawah, berjalan ke ruang makan. Ia melihat makan malam yang ia buatkan lagi—untuk yang kesekian kalinya—kini menjadi sesuatu yang tak berarti di atas meja. Sesuatu yang bahkan tidak dilirik sedetik pun oleh Aaron sebelum dia menghilang ke ruang kerjanya.

Duduk di meja makan yang dingin, ia melihat jam. Sudah pukul sebelas malam. Usahanya untuk setidaknya berbagi makan malam, sebuah simbol kecil 'rumah tangga', kembali sia-sia. Sia-sia menyiapkan makan malam, sia-sia menunggu di tengah malam yang sepi, dan sekarang… sia-sia menghemat pengeluaran.

Aaron…

Ia menunduk dalam, kedua tangannya terkepal kuat di atas pangkuannya. Pandangannya jatuh pada perutnya yang mulai sedikit membesar, tempat di mana ada nyawa lain sedang berjuang untuk dilahirkan. Pandangannya kabur, air matanya jatuh menetes di atas punggung tangannya yang terkepal erat. "Aaron…," Suaranya begitu lirih, pelan, namun seolah memenuhi ruang makan yang minim penerangan itu dengan kesedihan.

Sementara itu, Aaron, yang berada dibalik dinding, mengambil langkah pergi dari sana beberapa saat setelahnya, masuk kembali ke ruang kerjanya.

...****************...

Senyumnya merekah indah keesokan paginya. Ketika pukul enam pagi ia bertemu Aaron didapur hendak membuat kopi.

"Biar ku buatkan," katanya cepat, nadanya terdengar penuh semangat. Mengambil cangkir kopi Aaron dengan cepat dari rak dan mulai membuatkan kopi.

Aaron, yang bahkan belum sempat bereaksi, hanya memilih untuk diam di tempat, mengamati Claire membuatkan kopinya. Dia seharusnya belum bangun jam segini, pikirnya, heran sekaligus... sedikit terganggu.

Aaron tanpa sadar menatap wajah Claire terlalu lama, memperhatikan pipinya yang sedikit lebih berisi dan sorot matanya yang memancarkan harapan yang aneh. Ia tidak sadar bahwa kopinya sudah selesai dibuatkan.

"A-Aaron," panggil Claire, ia mengulum bibirnya, ada rona samar di pipinya.

Aaron mengerjapkan mata, melihat gelas kopi di tangan Claire. Mengambilnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Aaron lantas pergi ke ruang tamu. Di sana sudah ada jas dan tas kantornya, siap dibawa.

Tak lama, Claire menghampirinya, membawakan sarapan sederhana—roti panggang dan telur orak-arik—yang tampak berusaha dibuat secepat mungkin sebelum Aaron pergi.

Setelah meletakkan sarapan di atas meja di depan Aaron, Claire berdiri kaku di ujung sofa. Tidak duduk, namun juga tidak pergi. Ia masih memegang nampan kosong di tangannya, memeluknya seperti tameng.

Belum semenit berlalu, bel pintu berbunyi, membuat Claire sedikit tersentak kaget. Bergegas Claire pergi untuk membukakan pintu.

"Sekretaris Sam?"

Oh. Samuel juga menunjukkan ekspresi yang sama bingungnya—tidak biasanya Nyonya Silvan yang membukakan pintu.

"Selamat pagi, Nyonya," Samuel membungkuk hormat, profesionalismenya tak luntur.

"Selamat pagi," balas Claire, namun masih tidak beranjak dari pintu, membuat Samuel ragu untuk menerobos masuk.

"Apa biasanya Sekretaris Sam menjemput Aaron dari sini?" tanya Claire.

Samuel melirik ke arah dalam sejenak, ke arah Aaron, lalu kembali melihat ke arah Nyonya Silvan di hadapannya. "Tidak, Nyonya. Saya biasanya menunggu di bawah. Direktur yang meminta saya datang hari ini untuk mengambil dokumen," jelas Samuel. "Terlalu banyak untuk dibawa oleh Direktur sendirian," tambahnya, berusaha memberi penjelasan lengkap.

Claire mengangguk mengerti, namun dimatanya Samuel melihat ada sedikit kekecewaan yang membingungkan disana.

Haruskah aku masuk? Samuel merasa langkahnya terasa berat. Suasana di antara suami istri itu—atau apa pun hubungan aneh ini—terasa dingin dan canggung. Ia sudah diberi jalan oleh Claire, namun ada rasa tidak nyaman untuk menerobos momen ini.

Claire mengikuti Sekretaris Sam dari belakang saat pria itu masuk, langkahnya sedikit lesu. Namun mendadak suasana hatinya kembali cerah melihat sarapan yang ia berikan pada Aaron sudah dimakan setengahnya. Kopinya juga sudah habis. Sebuah kemenangan kecil. Dia memakannya!

"Terlalu lama," kata Aaron, suaranya dingin dan menusuk, memecah keheningan.

Samuel membungkuk hormat, "Maaf, Direktur. Saya akan segera mengambil dokumennya di ruangan Anda." Ia bergegas pergi menuju lantai dua, lega meninggalkan suasana canggung itu.

Kini yang tersisa kembali hanya mereka berdua—Aaron dan Claire. Hening seperti sebelumnya, namun kali ini Claire merasa keheningan itu sedikit berbeda, sedikit... lebih ringan?

Sebuah harapan kecil muncul. Ia kembali mencuri pandang ke atas meja, melihat sekali lagi bahwa gelas kopi Aaron kosong dan sarapannya tinggal setengah. Besok aku harus bangun lebih awal dari ini, pikirnya penuh tekad yang naif.

Ia sangat menyesalkan bahwa hanya makanan sederhana yang bisa ia siapkan untuk Aaron.

"Jangan berpikir untuk melakukan hal yang sama besok," tegas Aaron, suaranya dingin seperti biasa, memupus harapan kecil itu seketika. Sorot matanya keras saat melihat Claire.

Claire sedikit menggigit bibirnya, hanya bisa menunduk dalam diam, seperti yang juga biasa ia lakukan di hadapan Aaron ketika merasa takut atau bersalah.

"Kau sudah mendengar apa yang dikatakan Sekretaris Sam kemarin, bukan?" lanjut Aaron, nadanya tidak memberi ruang untuk sanggahan. Ini bukan permintaan, ini perintah.

"Aku memintamu menghabiskan uang itu, Nona Hayes. Bukan malah mencoba melakukan... ini." Matanya melirik jijik pada sisa sarapan di atas meja. "Jadi jangan bertingkah. Berhenti melakukan hal yang tidak berguna."

Claire tidak menjawab sama sekali. Hanya diam menunduk ditempat. Tak lama Sekretaris Sam turun dari lantai dua bersama setumpuk dokumen dikedua tangannya. Sekarang, apalagi yang terjadi?

Sekretaris Sam hanya bisa pura-pura tidak melihat Nyonya Silvan berdiri diam seolah sedang dihukum disana oleh Direkturnya.

"Ayo pergi," ujar Aaron.

Setelah Aaron dan Sekretaris Sam pergi dari penthouse, meninggalkan Claire sendirian lagi, kata-kata terakhir Aaron terasa seperti tamparan. "Tidak berguna," racaunya lirih, mengulang kata-kata Aaron, "dasar tidak berguna." Kepalanya semakin tertunduk, tertunduk sampai nyaris menyentuh lantai di mana ia kini terduduk lemas.

Kedua tangannya memeluk perutnya erat, mencoba melindungi nyawa kecil di dalamnya. Tiba-tiba, ia mulai merasakan sakit nyeri di bagian perutnya. Ia mual, pening, dan sangat tidak nyaman. "Apa yang kau lakukan, Claire…?" bisiknya pada dirinya sendiri, air mata menggenang. "Kau mengacaukan segalanya... membuat Aaron marah... dan sekarang... sekarang anak ini..."

Dunia serasa berputar baginya. Pandangannya menggelap. Claire kehilangan kesadarannya di lantai yang dingin itu, tubuhnya terkulai tak berdaya di tengah kemewahan yang dingin dan hampa.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!