Cahaya remang dari lampu gantung di bar hotel memantulkan kilau keemasan di gelas-gelas kristal. Musik jazz mengalun lembut, mengisi ruangan dengan suasana menggoda. Arga duduk sendiri di sudut bar, kemeja hitamnya terbuka satu kancing di atas, memperlihatkan sedikit kulit dadanya yang lembap karena udara malam.
Ia memutar gelas bourbon di tangannya, matanya tak lepas dari sosok perempuan yang baru saja masuk. Kalista.
Gaun satin berwarna anggur tua melingkupi tubuhnya dengan sempurna. Lekuknya nyaris tidak menyisakan ruang untuk imajinasi. Bibir merahnya melengkung, seolah tahu bahwa setiap mata di ruangan itu kini tertuju padanya.
Arga meneguk minumannya cepat, mencoba menetralisir degup jantung yang tiba-tiba menghentak lebih keras dari musik di sekitarnya.
Kalista berjalan pelan, langkahnya anggun tapi pasti. Ia langsung menuju Arga tanpa basa-basi, lalu duduk di sampingnya.
“Kau menungguku?” suaranya rendah dan menggoda.
“Entah. Mungkin menunggu diriku sendiri yang hilang sejak semalam.”
Kalista tersenyum tipis, lalu mengambil gelas Arga dan menyesap sisa bourbon-nya. “Masih pahit, ya? Seperti kenyataan.”
Arga menyentuh dagunya, mengangkat wajah Kalista agar ia bisa menatap mata perempuan itu lebih dalam. “Tapi kadang kepahitan itu candu.”
Kalista tertawa kecil. “Kau mulai pandai bicara, ya.”
“Mungkin kau yang mengubahku,” balas Arga, suara beratnya menggelitik di antara kebisingan halus bar.
Tanpa sadar, tangan mereka bersentuhan. Arga tidak menariknya. Kalista pun membiarkannya. Sentuhan itu seakan membakar kulit mereka, menghidupkan kembali api yang semalam belum sempat benar-benar padam.
“Kau tahu, aku tak pernah datang ke tempat seperti ini dengan Arman,” kata Kalista, suaranya nyaris seperti pengakuan dosa.
“Lalu kenapa sekarang bersamaku?”
Karena aku ingin merasakan hidup, jawabnya dalam hati. Tapi lidahnya terlalu kaku untuk mengatakannya.
Sebagai gantinya, Kalista berdiri dan membisik di telinga Arga. “Temani aku ke lounge atas. Lampunya lebih redup.”
Arga mengangguk, mengambil jaketnya, lalu mengikuti Kalista menaiki tangga spiral yang memisahkan dunia bawah dari tempat yang lebih privat di atas sana.
Di lounge atas, hanya ada beberapa meja dengan pasangan-pasangan yang sudah larut dalam percakapan intim. Cahaya lilin dan lampu gantung kecil menciptakan suasana seolah tempat itu ada di dunia lain, dunia di mana rahasia, hasrat, dan kesepian bersatu dalam diam.
Kalista memilih sudut yang paling tersembunyi, lalu duduk dan menepuk sisi sofa di sampingnya. Arga menurut.
“Kau sering datang ke sini?” tanya Kalista pelan.
“Baru pertama kali. Tapi anehnya, aku merasa seperti pernah,” jawab Arga. “Mungkin karena kamu.”
Kalista melirik ke arahnya, lalu memiringkan tubuhnya. Wajah mereka hanya terpisah beberapa jari. Matanya berkilat seperti ingin menantang.
“Kalau memang kau mengingatku, buktikan,” bisiknya.
Arga mengusap pipinya pelan, lalu menelusuri garis rahang Kalista dengan punggung jarinya. “Aku ingat ini… bentuk wajahmu saat kau menahan napas semalam…”
Kalista menahan senyum, tubuhnya mulai gemetar oleh ketegangan yang mendebarkan.
“Dan ini…” Arga memegang tangan Kalista, lalu mengangkatnya. “Jari-jari ini mencakar punggungku saat kau tak bisa menahan…”
“Cukup,” Kalista memotong, nafasnya tersengal. “Kau ingin mengulang malam itu di sini?”
Arga mendekatkan bibirnya ke telinga Kalista. “Aku ingin lebih dari itu.”
Kalista menggigit bibir. Ia tahu, jika mereka terus di sini, mereka akan terjerumus lagi. Tapi entah kenapa, bagian terdalam dalam dirinya justru ingin jatuh lebih dalam. Lampu remang-remang ini, musik yang seolah membisikkan dosa, dan panas tubuh Arga di dekatnya membuatnya lupa akan batas.
Dan malam pun kembali menyusun rencananya.
Kalista menyandarkan punggungnya ke sofa, menengadah sedikit, mencoba mengatur napas yang mulai tak teratur. Arga duduk lebih dekat, lengan mereka saling menempel, dan aroma parfum Kalista mulai menciptakan pusaran hasrat yang sulit dikendalikan.
"Aku tak seharusnya di sini," gumam Kalista.
"Tapi kamu tetap datang," balas Arga, menoleh perlahan ke arahnya.
Tatapan mereka bertaut, dan waktu seolah berhenti sesaat. Tak ada lagi musik, tak ada lagi orang-orang di sekeliling. Yang ada hanya dua jiwa yang terbakar, yang saling menarik satu sama lain ke jurang yang sama.
Kalista menunduk, menatap jari-jarinya yang kini digenggam erat oleh tangan Arga. “Arman bisa tahu.”
“Biarkan dia tahu,” ujar Arga datar. “Mungkin sudah saatnya kebenaran mencuat ke permukaan.”
Kalista menatap Arga penuh kebimbangan. Ada sisi dirinya yang ingin percaya, tapi ada pula sisi yang takut pada kenyataan yang menunggu di balik keputusan itu. Dunia yang ia masuki bersama Arga adalah dunia yang berbahaya, tapi mengapa justru di sanalah ia merasa hidup?
“Kau tahu,” ujar Kalista pelan, “selama bersama Arman, tak pernah sekalipun aku merasa diperjuangkan.”
“Dan aku ingin memperjuangkanmu,” jawab Arga tegas, tanpa ragu.
Kalista menutup mata. Kata-kata itu seperti sihir. Membius sekaligus menakutkan. Ia belum sempat membalas ketika Arga menyentuh wajahnya, lalu mendekatkan bibirnya perlahan, menunggu persetujuan dalam diam.
Dan Kalista tak menolak.
Ciuman itu lembut pada awalnya, seolah mereka berusaha menenangkan badai yang bergemuruh di dada masing-masing. Tapi seiring waktu, ciuman itu berubah menjadi lebih dalam, lebih liar, hingga tubuh mereka saling mendekap erat dalam pelukan yang menyala.
Tangannya menyusup ke balik rambut Arga, menariknya lebih dekat, seolah tak ingin berpisah barang sedetik pun. Arga membalas dengan meraba punggungnya perlahan, menariknya ke pangkuan, dan Kalista pun menyambut tanpa perlawanan.
Mereka lupa sedang di ruang publik. Lupa pada dunia luar. Lupa bahwa hubungan mereka dibangun dari pengkhianatan.
“Ayo keluar dari sini,” bisik Arga, napasnya memburu.
Kalista mengangguk cepat, bangkit dengan langkah tergesa. Mereka turun dari lounge menuju lobi hotel, tak peduli pada tatapan atau bisikan yang mungkin tertinggal di belakang. Yang mereka pikirkan hanyalah satu: pelarian.
Di dalam mobil Arga, keheningan terasa membakar. Mereka tak saling bicara. Tapi tangan mereka tetap saling menggenggam. Hingga akhirnya, mobil melaju menuju apartemen Arga, menyisakan bayang-bayang lampu jalan yang melintas seperti potongan-potongan ingatan yang berkelebat.
Sesampainya di sana, Kalista langsung disambut dengan pelukan dari belakang saat ia berdiri menatap jendela. Arga memeluknya erat, wajahnya menempel di tengkuk Kalista, menghirup aroma tubuhnya yang membuatnya nyaris kehilangan kendali.
"Kalista…" gumamnya dengan suara serak, "aku tak mau lagi menahan diri."
Kalista berbalik, menatap mata Arga yang penuh api, dan bibir mereka kembali bertaut lebih dalam, lebih liar, lebih penuh amarah dan kerinduan yang tak tertahankan.
Dalam ruangan yang hanya diterangi cahaya temaram dari lampu meja, mereka membiarkan malam menjadi saksi. Tak ada janji. Tak ada kata. Hanya tubuh dan hasrat yang berbicara.
Dan di bawah cahaya lampu remang itu, godaan menemukan jalannya.
Tubuh mereka bergelut dalam pelukan hangat di atas ranjang. Kalista terbaring dengan rambut terurai di atas bantal, wajahnya bersinar diterangi cahaya kekuningan dari lampu di sudut kamar. Arga menatapnya dalam diam, seakan ingin merekam momen itu dalam ingatannya selamanya.
Tak ada kata yang terucap. Yang terdengar hanya napas terengah dan detak jantung yang bersahutan.
Arga menelusuri garis rahang Kalista dengan ujung jarinya, turun ke lehernya yang halus, lalu berhenti di tulang selangka yang menonjol. Ia menunduk, mencium bagian itu perlahan, membuat tubuh Kalista sedikit menggeliat.
“Arga…” gumam Kalista dengan suara serak, setengah napas.
“Ya?” Arga menjawab lembut, masih terus menjelajah kulit kekasih gelapnya itu.
“Apakah… kita akan selalu seperti ini? Sembunyi-sembunyi?” tanyanya lirih.
Arga menghentikan gerakannya sejenak. Ia menatap mata Kalista, lalu berbisik, “Tidak. Aku akan membuat ini menjadi nyata. Aku akan menghentikan semua kebohongan ini.”
Kalista tersenyum getir. “Mudah bagimu berkata begitu. Tapi Arman bukan pria biasa. Dia bisa menghancurkanmu.”
“Aku tak peduli. Aku sudah jatuh terlalu dalam, Kalista. Dan kau satu-satunya yang ingin kuperjuangkan sekarang.”
Mata Kalista berkaca-kaca. Arga menciumnya lagi panjang dan dalam, seolah ingin menyampaikan janji yang belum sempat diucapkan dengan kata-kata. Di antara hasrat yang membakar dan rasa bersalah yang menekan, mereka menciptakan ruang kecil milik mereka sendiri. Ruang di mana hanya ada kejujuran, meski dibangun dari dosa.
Pagi mulai menjelang, sinar matahari menyusup dari celah tirai, menerangi kamar yang semalam dipenuhi desahan dan bisikan rahasia.
Kalista terbangun lebih dulu. Ia memandangi wajah Arga yang tertidur di sampingnya. Tangan pria itu masih memeluk pinggangnya dengan erat, seolah takut kehilangannya. Tapi justru momen damai itu membuat Kalista semakin sadar bahwa kenyataan akan segera menghantam mereka.
Dengan hati-hati, ia melepaskan diri dari pelukan Arga, bangkit perlahan dari ranjang, dan mengambil bajunya yang berserakan di lantai. Setelah mengenakan semuanya, ia berdiri sejenak di samping tempat tidur, menatap Arga untuk terakhir kalinya sebelum pergi.
Sebuah kecupan singkat ia berikan di kening pria itu. Lalu tanpa suara, Kalista berjalan keluar dari apartemen.
Di lobi, langkahnya sempat terhenti. Di sana berdiri seorang pria setengah baya dengan jas mahal, wajahnya tegas namun tatapannya tajam dan curiga. Arman.
“Kalista?” sapa Arman, nadanya datar tapi mengandung tekanan.
Jantung Kalista nyaris berhenti berdetak. Namun ia tersenyum tenang dan menjawab, “Maaf, aku hanya mengunjungi teman.”
Arman menatapnya tajam, lalu mengangguk pelan. “Teman, ya?”
Kalista hanya membalas dengan senyum tipis, lalu berjalan melewati Arman dengan jantung yang berdebar hebat. Ia tahu mulai hari ini, semuanya akan berubah.
Dan di balik pintu lift yang menutup, rahasia mereka semakin dekat pada kehancuran.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments
Dadi Bismarck
Jangan nggak baca, sayang banget
2025-05-12
0