Aroma antiseptik menusuk hidung, bercampur samar dengan bau darah segar dan keringat panik. Di Rumah Sakit Umum Kota Sentral Raya, malam itu seperti patah. Lampu neon berkedip pelan, dan suara tangisan bergema—tapi bukan tangis bayi baru lahir.
Tangisan para ibu.
Yama Mendrofa berdiri diam di balik kaca ruang observasi. Tangan di balik jas laboratoriumnya mengepal erat. Di hadapannya, tujuh ibu muda di ruang bersalin mengalami hal yang sama: detak janin menghilang serempak. Monitor jantung mendadak datar. Nafas bayi-bayi itu berhenti bahkan sebelum sempat menarik yang pertama.
“Ini… ini nggak mungkin. Semuanya?” tanya seorang bidan setengah berbisik, tubuhnya gemetar.
Yama hanya menatap. Sinar matanya dingin, penuh kalkulasi. Tapi di baliknya, ada amarah dan ketakutan yang perlahan tumbuh.
Ia menuruni lorong ke ruang penyimpanan jenazah bayi, melangkah melewati suster yang menangis dan dokter yang putus asa. Gamelan terdengar samar. Bukan dari speaker, tapi dari dinding. Seperti sesuatu yang menari dari dalam beton.
Yama membuka lemari pendingin, memeriksa salah satu jasad kecil dengan hati-hati. Tubuh mungil itu dingin. Tapi bukan itu yang membuatnya membeku.
Kuku-kuku bayi itu... menghitam. Seperti terbakar dari dalam.
Ia merogoh saku dan mengeluarkan vial kecil cairan uji—detektor jejak energi biologis abnormal. Diteteskannya cairan itu ke lantai dekat jasad bayi.
Warnanya berubah. Hitam. Lengket. Dan dari balik reagen, muncul suara—suara tangisan… atau tawa bayi?
Yama menegang.
“Bukan penyakit,” gumamnya pelan. “Ini… ritual. Tapi untuk apa?”
Dari balik jendela lorong rumah sakit, bunga kamboja bermekaran. Padahal bukan musimnya.
Ia menatap ke luar dengan rahang mengeras.
Ada sesuatu yang berburu jiwa—dan anak-anak yang belum lahir… adalah persembahan pertamanya.
Yama menutup lemari pendingin mayat bayi dengan gerakan pelan. Dentingan logamnya menggema lirih, menyatu dengan keheningan rumah sakit yang mencekam. Di belakangnya, seorang perawat muda berdiri kaku, wajahnya sepucat dinding.
“Pak Yama… kita harus apa?” tanyanya dengan suara bergetar, nyaris berbisik, seolah takut mengganggu sesuatu yang mengintai dari balik lorong.
Yama menoleh, matanya tajam seperti bilah bedah. “Karantina ruang bersalin. Jangan terima pasien hamil lagi. Pindahkan mereka ke luar kota. Mana kepala rumah sakit?”
“D-di ruang rapat, Pak… Tapi semua orang panik. Ada suster yang katanya lihat… bayi jalan sendiri.”
Yama tak merespons. Ia bergegas menuju ruang kontrol medis. Tangannya cepat menyalakan sistem keamanan dan membuka rekaman CCTV dari ruang bersalin. Ia mempercepat tayangan hingga—
Gambar berhenti.
Satu bayi. Baru dilahirkan. Masih bergerak. Lalu... pelan-pelan, kepalanya menoleh ke arah kamera. Matanya hitam legam. Mulutnya tidak menangis—tapi menyeringai. Sejurus kemudian, seluruh alat medis mati serempak. Layar CCTV berubah statis.
Yama menarik napas panjang. Jemarinya bergerak cepat di keyboard, mengakses database pribadi: pola kematian janin, jejak energi non-biologis, dan fenomena spiritual medis. Hasilnya nihil. Ini bukan penyakit. Bukan kutukan biasa.
Ini... sesuatu yang jauh lebih tua dari ilmu kedokteran.
Ia keluar dari ruangan itu.
Di lorong, suasana semakin tegang. Aroma bunga kematian—kamboja, melati busuk—menyusup lewat ventilasi. Seorang dokter senior menghampirinya, wajah lelah tertutup masker.
“Kau yang tangani lab forensik, ya?”
“Benar,” jawab Yama.
“Tapi kenapa minta tutup akses ibu hamil? Ini bisa bikin panik—”
“Kalau tidak, besok kita kehabisan tempat untuk jasad bayi. Ini bukan infeksi. Ini ancaman dari sesuatu yang tidak bisa dilawan dengan vaksin,” potong Yama dingin.
Dokter itu menatapnya lama, lalu mengangguk dengan berat.
Yama segera turun ke basement parkir. Di sana, van hitamnya menunggu—laboratorium bergerak penuh modifikasi. Begitu masuk, ia mengaktifkan sistem intelijen miliknya.
“Scan semua rumah sakit dan klinik di Jawa Tengah. Kasus kematian janin dalam dua malam terakhir.”
Data mengalir di layar: 17 kasus. Lima rumah sakit. Empat puskesmas. Satu klinik bidan.
Yama mengetik cepat. “Petakan. Temukan pusat persebarannya.”
Titik merah muncul, menyebar seperti penyakit. Namun semuanya berpusat ke satu titik: Desa Gunungjati—desa terpencil yang bahkan nyaris tidak terdeteksi jaringan sinyal modern.
Yama bergumam lirih. “Gunungjati... apa yang kalian gali di sana?”
Ia membuka koneksi terenkripsi ke pusat organisasi.
“Kirim kode merah ke The Vault. Bencana spiritual tingkat tinggi, potensi penyebaran lintas wilayah.”
Jawaban otomatis muncul: Prioritas sudah dikeluarkan oleh Taki Dirgantara. Data sedang disinkronkan.
Yama terdiam. Ia tak mengenal Taki secara langsung, hanya sebagai nama misterius yang mendirikan organisasi. Tapi jika mereka sampai berpikir sama, ini lebih buruk dari yang ia kira.
Ia membuka laci rahasia, mengeluarkan dua senjata injeksi dan sebuah tabung kaca berisi cairan bening kehijauan—Racun Sintetik Beta-13, ciptaannya sendiri. Belum pernah diuji pada kasus seperti ini.
Sambil memeriksa ulang perlengkapan medis, alat pelindung diri, dan alat deteksi entitas astral, ia menyalakan mesin. Lampu dashboard menyala, layar menunjukkan jalur menuju Desa Gunungjati.
Sebelum berangkat, ia memandang pantulan wajahnya di kaca spion. Wajah yang dulu bersumpah menyelamatkan nyawa… kini bersiap melawan sesuatu yang bahkan tak lahir sebagai manusia.
Van hitam itu meluncur ke dalam malam. Langit di atas kota begitu gelap, seolah bintang pun enggan menyaksikan.
Dan entah dari mana, meski radionya mati, suara gamelan tua kembali terdengar.
Yama menutup matanya sesaat.
Suara itu bukan berasal dari dunia ini.
Bersambung.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
EsTehPanas SENJA
kenapa namanya berbau bau J. ada taki ada yama 😳🤭
2025-05-11
1