Cinta untuk si kembar

Suara bell rumah berbunyi, Ferdi dan istrinya keluar menemui tamu yang datang. Terlihat, seorang pria tua dan juga kedua pria berbeda usia di belakangnya. Ketiganya menatap Ferdi dan istrinya dengan pandangan berbeda. Tapi kedatangan mereka, tentu membuat emosi Ferdi meledak.

"Ngapain kalian kesini lagi?! Belum puas menghancurkan mental putriku hah?!" Sentak Ferdi dengan teriakan yang menggema.

"Ferdi, kami datang ingin menjemput kembali Jingga. Maafkan cucuku yang bodoh ini, dia benar-benar menyakiti putrimu. Kami benar-benar datang untuk memperbaiki semuanya." Ucap Tuan Yudha dengan tatapan penuh harap.

Jelas saja Ferdi menolak. Putranya sudah membawa Jingga pergi dari kota ini semalam. Dia tak akan mungkin kembali menyerahkan putrinya pada pria yang sudah menghancur leburkan perasaan putrinya itu. Tentunya, Ferdi akan menolak dengan tegas.

"Apa yang perlu di perbaiki? Delvin sudah menghina putriku! Dia menceraikannya dan bahkan tak mencintainya. Jika dia memiliki wanita lain, kenapa harus menerima putri kami? Kami menikahkan Jingga dengan pria ini agar putri kami bahagia, bukan tekanan batin."

"Iya, itu kesalahan kami. Untuk itu, kami....,"

Ferdi mengangkat tangannya, meminta Tuan Yudha berhenti berbicara. Lalu, tatapannya beralih menatap Delvin dengan tatapan tajam. Pria yang sudah menyakiti hati putrinya kini berdiri dengan tegar tanpa perasaan bersalah sedikit pun. Ferdi, membenci pria di hadapannya.

"Aku tak akan kembali menarik bantuan yang sudah aku berikan pada perusahaan kalian berdasarkan permintaan putriku. Tapi, hubungan keluarga kita berakhir. Tak ada lagi persahabatan dua keluarga!"

"A-apa? Ferdi, mendiang orang tuamu dan aku sudah bersahabat sejak lama. Mereka pasti tidak akan terima!" Seru Yudha. Ia merasa keputusan Ferdi sangat sepihak. Mendiang sahabatnya, pasti tak akan terima dengan perpecahan keluarga ini.

"Lalu apa mereka juga akan terima jika cucu mereka di sakiti oleh keluarga yang mereka anggap sebagai sahabat? Sudah cukup, pergilah! Keluarga kami, tak ada hubungan apa-apa lagi dengan kalian. Dan kamu ...." Ferdi menunjuk wajah Delvin dengan nafas memburu.

"Segera sah kan perceraianmu dengan putriku! Semoga kamu mendapatkan balasan semesta dari apa yang kamu lakukan padanya!"

Suara gemuruh pertanda hujan mengejutkan mereka. Ferdi langsung menutup pintu rumahnya, menolak kehadiran keluarga Rodriguez. Ia begitu emosi, ingin menghajar habis Delvin jika hal itu dapat menyenangkan hati putrinya.

"Jangan sampai, mereka mengambil cucu kita." Lirih Tania merasa khawatir akan masa depan nanti.

"Tidak mungkin. Mereka tidak akan pernah bisa mengambil cucu kita." Ferdi menghela nafas kasar. Ia berharap, dengan waktu putrinya dapat sembuh dan lebih dewasa dalam mengambil sebuah keputusan.

.

.

.

5 Tahun kemudian.

Terlihat, seorang wanita cantik baru saja bangun dari tidurnya. Rambutnya masih berantakan, sudah seperti singa yang akan siap mengaum. Ia menguap lebar sembari mengg4ruk kepalanya yang tak gatal. Matanya beralih menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi.

"Astaga! Jam sepuluh?!" Jingga langsung bangkit dari ranjang empuknya. Ia segera keluar kamar dan melihat kekacauan yang ada. Banyak mainan berserakan, bahkan kakinya tak sengaja menginjak sebuah balok. Jingga tahu, siapa yang telah membuat ulah itu.

"Bunda cayaaaang! Cudah telcadal dali bunga tiduuul beluuum?"

Lihatlah, si pengacau sudah tiba. Anak kembar laki-laki berjalan menghampirinya dengan paper bag di tangan mereka. Salah satunya tersenyum lebar mendekat ke arahnya. Berbeda dengan anak lainnya yang justru meletakkan paper bag itu di atas meja dan membereskan kekacauan yang ada.

Keduanya, adalah anak kembarnya yang lahir empat tahun yang lalu. Dimana, kini usia mereka sudah menginjak empat tahun delapan bulan. Arga Ziyan Allendra dan Artan Zehan Allandra. Keduanya hanya berjarak lima menit saja saat di lahirkan.

"Artan bukannya semalam Bunda bilang, bereskan mainanmu dulu baru tidur. Kenapa tidak kamu bereskan juga huh?" Omel Jingga pada putra keduanya yang saat ini menyengir lebar.

"Nda inget Altan, tadi Om Lapa culuh cali calapan, iya kan Abang?" Artan melirik ke arah kembarannya.

Arga hanya diam, dia membereskan mainan yang ada tanpa banyak bicara. Jingga menatap putranya dengan tatapan lembut. Kedua anak kembarnya memang memiliki pribadi yang berbanding terbalik. Arga yang memiliki sifat kalem dan tak banyak bicara, Artan yang sangat hiperaktif dan suka sekali berbicara. Entahlah, Jingga bingung dengan sikap keduanya.

"Jingga, ayo makan." Raffa datang dari luar, ia melepas jaketnya dan menyiapkan sarapan yang dirinya beli tadi bersama si kembar.

Jingga akan menjawab, tapi ia melihat putra pertamanya masuk ke dalam kamar. Hal itu, membuatnya memutuskan untuk menghampiri anak tersebut. Karena sejak kemarin, Arga benar-benar tak mau berbicara dengannya.

"Kak, makanlah dulu dengan Artan. Aku akan menghampiri Arga, sepertinya dia marah padaku." Pamit Jingga. Raffa mengangkat bahunya acuh, dia memilih melanjutkan kegiatannya yang tertunda.

"Bang,"

Jingga masuk ke dalam kamar, ia melihat Arga tengah menata mainannya di rak khusus. Wanita cantik itu duduk di tepi ranjang kecil putranya dan menatap dalam apa yang sedang anak menggemaskan di hadapannya itu lakukan.

"Abang marah sama Bunda?" Tanya Jingga dengan penuh kelembutan.

Arga hanya melirik sekilas sebelum melanjutkan kegiatannya. "Enggak." Lirihnya.

"Enggak tapi kenapa gak mau lihat Bunda? Kemarilah, dan katakan apa yang sudah Bunda perbuat hingga kamu merasa marah dengan Bunda?" Jingga berusaha mengajak putra pertamanya itu berbicara walau memang sulit mengobrol dengannya.

"Bang ...,"

"Abang ... jangan suka pendam sesuatu. Katakan, apa yang Abang inginkan? Abang marah sama Bunda?" Jingga tak menyerah, ia masih mencoba mengajak anak itu mengobrol.

Karena tak di hiraukan, Jingga mencoba meraih tangannya. Namun, Arga menolak hingga membanting mainannya.

Brak!

"Bang ...." Jingga syok melihat putranya yang pertama kali membanting barang di hadapannya. Ia menatap mainan itu sebelum menatap wajah putranya yang lini menatapnya tajam dengan nafas memburu.

"Kemarin aku menunggu Bunda pulang untuk bermain bersamaku! Tapi Bunda sibuk dan selalu dengan ponsel Bunda! Sekalinya Bunda ada waktu, Bunda selalu main sama Artan! Aku sudah siapkan mainan yang akan kita mainkan, tapi Bunda malah tidur! Aku juga ingin bermain bersama Bunda, bukan Artan saja!"

Degh!

Jingga tak akan mengira putranya akan mengatakan hal itu. Selama ini, Arga di kenal sebagai anak yang pendiam dan sangat dewasa. Selalu mengalah, dan pengertian. Jingga pikir, putranya memang memiliki pemikiran lebih dewasa dari anak seumurannya. Nyatanya, putranya tetaplah anak-anak yang menuntut kasih sayang. Jingga lupa akan hal itu, dia seakan lupa putranya masihlah membutuhkannya.

Mata Jingga menangkap sebuah rel kereta api yang sudah di susun rapih. Semalam, putranya mungkin akan mengajaknya bermain dan bercerita tentang kereta api. Tapi, ia justru melupakannya karena sibuk dengan pekerjannya.

"Abang, maafin Bunda yah ...." Jingga berniat meraih tangan putranya, tapi anak itu menepisnya.

Arga mengusap kasar air matanya, ia kembali membereskan mainannya yang berserakan. Dengan derai air mata dan isak tangis tertahan, anak tampan itu menata mainannya dengan rapih. Dadanya masih terasa sesak setelah mengungkap isi hatinya selama ini.

Jingga menangis, ia berlutut di hadapan putra kecilnya. Melihat sang bunda berlutut di hadapannya, Arga tak tega. Ia berbalik dan meminta wanita itu untuk berdiri.

"Bunda ngapain kayak gini, ayo bangun." Ucapnya dengan suara bergetar.

"Maafin Bunda yah, maafin Bunda yang gak peka sama perasaan Abang. Bunda minta maaf sayang, Bunda minta maaf hiks ... Bunda pikir selama ini Abang bisa main sendiri. Maafin bunda yah, hari ini main seharian sama bunda. Janji, Bunda gak sibuk untuk hari ini." Jingga mengusap lembut wajah putranya yang basah dengan jari-jemari lembutnya.

Arga mengangguk, ia pasrah saat Jingga menariknya dalam pelukannya. Tak adanya seorang ayah, membuat Arga merasa haus akan kasih sayang. Di tambah, Jingga selalu memperhatikan Artan yang membuatnya merasa iri. Namun, mengingat dirinya sebagai seorang Abang ia selalu mengalah.

"Ayo, kita sarapan dulu." Jingga meraih putranya dalam gendongannya. Biasanya Arga menolak ketika di gendong olehnya. Jingga baru sadar, putranya bukan menolak. Melainkan hanya berusaha menjadi anak mandiri di usianya yang masih sangat kecil.

"Abang, ayo makan! Ada tempe bakal oceng!" Seru Artan ketika melihat sang Abang yang di gendong oleh bundanya. Namun, senyumannya luntur melihat mata keduanya sembab.

"Bunda cama Abang nonton ikan telbang yah?! Kok nda ajak Altan?! Kok nda ajak?! Nda ajak nanti tidul di temenin nenek lombeng loh!" Protes Artan dengan mata membulat sempurna

Raffa yang melihat keponakannya protes, ia langsung memasukkan udang ke dalam mulut anak itu. Artan melirik tajam pada Raffa, ia kesal pada om nya yang selalu menghentikan protesannya. Namun, anak menggemaskan itu tetap melahap habis udang yang ia makan.

Jingga menyuapkan kedua anak kembarnya sarapan secara bergantian. Biasanya Arga menolak, tapi pagi ini tak ada penolakan sama sekali. Raffa juga menangkap keanehan itu. Namun, ia tetap melanjutkan acara sarapannya dan nanti akan bertanya.

"Sudah habis, kalian mandi dulu sana." Pinta Jingga pada kedua putranya.

Artan turun dari kursinya, ia akan bersiap masuk ke dalam kamarnya. Tapi sebelum itu, Arga menarik kerah belakang bajunya dan menyodorkan piring kotor di tangannya. Tentunya, Artan protes pada sang abang.

"Makcudnya apa ini bloo?"

"Cuciii! Jangan biarin Bunda yang cuci, udah besar juga!" Omel Arga.

Artan mengerutkan keningnya dalam, "Olang kebelet ju ... Abaaaang!" Tiba-tiba Arga menarik tangannya menuju wastafel dan memintanya mencuci piring itu.

"Nda mauuu! Abang aja yang cuci, olang Altan kebelet loh!"

"Alasan aja kamu, cuci gak! Kalau enggak ... Abang buang semua dino mu itu!" Ancam Arga. Jika tidak, adiknya tak pernah mau mencuci piring itu.

"Biar Bunda aja Bang." Seru Jingga. Biasanya ada orang yang membersihkan rumahnya setiap dua hari sekali di unit apartemennya. Tapi urusan cuci piring itu akan menjadi urusannya.

Arga melirik tajam adiknya, membuat Artan terpaksa harus mencuci piring itu walau sampai sambil mengoceh kesal. Padahal, ia sudah tak tahan ingin buang air besar saat ini juga.

"Iyaaa, ini cuciii! Kenapa halus pelelok begitu, nda copan kali matanya hiks ...."

Jingga dan Raffa sudah menggelengkan kepalanya melihat tingkah kedua anak itu yang tak ada hari tanpa keributan.

"Kak, sepertinya aku akan kembali ke Jakarta dan tinggal lagi dengan Papa dan Mama."

"Apa kamu yakin?" Tanya Raffa dengan ragu. Ia takut, adiknya tak siap kembali ke kota yang sama dengan mantan suaminya.

Jingga mengangguk yakin, "Ya, aku sudah memikirkannya matang-matang. Bahkan, aku sudah di terima menjadi model dari Asga Skincare. Pekerjaanku juga tak terlalu sibuk, dan si kembar punya banyak waktu bersamaku." Terangnya.

Raffa mengangguk kepalanya dengan helaan nafas berat, "Jaga dirimu baik-baik kalau begitu. Kakak, hanya bisa menemanimu sampai disini. Kalau kamu memang sudah merasa kuat untuk kembali, kakak hanya bisa mendukung. Asal, kamu bahagia." Ucap Raffa dengan senyuman tipis di bibirnya.

Jingga menatap penuh haru ke arah Raffa. Selama ini, pria itu yang menemaninya di Bali. Bahkan, Raffa mengesampingkan urusan percintaannya demi menemaninya. Tapi kini, Jingga ingin kakaknya menjalani kehidupan yang normal dengan mencari cinta sejati.

"Carilah istri kak, aku juga mau punya Kakak ipar. Sekretarismu cukup cantik, apa kamu tidak menyukainya?" Ledek Jingga sembari menahan tawa.

Terlihat Raffa mengulum senyumnya dengan pipi merah merona. "Kamu suka sekali meledek kakakmu ini yah. Sudahlah, aku kembali ke unitku."

"KAAAAAAN KECEPILIIIT HIKS ... DI BILANGNA KEBELET MALAH DI CULUH CUCI PILING DULUU HIKS ... TEGANYA TEGANYA TEGANYAAA HUAAA!"

Belum sampai Raffa berdiri, keributan kembali terjadi. Dia dan Jingga menatap kehebohan di dapur. Omelan dan tangisan Artan terdengar oleh mereka dan Arga hanya meringis menatap kembarannya itu.

"Mana Abang tahu kalau udah di ujung tanduk." cicitnya.

"Ekheee Bundaaa ... Kecepeliiit hiks .... teganya abang hiks ...."

Terpopuler

Comments

Nining Sariningsih

Nining Sariningsih

bahasa kecepeliiitt dari dulu ada thooorrr seru banget liat anak cadel😂😂😂

2025-05-02

17

7umiatun

7umiatun

biarkan delvin sm cinta pertamanya dan menanggung penyesalan karna bercerai dari jingga dan ga akan mengakui kalau jingga punya anak bahkan disuruh menggugurkannya sebelum jd janin.dan arga jd anak yg melindungi bunda dan adiknya atlan

2025-05-02

6

Anonim

Anonim

nah lo Delvin ucapan papa Ferdi semoga nantinya nyata akan menimpa kamu mendapatkan balasan semesta atas perlakuanmu terhadap putrinya. Hati seorang ayah pasti ikut hancur ketika putri satu-satunya sekaligus putri kesayangan keluarga diperlakukan tidak baik dan sangat menyakitkan perasaannya.

2025-05-08

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!