Suara gemuruh roda kereta yang beradu dengan rel, terdengar berirama monoton di telinga Kate. Di balik kaca jendela, dunia berwarna abu-abu membentang, tampak buram oleh kabut musim dingin. Namun pikiran Kate justru terjebak di tempat lain, jauh di masa lalu lima tahun silam.
Dalam mimpinya, Kate kembali melihat dirinya sendiri melompat dari balkon istana yang suram itu. Tubuhnya jatuh menembus kabut, menuju lautan hitam yang bukan berisi air, melainkan kumpulan wajah-wajah mengerikan. Lautan itu dipenuhi makhluk-makhluk Nether yang meratap, menangis, dan mengutuk.
Setiap gerakan di dalam air itu adalah siksaan. Setiap sentuhan dari penghuni lautan membawa rasa sakit membakar kulitnya, dan merobek jiwanya. Ia mencoba berenang, dan berteriak, tetapi tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Segalanya seolah abadi dalam kegelapan itu.
Sampai akhirnya dalam kelam yang pekat itu, ia menemukan celah. Sebuah arus samar yang menariknya keluar, membawanya ke dunia atas, hingga akhirnya ia bebas. Namun kebebasan itu tidak datang tanpa luka.
Suara peluit kereta yang nyaring menembus alam mimpinya. Kate terkejut, terjaga dengan napas memburu dan keringat dingin membasahi pelipisnya.
"Stasiun Ceaseton. Penumpang harap bersiap-siap."
Kate mengusap wajahnya pelan, berusaha menenangkan debar jantungnya. Ia menarik koper kecilnya, mengenakan mantel tipis berwarna kelabu, dan melangkah keluar dari gerbong.
Udara di Ceaseton membawa aroma asin laut yang lembut. Kota ini terasa jauh lebih damai dibandingkan tempat-tempat yang pernah ia lalui. Di antara kerumunan penumpang yang turun dari kereta, Kate melihat seorang pria berdiri sambil melambaikan tangan ke arahnya. Pria itu bertubuh tinggi, berambut cokelat gelap, dan memiliki mata yang memancarkan kehangatan.
"Kate!" serunya sambil tersenyum.
Kate langsung mengenali pria itu. Leon cucu dari mendiang gurunya, Master Veln.
Leon berlari kecil menghampirinya dan tanpa ragu menepuk kepala Kate dengan gerakan akrab, seperti seorang kakak yang menyambut adik yang lama tak bertemu.
"Selamat datang di Ceaseton," kata Leon, suaranya dalam dan ramah. "Sudah lama kami menantikan kedatanganmu."
Kate tersenyum kecil, meski lelah masih terlihat menggantung di matanya. "Terima kasih, Leon," balasnya pelan.
Tanpa banyak kata, Leon mengambil koper dari tangan Kate dan mengajaknya berjalan keluar dari stasiun. Mereka menaiki sebuah kendaraan kecil bergaya kuno dan melaju melewati jalan-jalan kota yang tenang.
Sepanjang perjalanan, Leon bercerita ringan tentang kota Ceaseton. Tentang bagaimana tempat itu yang salah satu markas kecil para Ksatria Cahaya, yang bertugas menjaga garis pesisir dunia Overworld dari ancaman kegelapan.
Akhirnya kendaraan mereka berhenti di tepi pantai. Di sana berdiri sebuah kastil batu berwarna putih pudar, kokoh menghadapi deburan ombak yang tiada henti.
"Tempat ini akan menjadi rumah barumu," kata Leon sambil tersenyum.
Kate turun dari kendaraan, memandang kastil itu dengan campuran perasaan asing dan lega. Mungkin di tempat ini, ia bisa benar-benar memulai hidup baru. Mungkin di tempat ini, mimpi buruk itu akhirnya bisa berhenti mengejarnya. Angin laut berhembus lembut, membawa harapan samar yang belum berani ia genggam sepenuhnya.
Derit pelan terdengar saat pintu besar kastil itu didorong terbuka oleh Leon. Udara di dalam bangunan terasa hangat, dipenuhi aroma kayu tua dan lilin harum yang menyala di sepanjang koridor.
Kate melangkah masuk, matanya menelusuri interior kastil yang sederhana namun kokoh. Dinding-dinding batu putih berlapiskan lambang Ksatria Cahaya, sebuah ordo yang menjadi harapan baru umat manusia di tengah ancaman Nether.
Di sepanjang koridor utama, beberapa orang berlalu-lalang, mengenakan seragam khas berwarna biru tua dengan emblem matahari emas di dada. Kate mengamati mereka dengan saksama.
Ia bisa merasakan energi mereka. Mayoritas dari para ksatria itu berada di tahap Cahaya Jiwa, sebuah tingkatan kelima dalam hierarki Ksatria Cahaya. Sementara itu, dirinya…
Kate menundukkan kepala sedikit. Dalam lima tahun perjuangannya, ia hanya mampu memulihkan Arcane-nya hingga ke tingkat Bunga Kehidupan, dua tingkat di bawah Cahaya Jiwa.
Tidak sama seperti dulu di mana ia adalah seorang Ksatria Cahaya tingkat Penyatuan Agung, hampir mendekati puncak kekuatan seorang ksatria. Kini secara hierarki, ia hanyalah bagian dari seorang pemula di mata mereka.
Senyum getir melintas di sudut bibirnya, senyum yang sarat luka yang belum pulih. Namun sebelum lamunan kelam itu bisa berakar lebih dalam, Leon yang berjalan di depannya menoleh sambil tersenyum lebar.
"Ayo, aku akan mengantarkanmu ke kamarmu," kata Leon ringan, seolah mencoba mengalihkan suasana.
Kate mengangguk dan mengikuti langkahnya. Mereka melewati beberapa lorong bercabang, hingga akhirnya tiba di sebuah pintu kayu dengan ukiran lambang kecil berbentuk bunga yang sedang mekar.
Leon membuka pintu itu. "Ini kamarmu, Kate. Tidak terlalu besar, tapi cukup nyaman," ujarnya sambil masuk lebih dulu.
Kate melangkah masuk. Ruangan itu sederhana, hanya diisi satu tempat tidur kayu dengan selimut bersih, sebuah meja kecil di bawah jendela yang menghadap ke pantai, dan sebuah lemari kayu tua di sudut ruangan. Dari jendelanya, Kate bisa melihat lautan yang berkilau diterpa cahaya matahari sore. Pemandangan itu membuat dadanya terasa sedikit lebih ringan.
"Jika ada yang kau butuhkan, jangan ragu untuk memanggilku," kata Leon sambil meletakkan koper Kate di dekat tempat tidur. "Besok pagi akan ada pertemuan untuk memperkenalkanmu kepada anggota lainnya."
Kate mengangguk pelan. "Terima kasih, Leon," katanya tulus, meski suaranya masih lemah.
Leon tersenyum, menepuk bahunya dengan penuh kehangatan. "Lupakan masa lalu, Kate. Di sini, kau bisa memulai lagi. Kita semua memulainya dari bawah, bukan?" katanya sebelum pergi meninggalkan kamar itu.
Saat pintu menutup, Kate berdiri diam di tengah ruangan. Ia menatap jari-jarinya yang menggenggam erat mantelnya sendiri, lalu menghela napas panjang.
"Memulai dari bawah, ya..." pikir Kate.
Meski hatinya masih penuh keraguan, setidaknya kini ia memiliki tempat untuk berpijak lagi.
Sambil melepaskan mantelnya dan meletakkannya di kursi. Kate berjanji dalam hati, meski harus jatuh lebih dalam dari sebelumnya, ia akan bangkit. Bagaimanapun caranya, ia akan merebut kembali kekuatannya. Karena ia tahu... suatu saat, masa lalunya akan datang mencarinya. Dan saat itu tiba, ia harus siap.
***
Setelah membereskan barang-barang sederhana miliknya, sebuah koper usang, beberapa pakaian, dan sebuah kotak kecil berisi kenangan masa lalu. Kate akhirnya memutuskan untuk beristirahat.
Udara sore yang lembut menyapu wajahnya saat ia membuka pintu balkon. Ia melangkah ke luar, membiarkan pandangannya terhampar pada lautan luas yang berkilau keperakan di bawah sinar matahari yang mulai merendah.
Angin pesisir membawa aroma asin dan suara ombak yang pecah lembut di karang. Kate duduk di kursi kayu kecil yang tersedia di sana, memeluk lututnya sendiri, membiarkan pikirannya melayang. Dan seperti sudah menjadi kebiasaan lamanya, kenangan itu kembali menghantam.
Lima tahun lalu, setelah menceburkan diri dari balkon istana kegelapan Damian, Kate tidak ingat banyak hal. Yang ia ingat hanyalah rasa sakit, dingin, dan jeritan-jeritan tanpa suara dari dasar laut kelam itu.
Ia berjuang, dan berjuang, hingga akhirnya sebuah cahaya samar muncul. Tangan-tangan manusia yang terasa kasar, kuat, dan nyata, menarik tubuhnya yang tak sadarkan diri ke atas perahu kayu kecil.
Para nelayan, wajah mereka dilapisi kekhawatiran dan ketakutan, membawanya ke daratan. Ia ditemukan di sebuah desa kecil di pesisir timur Overworld, jauh dari medan perang.
Ketika akhirnya Kate membuka matanya, dunia yang dikenalnya telah berubah. Perang telah berakhir sebulan sebelumnya. Dan Overworld kalah.
Cerberus, makhluk neraka yang dilepas oleh Damian pada hari pernikahan terkutuk itu, telah menghancurkan sebagian besar daratan di sekitar medan perang. Kota-kota kecil dan desa-desa yang paling dekat dengan garis depan rata menjadi puing. Luka itu masih menganga di dunia ini, dan lebih parah lagi, di hati para penyintas.
Berita yang lebih memilukan segera menyusul. Jade kekasihnya, yang selalu bertarung di sisinya telah gugur. Kate tidak pernah sempat mengucapkan selamat tinggal. Yang tersisa hanyalah kenangan tentang senyum lembut Jade, tawa kecilnya, dan janji-janji yang kini terkubur bersama tubuhnya di medan perang.
Sebagai pukulan terakhir gurunya, Master Veln, pria yang membesarkannya sejak ia masih kanak-kanak juga terluka parah dalam pertempuran itu. Para tabib telah berjuang selama berbulan-bulan untuk menyelamatkan hidupnya, namun akhirnya luka-luka yang terlalu dalam. Membuat Master Veln menyerah dalam tidurnya, pergi dengan damai dan meninggalkan kekosongan yang mustahil diisi.
Kate kehilangan segalanya, cinta pertamanya, figur ayahnya, dan tempatnya di dunia. Semua itu karena Damian.
Karena keangkuhan pangeran Nether itu, yang memperlakukannya seolah-olah ia adalah hadiah untuk dimiliki, bukan manusia yang memiliki kehendaknya sendiri. Amarah dan kebencian membara dalam dada Kate, menjadi bara yang terus menyala di bawah permukaan wajah tenangnya.
Suara ombak membuyarkan pikirannya. Kate menghela napas berat. Matanya menatap kosong ke arah cakrawala, di mana langit dan laut berpelukan dalam garis tipis yang nyaris tak terlihat. Angin membawa bisikan masa lalu, suara-suara mereka yang telah pergi.
Dengan gerakan perlahan, Kate menggenggam liontin kecil di lehernya. Satu-satunya benda peninggalan Jade yang berhasil ia selamatkan. Liontin itu berisi setetes kecil Arcane murni, hadiah yang pernah diberikan Jade di hari jadi mereka sebagai pasangan.
"Aku akan menjadi cahaya dalam kegelapanmu, Kate," kata Jade waktu itu, dengan senyum percaya diri yang kini hanya hidup dalam ingatannya.
Kate memejamkan mata, membiarkan satu butir air mata jatuh di pipinya. Bukan karena kelemahan, melainkan sebagai penghormatan bagi mereka yang telah pergi. Saat ia membuka mata kembali, sesuatu dalam dirinya telah berubah. Lautan itu, yang tadi terasa seperti jurang kesedihan, kini menjadi medan janji.
Ia bersumpah dalam diam, ia akan menjadi lebih kuat. Ia akan membangun dirinya kembali. Dan suatu hari, ia akan menghadapi Damian. Tidak untuk sekadar membalas dendam, tapi untuk menghentikan keangkuhan dan kegelapan yang pria itu bawa ke dunia ini.
Kate menghela napas panjang, menghapus jejak air matanya, dan bangkit dari kursi balkon itu. Malam mulai turun di Ceaseton, membawa hawa dingin yang menusuk. Namun api dalam hatinya, nyala kecil itu baru saja dinyalakan kembali.
Malam kian larut. Udara dingin dari laut membawa desiran halus yang menggigilkan kulit, tetapi Kate tetap berdiri tegak di balkon kamarnya. Kate membuka laci kecil di sisi tempat tidurnya, mengeluarkan sebuah benda berharga. Sebuah seruling emas, berukirkan pola-pola kuno yang hanya dikenali oleh sedikit orang.
Seruling itu bukan sekadar alat musik, benda itu adalah warisan, hadiah terakhir dari gurunya. Kate mendekap seruling itu sejenak di dada, menutup matanya untuk menenangkan detak jantungnya yang tak menentu. Lalu dengan gerakan perlahan, ia mengangkat seruling ke bibirnya.
Nada pertama yang ia tiupkan melayang lembut ke udara, bagaikan bisikan roh-roh lama. Alunan sendu itu bergulir, memenuhi balkon, menembus keheningan malam dan membawa Kate perlahan-lahan memasuki dunia lain.
Tubuhnya tetap di dunia nyata, memegang seruling dengan jemari lentik yang bergerak perlahan. Bagi mata yang tidak terlatih, ia hanya seorang gadis yang tengah bermain musik di malam hari. Namun kenyataannya, jiwanya telah terbang jauh.
Dalam sekejap, Kate melangkah ke dalam Alam Jiwa. Sebuah dunia tersembunyi yang hanya dapat diakses oleh mereka yang memiliki kemampuan tertentu. Kabut keperakan membentang sejauh mata memandang. Tanah di bawah kakinya berpendar lembut, dan di langit, bintang-bintang tampak lebih dekat seolah bisa dijangkau dengan tangan.
Di sinilah Kate berlatih. Di sinilah, ia menyembunyikan tekad dan perjuangannya yang tidak diketahui siapa pun. Hanya Master Veln, Leon, dan beberapa orang kepercayaan gurunya yang pernah tahu rahasia ini. Sebuah anugerah langka yang merupakan kemampuan untuk membangun dan melatih Arcane dalam dimensi pribadinya sendiri, tanpa gangguan dunia luar.
Kate berdiri tegak. Matanya memancarkan tekad yang membara. Gaun malam yang tadi ia kenakan berubah, berganti menjadi pakaian tempur sederhana berwarna putih dan emas.
Di hadapannya, muncul bayangan-bayangan kabur yang mengambil wujud musuh-musuh yang pernah dihadapinya. Bayangan itu menyerang tanpa belas kasihan. Kate menarik napas dalam-dalam. Tangannya bergerak membentuk formasi sihir sederhana, memanggil Arcane murni yang tersisa dalam dirinya.
Serangan demi serangan dilontarkan. Serangan yang dilakukan Kate itu tidak sempurna. Gerakannya belum secepat dan sekuat dulu. Arcane miliknya kadang tersendat, membuatnya terhuyung di tengah serangan balik bayangan-bayangan itu. Namun ia tidak menyerah.
Tubuhnya bergerak dalam irama perang yang penuh luka, melatih kekuatan fisik, ketangkasan, dan energi Arcane dalam satu tarikan napas yang berat. Setiap pukulan yang ia layangkan, setiap pertahanan yang ia bangun, adalah bagian dari janji kepada dirinya sendiri.
"Damian," bisik Kate di antara helaan napas. "Aku akan mengakhiri semuanya."
Pelatihan itu berlangsung lama, seakan waktu di Alam Jiwa bergerak dengan kecepatan yang berbeda. Setiap kesalahan menjadi pelajaran bagi Kate. Setiap ia jatuh akan menjadi kekuatan baru.
Di sisi lain, di dunia nyata. Leon sempat lewat di depan kamar Kate. Ia berhenti sejenak, mendengar lantunan seruling yang mengalun lembut. Senyum tipis mengembang di wajah pria itu.
"Dia masih melakukannya, ya?" pikir Leon dalam hati.
Meski tanpa kata-kata, ia tahu bahwa Kate tengah bertarung. Bukan melawan musuh di luar sana, melainkan melawan dirinya sendiri. Leon memutuskan untuk tidak mengetuk pintu, agar tidak mengganggu konsentrasi Kate. Ia akhirnya berjalan pergi, membiarkan Kate berjuang dengan caranya sendiri. Karena Leon tahu, kelak ketika saatnya tiba Kate akan kembali berdiri. Bukan sebagai gadis yang terluka. Tapi sebagai Ksatria Cahaya yang pantas untuk mengguncang dunia.
Kembali pada Kate. Ia menutup sesi latihannya di Alam Jiwa dengan mengalunkan nada akhir di seruling emasnya. Nada itu bergetar di udara, menghapus bayangan-bayangan musuh dari hadapannya.
Saat ia membuka matanya kembali, malam masih menyelimuti kota Ceaseton. Tangannya yang memegang seruling sedikit gemetar, keringat dingin membasahi pelipisnya. Namun bibirnya tersenyum tipis.
Satu langkah kecil lebih maju telah ia ambil malam ini. Satu langkah lebih dekat menuju kebebasannya. Dan pada akhirnya, menuju keadilan yang telah lama ditunggu-tunggu.
Besok, ia akan menghadapi dunia baru ini. Bahkan jika seluruh dunia menganggapnya hanya seorang pemula lemah, Kate akan tetap meyakini bahwa kekuatannya belum sepenuhnya padam. Dan pada saatnya tiba nanti, ia akan menunjukkan kepada mereka siapa Kate Velnaria sebenarnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments