Episode 4

“Kamu sudah mengaji, Fa?” Suara seorang pria terdengar dari HP Fly.

Vio tampak fokus menyetrika baju. Ia tampak tenang. Karena sesampai kos kemarin, Fly tidak lagi membahas rekaman video itu ketika menganga melihat Gen di masjid.

“Belum, Yah. Fa baru selesai ngerjain tugas sama nyuci baju tadi.” Fly menjawab.

“Baik, tapi jangan lupa, ya. Walaupun hanya sedikit, setidaknya kamu tidak pernah luput dari membaca Al-Qur’an.”

“Baik, Yah.”

“Vio, bagaimana?”

“Vio aman, Pak. Tadi udah baca dua halaman,” timpal Vio dengan suara lantang.

Sebuah jawaban yang membuat Fly melirik tajam ke arah Vio.

“Pamer,” ucap Fly sambil menjauhkan HP agar tidak terdengar oleh ayahnya.

Vio hanya tersenyum miring sambil menepuk dadanya. Tanda sedang berbangga diri. Namun tentu saja itu hanya candaan. Ia tidak benar-benar membanggakan ibadahnya. Ia hanya sedang mengejek Fly karena belum mengaji.

“Alhamdulillah. Kompak terus ya, kalian. Jangan berantem. Akur terus. Biar bisa saling menguatkan di sana. Di sini, kami selalu mendoakan kebaikan kalian.”

Di luar terdengar suara hujan lebat disertai petir. Vio mencabut colokan setrika dan melompat ke ranjang Fly karena kaget.

“Baik, Yah. Ih, apaan sih, Vio. Sana!” ujar Fly sebal karena Vio sangat menempel kepadanya di atas kasur yang kecil dan hanya cukup untuk satu orang.

“Nah, kenapa itu. baru juga dibilang jangan berantem,” ucap ayah Fly protes.

Sejenak. Vio malah cengengesan ke arah Fly karena tingkah konyolnya. Lantas turun dari ranjang Fly dan mendekatkan mulutnya pada HP Fly.

“Nggak berantem, Pak. Bercanda doang,” ucap Vio.

“Yah, udah dulu, ya. Fa takut nelpon kalau hujan deras dan petir kayak gitu. Apalagi Vio. Dia takut banget.” Fly menjelaskan.

Vio menarik pipi Fly karena sebal. Membuat Fly nyaris berteriak. Tapi ia masih bisa menahannya agar ayahnya segera bisa mematikan telepon dan tidak ditanya lagi.

“Oh, di sana hujan, ya. Kalau di sini hujannya tadi siang.”

“Hehe. Iya, Yah. Fa tutup, ya. Assalamu’alaikum.”

“Waalaikumussalam.”

Embusan napas berat dari Fly terdengar. Sudah hampir satu jam ia diberikan nasihat oleh ayahnya. Hingga membuat Vio tertawa puas begitu hubungan seluler mereka terputus.

“Ayah kamu nggak pernah berubah ya, Fly.” Vio berkata.

“Begitulah, aku masih menjadi gadis kecilnya yang cengeng.”

“Sekarang aku paham kenapa kamu memilih kampus ini. Agar tidak dikekang ayahmu, ‘kan?”

Nyanyian hujan masih terdengar. Masih sama derasnya dengan belasan menit yang lalu. Fly mengambil sebuah sweater rajut berwarna coklat pada sisi ranjangnya yang digantung. Lantas memakainya dahulu sebelum menjawab pertanyaan Vio. Mereka berdua duduk di karpet yang berada di tengah-tengah ranjang Vio dan Fly.

“Apakah kamu baru menyadarinya sekarang? Padahal aku sebentar lagi masuk semester tujuh.” Fly berkata.

“Ya, aku udah lama sadar, sih. Cuma sengaja baru bilang sekarang. Karena baru sempat,” jawab Vio.

“Tapi tetap saja. Aku dikekang lewat telepon. Ditelepon hampir setiap hari dalam durasi yang tidak sedikit.” Fly bertutur dilanjutkan dengan tawa getir.

“Si anak kesayangan ayah malah curhat, nih,” ejek Vio.

“Ih, awas kamu, ya!”

___ ___ ___

Pagi yang cerah. Mentari menatap malu-malu di balik pepohonan lebat. Para mahasiswa elok dengan barang-barang masing-masing. Ada yang menggunakan mobil, motor, sepeda, juga jalan kaki. Seperti Fly. Suasana hatinya secerah matahari pagi ini. Walaupun nantinya siang menjelang sore biasanya hujan akan turun. Tak apa. Setidaknya saat ini penerang dunia itu mendukung apa yang tengah ia rasakan.

Sebuah motor matic melintas. Dikendarai oleh seolah lelaki dengan hoodie putih, helm putih, bahkan motornya pun memiliki unsur putih. Didukung oleh kulit kuning langsatnya yang beradu dengan sinar pagi itu.

Fly berlari kencang untuk memperpendek jarak dengan lelaki yang mengendarai motor itu. si serba putih. Karena sudah sampai gerbang kampus, maka motor itu telah berjalan perlahan. Hingga tidak sulit bagi Fly untuk memangkas jarak. Ia memantau dari jarak beberapa meter untuk melihat lelaki itu memarkir motornya. Padahal ia bukan dari keluarga sembarangan. Tapi motornya sangat sederhana. Penampilannya juga sederhana. Namun terlihat amat gagah ketika ia yang memakainya. Dilihat dari mana pun. Ia akan membuat barang-barang murah terlihat lebih bermerek saat dipakainya.

Fly menari dalam keheningan hatinya. Tak ada yang menyadari, bahwa ratusan kepompong dalam dirinya telah menjelma kupu-kupu cantik yang terbang ke sana ke mari. Tak dapat dipungkiri. Fly memang diam-diam menyukai Gen. Tanpa siapapun yang tahu selain dirinya dan Tuhan. Sebab bagaimanapun, Gen adalah seseorang yang terkenal di kampus. Banyak orang yang mengaguminya. Tidak hanya Fly tentunya.

“HEI, LAGI NGAPAIN!” Seseorang datang mengacaukan formasi rapi kawanan kupu-kupu dalam hati Fly.

Tampak seorang perempuan berambut hitam pendek, kulit putih, mata sipit serta gigi gingsul itu tengah memegang pundak Fly.

“Apaan sih, Yui. Bikin kaget aja,” keluh Fly dengan bibir manyun.

Yui membenarkan bando tipisnya yang melorot sambil menatap lurus ke depan. Arah di mana ia melihat Fly mematung. Ia menyipitkan matanya yang sudah sipit itu. Tampak penasaran dengan apa yang menarik perhatian Fly. Ada banyak orang di parkiran. Gen juga sudah berlau dari sana setelah Yui datang.

“Kamu lagi jatuh cinta, Fly?” tanya Yui, penuh selidik.

“Hah? Nggak lah,” jawab Fly dengan mata melotot.

“Ngaku aja, kali. Kamu sampai mematung gitu karena pesona seorang lelaki.” Yui berkata lagi, belum menyerah.

Embusan napas berat dari Fly terdengar. Ia mengusap wajahnya yang sempat melotot panik itu. kemudian menarik lengan Yui agar segera pergi ke kelas bersamanya.

“Nggak usah sok tahu,” ujar Fly sambil berjalan dengan memegang lengan Yui.

“Kyou, Jay, atau Zaid?”

“Hah, kok jadi nyebut nama itu?”

“Soalnya cuma mereka yang ganteng di parkiran tadi.”

“Lihat mereka aja nggak aku. Kamu aja, kali.”

___ ___ ___

Azan asar telah berkumandang. Fly langsung menggoyangkan tubuh Vio yang tengah tertidur pulas. Fly telah bersiap dengan pakaian rapi dan mukenanya.

“Bangun, Vio!”

Vio membuka mata. Silau melihat lampu yang telah dinyalakan karena hujan menyebabkan suasana gelap. Jarinya mengucek mata. Mendapati Fly yang sudah menampakkan senyuman lebar yang entah karena apa.

“Mau ke mana?” Vio bertanya sambil mengumpulkan nyawanya.

“Pengajian. Ayo! Kok malah tidur, sih.”

Vio berusaha duduk dengan sisa kantuk. Mengucek mata untuk ke sekian kalinya. Bertolak belakang dengan Fly yang binary wajahnya mengalahkan lampu kamar itu.

“Tadi katanya Yui mau ke sini. Gimana, sih,” keluh Vio.

“Tenang. Aku udah bilang dia datang nanti malam aja.”

“Hujan deras, bukan. Yakin mau ke sana?”

“Hujan air doang. Gampang. Pakai jas hujan, dong.”

Sejenak, Vio tampak mengernyitkan dahi. Wajah Fly benar-benar tampak semangat sekali. Ia tidak menyadari bahwa Fly ingin ke pengajian lagi karena ingin melihat Gen lagi.

Sekalipun nyatanya itu tidaklah seperti yang diharapakan. Setelah menerjang hujan deras dengan jas hujan tipis itu. Serta membuat mereka basah di bagian rok. Mereka berangkat setelah salat asar di kos.

Ternyata, orang yang mengisi ceramah hari ini bukanlah Gen. Melainkan orang lain.

“Fly?” panggil Vio karena Fly tampak cemberut tidak bergairah.

“Hm?”

Sejak saat itu Vio menyadari, bahwa Fly diam-diam menyimpan rasa terhadap Gen. Namun Vio tetap berpura-pura tidak menyadari itu.

“Apakah niat ibu-ibu dan bapak-bapak sekalian sudah lurus sebelum mengikuti pengajian ini?” Demikian kalimat pembuka dari sang penceramah setelah mengucapkan salam.

“Tuh, niat kamu udah bener, belum?” sindir Vio.

“Udahlah,” jawab Fly, malas.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!