Salju menutupi jejak darah di luar markas Sekte Chaos. Kabut tebal menutupi langit, seolah dunia tahu bahwa sesuatu sedang berubah. Pilar demi pilar telah bangkit, dan kini hanya tersisa empat untuk melengkapi dua belas takhta kekacauan. Namun tak satu pun di antara mereka menyangka bahwa yang berikutnya—Pilar Kesembilan—adalah yang paling sulit dijinakkan.
Kael duduk di ruang meditasi, tubuhnya diliputi pusaran energi Chaos berwarna ungu pekat. Di hadapannya, Kitab Kekacauan terbuka pada halaman yang sebelumnya tersembunyi. Tinta berdarah membentuk simbol yang tampak seperti mata terbuka.
Kitab itu berbicara kepadanya.
“Ia terkunci di Menara Ilusi. Pemilik kehendak yang telah melampaui batas kewarasan. Jika kau mampu mengikatnya... maka kekuatan yang kau dapatkan akan mengguncang dunia.”
Kael membuka matanya. Senyuman licik tersungging di bibirnya. “Waktunya menjemput si gila.”
---
Menara Ilusi terletak di tengah Lautan Aira yang penuh kabut mimpi. Sebuah pulau kecil berdiri sendirian, dijaga oleh lapisan sihir tua yang diciptakan oleh tujuh sekte besar untuk mengurung satu orang: Xalreth the Mad, penyihir yang pernah menulis ulang struktur sihir kekaisaran hanya karena ia bosan.
Xalreth bukan sekadar gila. Ia adalah kekacauan dalam bentuk manusia. Kegilaannya pernah menyebabkan sepuluh ribu prajurit kehilangan akal dan menyerang bayangan sendiri. Tapi itulah yang Kael cari—kekuatan yang tak bisa dipahami, namun bisa diarahkan.
Kael tidak pergi sendirian. Bersamanya, Pilar Ketujuh Velka, Pilar Kedelapan Reina, dan lima murid elit Chaos.
Di perahu kecil yang dikendalikan sihir teleportasi, mereka mendekati pulau. Air di sekeliling berubah warna. Langit pun mulai retak—bukan secara fisik, tapi secara persepsi.
Velka menyipitkan mata. “Kita belum sampai, tapi aku merasa seperti sudah gila.”
Kael tersenyum. “Itu artinya kita hampir tiba.”
---
Menara Ilusi berdiri tinggi tanpa dasar yang jelas. Dindingnya berubah bentuk tiap detik. Kadang seperti kulit manusia, kadang seperti deretan wajah menjerit. Pintu masuknya menganga lebar, seakan menyambut mereka masuk ke perut mimpi buruk.
Tanpa ragu, Kael melangkah.
Begitu masuk, dunia langsung berubah.
Mereka berdiri di tengah kota yang tampak normal. Orang-orang tersenyum, anak-anak bermain, dan langit bersih tanpa noda.
“Ini ilusi,” bisik Reina. “Aku bisa merasakannya.”
“Benar,” ucap Kael. “Menara ini menguji batas nalar kita. Kita harus mencari Xalreth di tengah dunia yang palsu.”
Satu demi satu, ilusi mulai menyerang. Seorang ibu membawa anak dan memohon Kael menyelamatkannya dari monster. Tapi ketika disentuh, anak itu meledak menjadi kawanan serangga hitam.
Murid-murid yang ikut mulai ketakutan. Salah satunya, Elian, jatuh ke tanah dan menjerit. “Ayahku! Dia di sana! Itu dia!”
Tapi tak ada siapa pun di tempat yang ditunjuk.
Reina segera membekukan Elian dalam kubus es. “Dia kehilangan kesadaran. Jika tidak segera keluar dari lapisan pertama ilusi, kita akan kehilangan lebih banyak.”
Velka menutup matanya, lalu menusuk dirinya sendiri.
Darahnya berubah jadi bayangan, dan dunia sekitar mulai retak.
“Sekarang!” seru Velka. “Pecahkan dunia ini!”
Kael menghantam udara dengan Chaos Blade miliknya, dan dunia runtuh seperti kaca.
---
Mereka kini berada di lantai berikutnya—hutan penuh tangisan. Pohon-pohon berbisik dalam bahasa yang tidak dikenal. Tanah terasa seperti daging, dan udara mengandung bisikan nama mereka masing-masing.
Tiba-tiba, Reina berlutut.
“Dia... memanggilku.”
Kael menoleh. “Siapa?”
“Xalreth. Dia tahu kita datang. Dan dia... tertawa.”
Langkah mereka membawa mereka ke tengah hutan, di mana sebuah panggung kecil berdiri. Di atasnya, seorang pria berjubah robek sedang menari, dikelilingi oleh boneka yang tertawa.
“Penontonku telah datang!” teriak Xalreth. “Oh, betapa lamanya aku menanti! Seseorang yang bisa bicara dalam bahasa mimpi!”
Kael melangkah ke depan. “Aku datang bukan untuk menjadi penontonmu. Aku datang untuk menawari takhta.”
Xalreth tertawa terbahak-bahak. “Takhta? Takhta? Aku sudah duduk di atas singgasana kegilaan! Mengapa aku harus tunduk pada budak realitas seperti kau?”
Kael tak menjawab. Ia justru membuka Kitab Kekacauan.
Simbol di dalamnya menyala, dan sebuah mata besar muncul di belakang Kael—Mata Chaos.
Xalreth terdiam. Bibirnya bergetar.
“Kitab itu... kau yang dipilihnya? Kau... bukan manusia biasa.”
Kael menutup kitab. “Benar. Aku bukan penyelamat. Aku bukan pahlawan. Aku bukan penjahat. Aku hanya... arsitek dari dunia baru.”
Xalreth turun dari panggung, mendekat. Bola matanya berputar tak karuan. Tapi langkahnya mantap.
“Aku akan mengikutimu... jika kau bisa menjawab satu teka-teki,” ucapnya.
“Silakan.”
Xalreth mengangkat jarinya ke langit.
“Jika dunia adalah mimpi... dan kau adalah mimpi buruknya... siapa yang akan membangunkan dunia?”
Kael tersenyum licik. “Tidak ada. Karena saat aku selesai... dunia akan tertidur selamanya.”
Hening.
Kemudian, Xalreth membungkuk dalam-dalam. “Aku... Xalreth, Pilar Kesembilan, mempersembahkan kegilaanku untuk Sekte Chaos.”
---
Kembali ke markas, para murid terkesiap melihat pria gila itu melayang di tengah aula.
Dengan satu gerakan tangan, Xalreth mengubah lantai jadi papan catur hidup dan para murid jadi bidak yang menari.
Kael hanya berkata, “Biarkan. Ia sedang senang.”
Velka mengangguk pelan. “Kita baru saja mengundang badai ke dalam rumah.”
Kael menghadap para pilar.
“Dengarkan aku. Kita tinggal tiga. Dunia mulai menyadari keberadaan kita. Kuil Cahaya, Kerajaan Avarynn, dan bahkan para dewa kecil di utara mulai bergerak.”
Xalreth mengangkat tangan. “Izinkan aku... mengacaukan kalender waktu mereka. Biar mereka melihat besok sebagai kemarin dan hari ini sebagai kematian.”
Kael mengangguk. “Kau akan punya panggungmu, Pilar Kesembilan.”
Di luar markas, langit berubah warna. Chaos mulai merembes ke dunia nyata. Burung-burung terbang mundur. Bayangan tidak lagi mengikuti tubuh. Jam-jam berhenti tepat pada detik yang sama.
Dan dalam kegelapan, tiga makhluk berkepala tanduk mengintai dari balik gerbang dunia lain.
Dunia pun bersiap.
---
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments