Simfoni Retakan Takdir
Dua hari setelah insiden di Hutan Awan, Lyra masih belum bisa tidur nyenyak. Tiap kali matanya terpejam, ia kembali melihat sosok ibunya di antara kabut, menatapnya dengan mata kosong yang bikin bulu kuduk merinding.
“Lo masih kepikiran?” suara Kaelen memecah keheningan pagi. Mereka duduk di atas dahan pohon besar yang menghadap ke Danau Seruan—tempat airnya begitu jernih, lo bisa lihat bayangan masa lalu katanya. Mitos? Mungkin. Tapi Lyra udah cukup kenyang sama yang namanya kejutan.
“Bukan cuma kepikiran,” jawab Lyra sambil menyesap minuman herbal aneh yang katanya bisa bikin ‘keseimbangan kabut’—apa pun itu artinya. “Gue mulai ngerasa... ada sesuatu yang rusak dalam diri gue.”
Kaelen mendongak. “Rusak gimana maksudnya?”
Lyra mengangkat tangannya, melihat ujung jarinya yang bergetar halus. “Kabut itu… berubah. Waktu gue pakai di hutan kemarin, rasanya bukan kayak narik kekuatan, tapi kayak gue dilepasin sesuatu. Bebas… tapi juga liar.”
Kaelen menghela napas. “Mungkin itu emang kabut aslimu. Bukan versi kalem yang ditahan-tahan.”
“Berarti selama ini gue nahan-nahan potensi gue sendiri?” Lyra mengerutkan kening. “Wow. Klise banget ya kayak karakter utama di film.”
Kaelen nyengir. “Selamat datang di kehidupan baru lo, Caellum.”
Sementara itu, Arven sibuk di bawah—melatih sekelompok remaja magis dari desa sekitar. Ia berubah 180 derajat waktu lagi ngajar. Serius banget. Nggak banyak bicara, tapi semua muridnya ngikutin perintah kayak tersihir.
“Dia selalu gitu ya?” tanya Lyra sambil nunjuk ke bawah.
“Gitu gimana?”
“Kayak... dia punya dua mode: Arven si misterius, dan Arven si pelatih keras kepala.”
Kaelen tertawa pelan. “Ada satu lagi sebenernya.”
Lyra mengangkat alis. “Apa tuh?”
“Arven yang diem-diem perhatiin lo dari kejauhan, tapi pura-pura nggak peduli.”
Lyra nyaris keselek minuman herbalnya. “Apa?!”
“Jangan pura-pura kaget. Lo juga ngerasain kan? Dia selalu berdiri deket lo, selalu nyelamatin lo paling dulu, dan waktu lo pingsan di hutan—dia jagain lo semalaman.”
Lyra menoleh ke arah Arven yang masih melatih. Ia tampak tenang, tapi sekarang—dengan informasi baru itu—semua tindakannya mulai masuk akal.
“Lo yakin lo bukan tukang gosip?” gumam Lyra.
“Yakin banget. Tapi mata dan intuisi gue tajem.”
Sebelum Lyra sempat membalas, suara dentuman keras terdengar dari arah utara. Tanah bergetar halus. Burung-burung beterbangan panik dari pepohonan.
Lyra langsung bangkit. “Apa itu tadi?!”
Dari kejauhan, asap hitam membumbung ke langit, mengabarkan satu hal yang jelas: masalah baru datang.
Beberapa menit kemudian, mereka bertiga—Lyra, Kaelen, dan Arven—sudah berada di atas tunggangan terbang milik klan Suralith. Bentuknya kayak burung phoenix, tapi versi hitam dan lebih… edgy.
“Menurut penjaga barat, letusannya datang dari reruntuhan kuil tua,” kata Kaelen sambil membaca peta. “Dulu tempat itu buat ngelindungin salah satu Pilar Dunia.”
“Pilar Dunia?” Lyra memicingkan mata. “Kayak… tiang penyangga bumi?”
“Bisa dibilang gitu,” jawab Arven datar. “Tapi versi magis dan jauh lebih rapuh.”
“Dan kenapa selalu tempat-tempat kayak gitu yang tiba-tiba meledak?” Lyra menggerutu. “Nggak bisa gitu ada bencana di tempat biasa kayak… pasar?”
Kaelen tertawa. “Kalau bencana ada di pasar, kita udah tamat dari Bab 1.”
Tunggangan mereka menukik turun dan mendarat di lereng bukit yang hangus sebagian. Asap masih naik dari tanah yang retak, dan hawa panas seperti sisa letupan sihir masih terasa menggigit.
“Siap-siap,” kata Arven singkat.
Begitu mereka turun, mereka langsung disambut oleh pemandangan yang bikin rahang Lyra hampir copot.
Sosok tinggi dengan armor hitam, berdiri di tengah kawah kecil. Rambutnya panjang, hitam pekat, dan dari balik helm setengah terbuka, terlihat mata ungu menyala tajam.
Dan di belakangnya… tergantung separuh Pilar Dunia yang sudah retak parah.
“Siapa dia?” bisik Lyra, walau dalam hati udah punya tebakan nggak enak.
Kaelen menelan ludah. “Itu… Raja Kelam.”
Arven mencabut pedangnya, matanya tajam. “Dan dia datang lebih cepat dari yang kita kira.”
“Raja Kelam…” Lyra menelan ludah. Nama itu selama ini hanya muncul dalam cerita malam hari—legenda menyeramkan yang sering dipakai buat nakut-nakutin anak kecil. Tapi sekarang, dia berdiri nyata di depan matanya, memancarkan aura dingin yang bikin udara di sekitar mendadak beku.
Sosok berarmor itu menoleh perlahan. Matanya—ungu tajam seperti kilat dalam badai—menatap langsung ke arah Lyra.
“Caellum…” gumamnya. Suaranya rendah dan menggema, seperti ditumpuk oleh gema dari dunia lain. “Akhirnya kita bertemu.”
Lyra bergidik. “Oke, gue beneran nggak suka tone suaranya. Kayak penjahat final boss di game.”
Kaelen mencabut belati dari pinggangnya. “Kita nggak bisa hadapin dia langsung. Pilar itu belum runtuh sepenuhnya. Kita harus tarik dia keluar dari situ.”
“Gue nggak yakin dia bisa ditarik kayak anak kecil yang lagi ngambek,” kata Lyra sambil tetap bersiaga. “Tapi... worth a try.”
Tanpa aba-aba, Arven melesat ke depan, gerakannya nyaris seperti bayangan. Pedangnya menyambar, memantulkan cahaya mentari sore yang mulai redup. Raja Kelam hanya mengangkat satu tangan, dan BOOM!—sebuah gelombang energi menghantam Arven dan melemparkannya puluhan meter ke belakang.
“ARVEN!” teriak Lyra.
Untungnya, Arven mendarat dalam posisi terguling, dan segera bangkit meski darah menetes dari pelipisnya.
“Sihirnya... aneh,” katanya cepat. “Kayak... sihir mati.”
Kaelen mengerutkan kening. “Itu sihir dari Dunia Bawah. Racun buat kabut kita.”
Lyra menggertakkan gigi. “Terus kita harus ngapain? Duduk manis dan nonton dia mecahin dunia?”
Raja Kelam melangkah perlahan mendekati mereka. “Kalian tak bisa menghalangi retakan ini. Takdir telah ditulis.”
Lyra maju selangkah. Jantungnya deg-degan, tapi matanya tak mau lepas dari sosok itu. “Takdir bisa ditulis ulang. Dan kalau lo pikir gue bakal diem aja, lo salah alamat.”
Kaelen menoleh kaget. “Oke, sekarang lo terdengar kayak karakter utama.”
“Gue emang karakter utama, duh.”
Raja Kelam mengangkat tangan, dan dari balik retakan Pilar Dunia, muncul bentuk-bentuk kabut hitam yang menggeliat seperti ular. Mereka menyebar ke sekeliling—menyentuh tanah, udara, dan bahkan tubuh para penjaga yang baru datang dari utara.
Beberapa dari mereka langsung jatuh, tubuhnya membeku dan berubah jadi batu kabut.
Lyra refleks mengangkat tangannya. “Hyaaaah!”
Semburan kabut perak keluar dari tubuhnya, jauh lebih kuat dan padat dibanding sebelumnya. Kabutnya membentuk perisai bulat besar yang menahan hantaman kabut hitam.
Kaelen berdecak kagum. “Baru dua minggu di Aedhira, udah kayak master kabut.”
“Lo pikir ini latihan yoga?” balas Lyra sambil menggertakkan gigi.
Arven kembali bergabung dengan mereka, kali ini membawa jimat kristal biru yang berpendar.
“Kita gak bisa kalahin dia di sini,” katanya. “Tapi kita bisa potong koneksinya ke Pilar. Itu bakal bikin dia lemah.”
Lyra menatap Pilar yang nyaris runtuh. “Kita harus naik ke atas. Tapi gimana?”
Kaelen tersenyum licik. “Tenang. Gue punya ide.”
Beberapa menit kemudian...
Kaelen menendang Lyra dari lereng bukit.
“GUE BUNUH LO, KAELENNNN!!”
“Pakai kabutnya buat terbang, begooo!”
Dengan tubuh meluncur ke bawah, Lyra mencoba fokus. Kabut peraknya mulai muncul dari tangan dan kakinya, dan—miracle—ia berhasil mengendalikan arah. Rasanya kayak naik skateboard di udara, cuma jauh lebih menakutkan.
Ia mendarat di reruntuhan Pilar, tepat di belakang Raja Kelam yang masih sibuk mengatur kabut hitamnya.
Lyra langsung menyentuh permukaan Pilar dan merasakan sengatan sihir yang bikin kulitnya panas. Tapi ia menolak mundur.
“Ayo, Caellum. Lo bisa,” gumamnya.
Ia menyalurkan kabut peraknya ke retakan di Pilar. Perlahan, retakan mulai menyusut, seperti lukanya disembuhkan dari dalam.
Raja Kelam menoleh tajam.
“Berani kau sentuh takdirku?!”
“Berani banget, makasih!”
Sebuah gelombang energi menghantamnya dari belakang. Lyra terlempar ke udara, tapi sebelum ia jatuh, Arven menangkapnya.
“Kerja bagus,” katanya pelan. “Sekarang giliran kita.”
Arven mendarat dengan Lyra dalam pelukannya, lalu langsung melepaskannya begitu kaki mereka menyentuh tanah. “Lo terlalu nekat,” katanya datar, tapi ada kilatan khawatir di matanya.
Lyra menarik napas, lututnya masih gemetar. “Kalau gue nunggu lo terus, dunia udah keburu meledak. Lo juga tahu itu.”
Arven tidak menjawab. Tapi ia menatap Pilar yang sekarang menyala samar—retakannya memang belum sepenuhnya pulih, tapi sudah cukup untuk menghentikan koneksi Raja Kelam sementara waktu.
Kaelen berlari menghampiri mereka, sedikit terengah. “Sumpah, kalian kayak pasangan drama epik barusan. Makin lama gue bareng kalian, makin gue merasa kayak figuran.”
“Lo figuran lucu,” ujar Lyra, menepuk pundaknya. “Jangan sedih.”
“Figuran yang nyelamatin lo dari jadi pancake di bebatuan, FYI,” balas Kaelen.
Di sisi lain, Raja Kelam berdiri diam. Ia tidak bergerak, hanya menatap Pilar dengan mata menyala ungu. Ekspresinya datar—tapi dalam diamnya, terlihat kemarahan halus, seperti laut yang tampak tenang tapi menyimpan badai di bawahnya.
“Aku kira kau akan lebih… tangguh,” katanya pada Lyra. “Ternyata kau hanya anak kecil yang belum paham arti kehilangan.”
Lyra mendengus. “Dan lo pikir ancaman filosofis bakal bikin gue takut?”
“Bukan ancaman. Ramalan.” Raja Kelam mengangkat tangannya. Dari lengannya, keluar pecahan kristal gelap yang melayang, membentuk simbol mirip mata—mata kabut.
Arven menyipitkan mata. “Sial. Itu segel penghubung.”
“Apaan tuh?” tanya Lyra.
“Cara dia ngehubungin jiwanya ke Pilar, tanpa harus berdiri di sini.”
“Lo nggak bilang tadi dia bisa LDR-an sama Pilar?!”
“Gue juga nggak nyangka dia udah sejauh ini.”
Segel itu melesat ke arah Pilar. Kaelen langsung melempar belati sihir ke arahnya, tapi pecahan itu memantul dan tetap melaju. Arven melompat dan menghantamnya dengan pedangnya yang menyala biru.
CRAAACK!
Gelombang energi memantul dan membuat tanah di sekitar mereka retak. Pilar kembali bergetar hebat. Raja Kelam menunduk, dan kabut hitam menyelimuti tubuhnya hingga perlahan menghilang dari pandangan.
“Dia kabur?” tanya Lyra, napasnya belum stabil.
Arven mengangguk. “Sementara. Tapi dia bakal balik.”
“Yah, great. Boss battle part dua.”
Kaelen menendang kerikil. “Gue nggak suka ini. Kalau dia bisa ngehubungin Pilar dari jauh, berarti semua Pilar Dunia dalam bahaya. Gak cuma yang ini.”
Lyra menatap Pilar itu lagi. Permukaannya kini terlihat lebih gelap, seperti ada sesuatu yang tertinggal—residu dari koneksi sihir gelap tadi. Ia merinding.
“Apa yang akan terjadi kalau semua Pilar jatuh?” tanya Lyra pelan.
Arven diam. Kaelen juga.
Jawabannya terlalu mengerikan untuk diucapkan.
Beberapa jam kemudian, mereka kembali ke markas kecil di Lembah Duskir. Matahari hampir tenggelam, dan langit berubah menjadi semburat oranye dan ungu.
Kaelen duduk di dekat api unggun, mengunyah roti kering sambil sesekali mengumpat karena keras banget. Arven membersihkan pedangnya dengan kain hitam. Dan Lyra? Ia duduk di tepi tebing, menatap cakrawala.
Langkah pelan terdengar mendekat. Arven duduk di sampingnya, tidak berkata apa-apa selama beberapa menit.
“Aku masih dikejar mimpi buruk,” kata Lyra akhirnya. “Tentang ibu. Tentang... rumah. Dan sekarang, semua ini. Dunia baru. Takdir. Raja Kelam.”
Arven menatapnya. “Lo boleh takut. Tapi jangan berhenti jalan.”
Lyra menoleh. “Kenapa lo selalu ngomong kayak mentor anime?”
Arven tersenyum tipis. “Karena kalau gue ngomong kayak manusia normal, lo nggak bakal dengerin.”
Mereka tertawa pelan. Untuk sesaat, dunia terasa sedikit lebih ringan.
“Aku nggak tahu ke mana langkahku,” ujar Lyra pelan. “Tapi untuk pertama kalinya, aku merasa... mungkin ini tempatku.”
“Dan lo nggak sendirian di sini.”
Lyra tersenyum. “Thanks, Arven.”
Arven hanya mengangguk—tapi dalam hatinya, ada sesuatu yang perlahan mencair.
Keesokan paginya, suara burung asing dan semilir kabut ungu menyambut pagi di Lembah Duskir. Tapi ketenangan itu hanya sementara. Saat Lyra membuka pintu kabin kecil tempat mereka menginap, ia langsung disambut wajah serius Kaelen.
“Kita kedatangan tamu,” katanya tanpa basa-basi.
Lyra mengikuti langkah cepat Kaelen ke halaman belakang. Di sana, berdiri tiga orang asing berpakaian jubah biru kelam dengan lambang mata bersayap di dada mereka.
“Siapa mereka?” bisik Lyra ke Arven yang berdiri tak jauh darinya.
“Mata Valien,” jawab Arven pendek. “Mereka penjaga pengetahuan di Aedhira. Kalau mereka turun gunung, berarti ada sesuatu yang sangat salah.”
Salah satu dari mereka maju. Wajahnya ditutupi tudung, tapi suara perempuannya terdengar jelas.
“Lyra Caellum,” katanya. “Kami datang karena Pilar Dunia di wilayah selatan baru saja runtuh. Kami tahu kau berada di sana saat itu terjadi.”
Lyra menegang. “Tunggu, lo kira gue yang ngerobohin Pilar itu?”
“Kami tidak menuduh,” katanya tenang. “Kami hanya ingin tahu... kenapa kabut perak menyala dari tengah-tengah kehancuran.”
Kaelen terkekeh pelan. “Oh come on, kabut peraknya literally nyelametin Pilar itu. Kalau dia gak ada, kita semua udah jadi bubur sihir.”
Lyra mengangkat tangan. “Gue gak tahu kenapa gue bisa ngeluarin kabut perak. Beneran. Tapi gue juga gak akan duduk diem waktu dunia kalian mau dihancurin.”
Pemimpin kelompok itu menarik napas. “Sesuatu telah terbangun. Dan kekuatanmu adalah bagian dari rantai yang terhubung dengan sejarah Aedhira... dan Raja Kelam.”
Arven menyela. “Kalian tahu siapa dia sebenarnya?”
Tudung mereka sedikit disingkap. Wanita itu memperlihatkan mata perak yang tampak seperti kaca cair. “Kami tahu. Tapi lebih dari itu—kami tahu siapa Lyra sebenarnya.”
Lyra menelan ludah. “Oke. Sekarang gue yang butuh duduk.”
Mereka masuk ke dalam kabin. Di atas meja, seorang dari mereka membentangkan gulungan tua yang dipenuhi simbol aneh. Tapi yang paling menarik perhatian Lyra adalah gambar di tengahnya—siluet seorang wanita berdiri di depan Pilar, dengan kabut perak melingkar di sekeliling tubuhnya.
“Ini bukan legenda biasa,” ujar wanita itu. “Ini ramalan. Tentang yang disebut Simfoni Retakan.”
“Simfoni?” gumam Kaelen. “Kok jadi kayak orkestra?”
“Karena kehancuran dunia ini... tidak akan datang dengan ledakan. Tapi akan muncul seperti musik—perlahan, indah... dan mematikan.”
Lyra memandangi gambar itu. “Dan gue... bagian dari simfoni itu?”
“Kau adalah nada pertama.”
Hening.
Kaelen memecah keheningan. “Oke. Gue udah pusing. Ada yang punya kopi?”
Sore harinya, Lyra duduk sendirian di atas bukit, memandangi bayangan Pilar Dunia yang masih berdiri, walau goyah.
Dunia ini makin gila, pikirnya.
Dia cuma pengen kabur dari tuduhan konyol di desanya, bukan jadi bagian dari ramalan kehancuran alam semesta.
Arven datang dan duduk di sebelahnya. Kali ini tanpa suara.
Setelah beberapa saat, Lyra berkata, “Kalau gue gagal... semua ini runtuh, ya?”
Arven menatapnya lama. “Ya. Tapi lo belum gagal. Dan lo nggak sendirian.”
Lyra menoleh padanya, senyum lelah di bibirnya. “Kadang gue masih berharap semua ini cuma mimpi aneh gara-gara makan roti gosong sebelum tidur.”
Arven tertawa kecil. “Kalau ini mimpi, kita mimpi bareng.”
“Romantis banget,” ejek Lyra.
Mereka duduk dalam diam, menatap cakrawala Aedhira yang perlahan berubah warna saat malam menjelang—dan langit mulai bersinar dengan gugusan bintang yang tak pernah terlihat di dunia Lyra sebelumnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments