Hari pertama menjalankan program kerja. Aku, Salma, Abdul dan Rangga sudah bersiap-siap. Abdul sama Rangga yang kompak mengenakan atasan batik berwarna coklat dengan bawahan celana bahan berwarna hitam, sedangkan Salma dengan batik berwarna ungu muda dengan rok hitam panjang dan lebar, jangan lupa juga dengan kerudung yang menjuntai sampai perutnya. Dan aku dengan batik berwarna biru langit dan rok span hitam panjang dan rambut panjangku yang kuurai begitu saja.
Tinggal berangkat ke Sekolah Dasar dimana tempat kita mengabdi selama dua puluh hari ke depannya. Selama perjalanan banyak penduduk setempat yang menyapa. Bahkan tidak segan-segan menawarkan kami untuk mampir ke rumahnya.
Ada juga yang secara gamblang menyapa Rangga dengan genitnya. Tapi Rangga tetap pada cueknya. Aku sedikit tertawa juga melihat raut muka kesal mbak-mbak yang tadi menggoda Rangga.
Sorry mbak. Raja kutub tidak semudah itu dicairkan. Hohoho..
"Rangga" aku memanggilnya pelan karena kutahu dia pasti sudah mendengarnya.
"Hmmm" gitu doang?
"Kamu tuh jadi orang jangan dingin-dingin amat kenapa? Kasian tahu sama murid-murid yang mau kamu ajar. Masa iya guru sama tembok nggak ada bedanya. Datar" aku mengungkapkan unek-unek yang mengganjal sejak awal bertemu dengannya.
"Udah dari cetakan awal begitu kali Na" kelakar dari Abdul membuahkan tawa kita bertiga, kecuali Rangga tentunya. Si empunya nama sudah mengeluarkan jurus andalannya.
Tatapan dingin menggetarkan.
Kita berempat sampai di tempat tujuan setelah perjalanan satu kilometer yang tidak terasa karena Abdul yang mengeluarkan candaan receh tak bermutunya, tapi berhasil membuat kita tertawa. Isinya sudah pasti tentang Rangga, meski diselingi dengan godaan ke Salma. Membuat rona wajahnya memerah karena malu.
Beberapa guru menyambut kita antusias. Dengar-dengar dari Pak Karto, kita adalah kelompok KKN pertama yang mengabdi di desa ini. Jadi maklum kalau hampir semua warga desa menyambut kita dengan suka cita sampai dengan suka cinta. Wkwkwk.
Pak Mahmud selaku kepala sekolah memperkenalkan kita pada guru-guru yang mengajar di sini. Terdapat delapan guru, berasal dari berbagai kalangan usia.
Kalau yang paling tua namanya Pak Yayang, umurnya sekitar lima puluh lima tahunan. Mengaku memiliki banyak kekasih karena hampir semua orang memanggilnya "Yang". Ya jelas kali pak, masa manggilnya "Yay". Dasar, kelakuan berondong tua.
Nah, guru yang paling muda disini namanya Mbak Ida. Lulusan tahun kemarin, jadi masih muda lah ya. Dua tingkatan di atas kita. Dia anaknya Pak Mahmud, ceritanya sih dipaksa jadi guru di sini. Padahal Mbak Ida punya cita-cita mengejar pendidikan strata dua di luar kota nan jauh sana.
Tapi dilarang oleh bapaknya, katanya cukup mengejar S1 saja lalu kembali mengabdi di desa. Kalau dipikir-pikir benar juga alasan Pak Mahmud. Kalau anak muda seperti Mbak Ida semuanya pergi dari desa, maka kualitas sumber daya manusia di sini juga akan menurun.
Jadi kita berempat diantar oleh Mbak Ida untuk berkeliling sekolahan. Dari tadi aku lirik, ketara banget Mbak Ida menaruh hati pada Rangga. Kalau ibarat di sinetron-sinetron alay, pasti akan keluar gambar hati dari kedua mata Mbak Ida tiap bicara atau melihat Rangga. Kedua bola matanya sampai berbinar-binar begitu. Aku akui, pesona raja kutub memang tak dapat disembunyikan.
"Terus sekarang gimana perasaan Mbak Ida setelah dipaksa ngajar di sini?" rasa kepoku mulai kambuh.
"Ya begitulah. Seiring berjalannya waktu mulai nyaman juga ngajar anak-anak kecil. Emang pada dasarnya aku dari dulu udah suka sama anak kecil jadi ya cepat menyesuaikan diri"
"Salut deh sama Mbak Ida! Semoga mendapat berkah karena mengikuti perintah orang tua" kita semua mengaminkan apa yang Salma ucapkan.
Sekarang sampailah kita di ruang kelas. Kalau dilihat-lihat sekolahannya sama seperti SD pada umumnya, tidak seburuk yang terlintas di pikiranku. Aku pikir sekolah yang akan kuajar akan tampak seperti sekolah pada daerah pelosok yang sering kulihat di tv. Atap bocor, berlantai tanah, bangku-bangku yang mulai keropos termakan usia, dan berbagai kerusakan lainnya.
Padahal di sini tidak seperti itu.
Kondisi bangunan cukup bagus, tidak ada atap yang bolong ataupun bangku yang tidak layak. Paling-paling hanya coretan-coretan di meja dan di dinding hasil karya kreatif tangan para murid di sini. Lantainya pun keramik berwarna putih. Bahkan di sini terdapat kantin kecil supaya anak-anak tidak jajan sembarangan di luar.
Hanya satu yang kurang di sini. Yaitu tenaga pengajar yang minim. Kata Pak Karto, di sini memang pemuda dan pemudinya memilih berhenti bersekolah setelah lulus SMA bahkan SMP. Itu pun mereka langsung merantau ke luar kota dengan harapan mencari penghidupan yang lebih baik. Walau tidak sedikit juga yang memilih menikah lalu membantu orang tuanya di perkebunan.
Sangat sedikit memang yang meneruskan pendidikannya ke jenjang perkuliahan, itu pun hanya anak orang-orang tertentu.
Sesuai jadwal yang ada, aku dan Rangga memasuki ruangan kelas tiga sedangkan Salma dan Abdul memasuki ruangan kelas lima.
Dimulai dengan perkenalan terlebih dahulu.
"Assalamu'alaikum adek-adek!"
"Wa'alaikumsalam!" Mereka menjawab salamku dengan semangat.
"Sebelumnya perkenalkan, nama kakak Nala Ayu Kinanti panggil saja Kak Nala. Dan di samping Kak Nala ini..." aku mengkode Rangga dengan mengkedip-kedipkan sebelah mataku.
Berharap dia menangkap maksudku untuk memperkenalkan dirinya sendiri.
Padahal dalam hati aku sudah ketar-ketir sendiri. Bagaimana kalau Rangga dengan enaknya cuma bilang "Saya Kak Rangga" kan enggak banget. Aku sudah berdoa dalam hati supaya si raja kutub ini sedikit melelehkan es-nya. Seenggaknya biar terlihat ramah begitu di depan anak-anak.
"Halo semuanya! Perkenalkan nama kakak adalah Kak Rangga. Selama beberapa hari ke depan Kak Rangga dan Kak Nala akan membantu mengajar mata pelajaran Bahasa Inggris. Kita berharap adik-adik dapat meningkatkan kemampuan berbahasa inggris. Siap pintar Bahasa Inggris?!"
"Siaapp!!!"
Jder!!!
Bagai disambar petir di siang bolong.
Ini benar Rangga kan?
Kok jadi berbeda seratus delapan puluh derajat gini?
Mana mukanya jadi ekspresif lagi. Beda banget sama kesehariannya yang kaya es batu. Oohh aku tahu, jadi perubahan ini cuma buat anak-anak.
Baguslah! Jadi mereka enggak merasa takut kalau belajar bareng Rangga.
Selama pelajaran aku mendapati seorang siswi yang menantapku terang-terangan sambil senyum-senyum. Oke, aku biarkan terlebih dahulu.
Bahkan sampai istirahat pun dia masih begitu!
Aku jadi mikir, apa ada yang aneh dengan penampilanku?
"Rangga!"
"Hmm!" Dia masih memasukkan buku-bukunya dalam tas.
"Rangga ih! Lihat sini dulu!"
"Apa?" Akhirnya dia menoleh.
"Ada yang aneh sama penampilanku?" Dia meneliti dari tas ke bawah.
"Enggak"
"Atau mukaku ada coretan spidolnya?"
"Enggak"
Terus apa dong?!
Karena penasaran, kuhampiri saja anak itu. Dia tampak akan memakan bekalnya. Ketika tahu aku menghampiri mejanya, dia kelihatan girang banget.
"Hai!"
"Hai kak!!"
"Kak Nala boleh tahu enggak siapa nama kamu?" Tanyaku setelah duduk di kursi kosong sebelah tempat duduknya.
"Tiara kak!" Oohh jadi ini yang namanua Tiara. Anak Pak Kades yang sempat diceritakan oleh Mbak Ida sebelum masuk tadi.
"Wahh! Namanya bagus! Tiara setiap hari bawa bekal ya?" Kataku untuk basa-basi.
"Iya. Soalnya kata ibu, Tiara enggak boleh jajan sembarangan" aku mengangguk paham.
"Oh iya, Kak Nala mau tanya. Dari tadi Tiara natap Kak Nala terus ya?"
"Iya!" Nah kan!. Berarti dari tadi aku enggak merasa ke-PD an. Memang faktanya seperti itu.
"Kenapa?" Tanyaku. Lalu dia mengisyaratkan lewat gerakan tangannya agar aku lebih mendekat. Ternyata dia membisikkan sesuatu.
"Soalnya Kak Nala cantik!"
Blush.
Dipuji terang-terangan gini bisa buat pipiku langsung merona.
"Terima kasih!" Ucapku. Dia membalas dengan senyuman ceria.
"Emm.. Kak! Tiara boleh manggil Kak Nala dengan panggilan Kakak cantik apa tidak?"
Ha?!
Seriusan mau manggil begitu?
Pasti malu aku kalau sampai ada yang dengar. Nanti dikira narsis lagi. Tapi kalau ditolak takutnya nanti dia sedih.
"Iya boleh" terpaksa deh bolehin.
"Yey!!!" Tanpa aba-aba dia langsung memeluk dan mencium pipiku. Aku pun melakukan hal yang sama.
Dan isitirahat siang ini aku dipaksa makan bersama Tiara. Padahal aku sudah menolak, tapi dia tetap memaksa. Malah air matanya sudah ada di pelupuk mata gitu. Kan gawat kalau dia sampai menangis. Jadilah sekarang aku suap-suapan dengan Tiara.
Baru hari pertama merasakan jadi guru sudah seperti ini. Pasti akan banyak lagi kejadian yang akan kuhadapi, karakter berbeda dari setiap murid, juga tingkah-tingkah mereka jika aku menjadi guru sungguhan nanti.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
MeliMelo💦
Bagus kak ceritanya
2020-09-30
0
yahuuu💞
ceritanya bagus kk
2020-04-08
1