Bab 2 — Gangguan Bernama Jendral

Jendral Aryasatya Dirgantara bukan sekadar murid baru dari kalangan atas. Ia juga ketua The Rogues—geng paling populer dan disegani di sekolah lamanya.

Awalnya, ia tidak berharap banyak terhadap sekolah barunya. Tidak ada yang menarik dari sekolah elit yang dihuni oleh murid-murid pintar dan kaya. Namun, pandangannya berubah saat melihat seorang siswi berseragam sama turun dari mobil mewah tidak jauh dari gerbang, lalu dengan tenang melanjutkan perjalanan ke sekolah dengan menaiki sepeda.

Berbeda dengan anak orang kaya pada umumnya, murid itu seakan tidak ingin terlihat kaya. Bahkan, ia berusaha menghindar dari perhatian orang-orang. Jendral pun mengakui bahwa ia tertarik padanya.

"Kalian masih mau ke ruang kepala sekolah?"

Suara itu mengalihkan perhatian Jendral dari sosok yang sejak tadi menarik perhatiannya. Ia menoleh, menatap seorang murid berkacamata yang kini berdiri di hadapannya—menawarkan diri mengantarkan mereka ke ruang kepala sekolah.

"Siapa namanya?" tanya Jendral, keluar dari topik. Ia penasaran dengan identitas murid yang menarik perhatiannya sekaligus murid yang menolak menunjukkan ruang kepala sekolah kepada dirinya dan teman-temannya.

"Hah?" Si murid berkacamata sesaat tampak bingung. Namun, tidak lama kemudian ia mengerti maksud Jendral.

"Yang tadi namanya Alana, tapi aku sarankan lebih baik kalian jangan ganggu Alana. Dia nggak suka diganggu."

Teman-teman Jendral—Mahen, Aska, dan Dewa—saling menatap. Mereka tahu betul bahwa Jendral bukan seseorang yang akan menyerah begitu saja hanya karena kata "jangan".

"Oh, namanya Alana?" Jendral menganggukkan kepala, menyimpan nama gadis yang berhasil menarik perhatiannya hari ini. Ia sama sekali tidak mendengarkan peringatan untuk tidak mengganggu Alana yang disampaikan oleh si murid berkacamata.

"Ayo, antar ke ruang kepala sekolah," lanjutnya.

Si murid berkacamata mengangguk, lalu mengarahkan Jendral dan teman-temannya untuk mengikutinya.

Kaluna, yang masih di sana, mengepalkan tangan. Ia dan gengnya sejak tadi berada di sana, tetapi keempat murid baru itu sepertinya tidak peduli dengan kehadiran mereka, seakan-akan mereka makhluk tak kasatmata yang tidak bisa dilihat.

"Si culun itu berani-beraninya nyolong perhatian Jendral dari gue." ucap Kaluna geram. Tangannya terkepal menahan emosi.

"Udah, biarin dulu aja. Nanti kalau sudah waktunya, kita kasih dia pelajaran," ujar Savana—salah satu anggota geng The Violets—yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara. Ucapannya diangguki oleh anggota geng The Violets lainnya, Liora.

***

Setelah berhasil menenangkan diri, Alana melangkah masuk ke kelas XI-1. Ia langsung menuju bangkunya—di baris paling belakang, di sudut paling pojok ruangan. Tempat yang selama ini jadi zona amannya. Ia hanya berharap tidak ada drama lagi setelah kejadian pagi tadi, karena baginya, drama adalah hal paling melelahkan untuk dihadapi.

"Ngomong-ngomong, lo udah ketemu murid baru belum? Ganteng banget mereka, sumpah," ucap salah satu murid di kelas itu.

Alana tidak tertarik mendengarkannya. Namun, suara si murid memenuhi kelas, dan mau tidak mau ia harus mendengarnya.

"Iya, benar. Apalagi murid yang namanya Jendral, auranya kayak ketua geng gitu, nggak sih?" sahut yang lainnya.

Alana hanya bisa menghela nafas mendengar semua itu.

"Bener banget. Gue harap sih salah satunya masuk ke kelas kita, biar pecah nih kelas. Soalnya kan..." Suara itu tertahan.

Alana melirik ke arah murid yang bicara itu, dan tanpa sengaja mata mereka saling bertemu. Seperti ada sesuatu dari tatapan si murid padanya.

Murid yang ditatap Alana langsung mengalihkan pandangannya, lalu melanjutkan obrolan dengan teman di sampingnya.

"Jendral kayak suka nggak sih sama Alana?" ucapnya pelan. Namun, sayangnya, masih terdengar oleh telinga Alana.

Alana memutar mata. Pandangannya kini tertuju lurus ke arah papan tulis di depan kelas.

"Apa kelas ini sekarang jadi tempat gosip?" tanyanya tanpa menoleh pada teman-teman sekelas yang asyik bergosip.

Kelas XI-1 termasuk kelas unggulan; nyaris semua murid di kelas ini pintar dan lebih suka memakai otak mereka ketimbang mulut mereka. Tapi entah kenapa, pagi ini terasa berbeda—semua geger hanya karena empat murid baru yang sedang mereka bicarakan.

Perkataan Alana seolah menyadarkan murid-murid yang sedang bergosip. Mereka langsung diam dan mulai membuka buku pelajaran, menunggu guru datang. Untuk sesaat, kelas kembali seperti biasanya. Namun, kehebohan kembali menyeruak saat salah satu murid baru benar-benar menjadi penghuni baru di kelas mereka. Terlebih lagi, saat murid baru itu memperkenalkan dirinya di depan kelas.

"Hei, gue Jendral Aryasatya Dirgantara. Senang bertemu kalian," ucap si murid baru yang mengaku bernama Jendral.

Alana mengepalkan tangan di atas meja. Lelaki bernama Jendral itu benar-benar mengganggunya. Ia mengancam kedamaian yang selama ini ia pertahankan dengan susah payah.

"Kenapa dia harus masuk kelas ini sih?" keluhnya dalam hati. Ia tidak masalah jika harus ada murid baru di kelasnya, tapi lelaki itu—lelaki yang sedang menatap ke arahnya itu—benar-benar mengganggunya.

Berbeda dengan Alana, murid-murid lain di kelas itu justru merasa senang Jendral jadi bagian dari mereka. Terutama murid-murid perempuan. Setidaknya, sekarang ada sedikit pemanis di kelas yang biasanya serius itu.

"Baik, Jendral. Kamu bisa duduk di bangku kosong di—" Belum sempat guru di depan menyelesaikan kalimatnya, Jendral sudah lebih dulu menyela.

"Saya akan duduk di sana, Bu," ucap Jendral sambil menunjuk bangku kosong di samping Alana.

Adegan itu menjadi hiburan kecil bagi kelas XI-1 yang biasanya serius dan jauh dari suasana romansa. Meskipun reaksi Alana tampak keberatan, murid-murid di kelas itu seolah disuguhi drama romantis secara langsung.

"Baik." Saat guru hendak mempersilakan Jendral duduk di bangku yang diinginkannya, tatapan sang guru tanpa sengaja bertemu dengan Alana—dan ia tahu tatapan itu, tatapan penolakan yang tidak diungkapkan secara lisan.

"Eum, tapi menurut Ibu, lebih baik kamu duduk di bangku lain. Bagaimana kalau di sana?" Guru menunjuk bangku kosong di pojok, berseberangan dengan Alana.

"Maaf, Jendral, tapi Alana tidak suka diganggu. Jadi, lebih baik kamu duduk di sana," sambung guru itu, meminta pengertian.

Namun, Jendral tidak berniat mengubah keputusannya. Ia datang ke sekolah ini bukan untuk duduk berseberangan dengan Alana. Ia ingin mendekati perempuan yang sejak pagi berhasil menarik perhatiannya. Bahkan, demi itu, ia rela memohon langsung pada kepala sekolah agar bisa ditempatkan di kelas ini.

"Saya tidak akan mengganggu," ujarnya santai, sebelum melangkah penuh percaya diri menuju bangku kosong di samping Alana dan duduk tanpa menunggu persetujuan lebih lanjut.

Alana mengepalkan tangan di atas meja. Ia tidak suka dengan gangguan bernama Jendral itu. Kehadirannya terasa seperti ancaman terhadap kedamaian yang selama ini ia jaga.

Berbeda dengan Alana, Jendral justru diam-diam tersenyum melihat ekspresi kesal di wajah perempuan itu. Bagi Jendral, reaksi itu bukan penolakan—melainkan awal dari sesuatu yang menarik.

Dan ya, kelas pun riuh. Drama baru dimulai—antara murid unggulan yang menjaga jarak dan murid baru yang tidak kenal takut.

Episodes
1 Bab 1 — Ketika Pusat Perhatian Bukan Pilihan
2 Bab 2 — Gangguan Bernama Jendral
3 Bab 3 — Bekal untuk Hati yang Terganggu
4 Bab 4 — Jarak di Antara Kita
5 Bab 5 — Cemburu Tidak Diundang, Rasa Tidak Dipercaya
6 Bab 6 — Teriakan di Kelas
7 Bab 7 — Amarah yang Membela
8 Bab 8 — Perasaan yang Tidak Dapat Dihentikan
9 Bab 9 — Jaket yang Menyimpan Cerita
10 Bab 10 — Pertemuan yang Tidak Diinginkan
11 Bab 11 — Pengakuan di Tengah Ketegangan
12 Bab 12 — Benteng yang Kembali Kokoh
13 Bab 13 — Saat Kanaya Bangkit
14 Bab 14 — Garis Batas yang Kabur
15 Bab 15 — Segelas Americano dan Rasa yang Tidak Lagi Pahit
16 Bab 16 — Beasiswa dan Ancaman yang Tidak Terucap
17 Bab 17 — Antara Kaluna, Lip Balm, dan Ciuman Kilat
18 Bab 18 — Saat Langit Tenang dan Badai Datang
19 Bab 19 — Di Balik Sesak yang Tidak Terucap
20 Bab 20 — Senja di Atap Sekolah
21 Bab 21 — Belum Dilirik, Katanya
22 Bab 22 — Teman, Tapi Bukan Biasa
23 Bab 23 — Kalau Bercanda Ternyata Serius
24 Bab 24 — Bukan Lagi Candaan
25 Bab 25 — Jatuh dan Hampir Jatuh
26 Bab 26 — Harga yang Tidak Terucap
27 Bab 27 — Diam yang Berbicara
28 Bab 28 — Bekal yang Tidak Tersentuh: Ketika Luka Lama Terungkap
29 Bab 29 — Dekat Tapi Tidak Resmi
30 Bab 30 — Saat Sang Ratu Jatuh
31 Bab 31— Batas Kepercayaan
32 Bab 32 — Senyum di Balik Rencana
33 Bab 33 — Batas yang Tidak Pernah Diminta
34 Bab 34 — Bahagia yang Bukan Milikku
35 Bab 35 — Antara Dua Hati
36 Bab 36 — Tidak Hadirnya Alana
37 Bab 37 — Bibir yang Salah, Perasaan yang Benar
38 Bab 38 — Perihal Pilihan dan Kepemilikan
39 Bab 39 — Maaf yang Menyerang
40 Bab 40 — Luka yang Belum Sembuh
41 Bab 41 — Kita yang Memilih Bertahan
42 Bab 42 — Saat Perhatian Jadi Milikmu Saja
43 Bab 43 — Jarak yang Tidak Pernah Dimaksudkan
44 Bab 44 — Cemburu yang Tidak Terungkap
Episodes

Updated 44 Episodes

1
Bab 1 — Ketika Pusat Perhatian Bukan Pilihan
2
Bab 2 — Gangguan Bernama Jendral
3
Bab 3 — Bekal untuk Hati yang Terganggu
4
Bab 4 — Jarak di Antara Kita
5
Bab 5 — Cemburu Tidak Diundang, Rasa Tidak Dipercaya
6
Bab 6 — Teriakan di Kelas
7
Bab 7 — Amarah yang Membela
8
Bab 8 — Perasaan yang Tidak Dapat Dihentikan
9
Bab 9 — Jaket yang Menyimpan Cerita
10
Bab 10 — Pertemuan yang Tidak Diinginkan
11
Bab 11 — Pengakuan di Tengah Ketegangan
12
Bab 12 — Benteng yang Kembali Kokoh
13
Bab 13 — Saat Kanaya Bangkit
14
Bab 14 — Garis Batas yang Kabur
15
Bab 15 — Segelas Americano dan Rasa yang Tidak Lagi Pahit
16
Bab 16 — Beasiswa dan Ancaman yang Tidak Terucap
17
Bab 17 — Antara Kaluna, Lip Balm, dan Ciuman Kilat
18
Bab 18 — Saat Langit Tenang dan Badai Datang
19
Bab 19 — Di Balik Sesak yang Tidak Terucap
20
Bab 20 — Senja di Atap Sekolah
21
Bab 21 — Belum Dilirik, Katanya
22
Bab 22 — Teman, Tapi Bukan Biasa
23
Bab 23 — Kalau Bercanda Ternyata Serius
24
Bab 24 — Bukan Lagi Candaan
25
Bab 25 — Jatuh dan Hampir Jatuh
26
Bab 26 — Harga yang Tidak Terucap
27
Bab 27 — Diam yang Berbicara
28
Bab 28 — Bekal yang Tidak Tersentuh: Ketika Luka Lama Terungkap
29
Bab 29 — Dekat Tapi Tidak Resmi
30
Bab 30 — Saat Sang Ratu Jatuh
31
Bab 31— Batas Kepercayaan
32
Bab 32 — Senyum di Balik Rencana
33
Bab 33 — Batas yang Tidak Pernah Diminta
34
Bab 34 — Bahagia yang Bukan Milikku
35
Bab 35 — Antara Dua Hati
36
Bab 36 — Tidak Hadirnya Alana
37
Bab 37 — Bibir yang Salah, Perasaan yang Benar
38
Bab 38 — Perihal Pilihan dan Kepemilikan
39
Bab 39 — Maaf yang Menyerang
40
Bab 40 — Luka yang Belum Sembuh
41
Bab 41 — Kita yang Memilih Bertahan
42
Bab 42 — Saat Perhatian Jadi Milikmu Saja
43
Bab 43 — Jarak yang Tidak Pernah Dimaksudkan
44
Bab 44 — Cemburu yang Tidak Terungkap

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!