Jendral Aryasatya Dirgantara bukan sekadar murid baru dari kalangan atas. Ia juga ketua The Rogues—geng paling populer dan disegani di sekolah lamanya.
Awalnya, ia tidak berharap banyak terhadap sekolah barunya. Tidak ada yang menarik dari sekolah elit yang dihuni oleh murid-murid pintar dan kaya. Namun, pandangannya berubah saat melihat seorang siswi berseragam sama turun dari mobil mewah tidak jauh dari gerbang, lalu dengan tenang melanjutkan perjalanan ke sekolah dengan menaiki sepeda.
Berbeda dengan anak orang kaya pada umumnya, murid itu seakan tidak ingin terlihat kaya. Bahkan, ia berusaha menghindar dari perhatian orang-orang. Jendral pun mengakui bahwa ia tertarik padanya.
"Kalian masih mau ke ruang kepala sekolah?"
Suara itu mengalihkan perhatian Jendral dari sosok yang sejak tadi menarik perhatiannya. Ia menoleh, menatap seorang murid berkacamata yang kini berdiri di hadapannya—menawarkan diri mengantarkan mereka ke ruang kepala sekolah.
"Siapa namanya?" tanya Jendral, keluar dari topik. Ia penasaran dengan identitas murid yang menarik perhatiannya sekaligus murid yang menolak menunjukkan ruang kepala sekolah kepada dirinya dan teman-temannya.
"Hah?" Si murid berkacamata sesaat tampak bingung. Namun, tidak lama kemudian ia mengerti maksud Jendral.
"Yang tadi namanya Alana, tapi aku sarankan lebih baik kalian jangan ganggu Alana. Dia nggak suka diganggu."
Teman-teman Jendral—Mahen, Aska, dan Dewa—saling menatap. Mereka tahu betul bahwa Jendral bukan seseorang yang akan menyerah begitu saja hanya karena kata "jangan".
"Oh, namanya Alana?" Jendral menganggukkan kepala, menyimpan nama gadis yang berhasil menarik perhatiannya hari ini. Ia sama sekali tidak mendengarkan peringatan untuk tidak mengganggu Alana yang disampaikan oleh si murid berkacamata.
"Ayo, antar ke ruang kepala sekolah," lanjutnya.
Si murid berkacamata mengangguk, lalu mengarahkan Jendral dan teman-temannya untuk mengikutinya.
Kaluna, yang masih di sana, mengepalkan tangan. Ia dan gengnya sejak tadi berada di sana, tetapi keempat murid baru itu sepertinya tidak peduli dengan kehadiran mereka, seakan-akan mereka makhluk tak kasatmata yang tidak bisa dilihat.
"Si culun itu berani-beraninya nyolong perhatian Jendral dari gue." ucap Kaluna geram. Tangannya terkepal menahan emosi.
"Udah, biarin dulu aja. Nanti kalau sudah waktunya, kita kasih dia pelajaran," ujar Savana—salah satu anggota geng The Violets—yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara. Ucapannya diangguki oleh anggota geng The Violets lainnya, Liora.
***
Setelah berhasil menenangkan diri, Alana melangkah masuk ke kelas XI-1. Ia langsung menuju bangkunya—di baris paling belakang, di sudut paling pojok ruangan. Tempat yang selama ini jadi zona amannya. Ia hanya berharap tidak ada drama lagi setelah kejadian pagi tadi, karena baginya, drama adalah hal paling melelahkan untuk dihadapi.
"Ngomong-ngomong, lo udah ketemu murid baru belum? Ganteng banget mereka, sumpah," ucap salah satu murid di kelas itu.
Alana tidak tertarik mendengarkannya. Namun, suara si murid memenuhi kelas, dan mau tidak mau ia harus mendengarnya.
"Iya, benar. Apalagi murid yang namanya Jendral, auranya kayak ketua geng gitu, nggak sih?" sahut yang lainnya.
Alana hanya bisa menghela nafas mendengar semua itu.
"Bener banget. Gue harap sih salah satunya masuk ke kelas kita, biar pecah nih kelas. Soalnya kan..." Suara itu tertahan.
Alana melirik ke arah murid yang bicara itu, dan tanpa sengaja mata mereka saling bertemu. Seperti ada sesuatu dari tatapan si murid padanya.
Murid yang ditatap Alana langsung mengalihkan pandangannya, lalu melanjutkan obrolan dengan teman di sampingnya.
"Jendral kayak suka nggak sih sama Alana?" ucapnya pelan. Namun, sayangnya, masih terdengar oleh telinga Alana.
Alana memutar mata. Pandangannya kini tertuju lurus ke arah papan tulis di depan kelas.
"Apa kelas ini sekarang jadi tempat gosip?" tanyanya tanpa menoleh pada teman-teman sekelas yang asyik bergosip.
Kelas XI-1 termasuk kelas unggulan; nyaris semua murid di kelas ini pintar dan lebih suka memakai otak mereka ketimbang mulut mereka. Tapi entah kenapa, pagi ini terasa berbeda—semua geger hanya karena empat murid baru yang sedang mereka bicarakan.
Perkataan Alana seolah menyadarkan murid-murid yang sedang bergosip. Mereka langsung diam dan mulai membuka buku pelajaran, menunggu guru datang. Untuk sesaat, kelas kembali seperti biasanya. Namun, kehebohan kembali menyeruak saat salah satu murid baru benar-benar menjadi penghuni baru di kelas mereka. Terlebih lagi, saat murid baru itu memperkenalkan dirinya di depan kelas.
"Hei, gue Jendral Aryasatya Dirgantara. Senang bertemu kalian," ucap si murid baru yang mengaku bernama Jendral.
Alana mengepalkan tangan di atas meja. Lelaki bernama Jendral itu benar-benar mengganggunya. Ia mengancam kedamaian yang selama ini ia pertahankan dengan susah payah.
"Kenapa dia harus masuk kelas ini sih?" keluhnya dalam hati. Ia tidak masalah jika harus ada murid baru di kelasnya, tapi lelaki itu—lelaki yang sedang menatap ke arahnya itu—benar-benar mengganggunya.
Berbeda dengan Alana, murid-murid lain di kelas itu justru merasa senang Jendral jadi bagian dari mereka. Terutama murid-murid perempuan. Setidaknya, sekarang ada sedikit pemanis di kelas yang biasanya serius itu.
"Baik, Jendral. Kamu bisa duduk di bangku kosong di—" Belum sempat guru di depan menyelesaikan kalimatnya, Jendral sudah lebih dulu menyela.
"Saya akan duduk di sana, Bu," ucap Jendral sambil menunjuk bangku kosong di samping Alana.
Adegan itu menjadi hiburan kecil bagi kelas XI-1 yang biasanya serius dan jauh dari suasana romansa. Meskipun reaksi Alana tampak keberatan, murid-murid di kelas itu seolah disuguhi drama romantis secara langsung.
"Baik." Saat guru hendak mempersilakan Jendral duduk di bangku yang diinginkannya, tatapan sang guru tanpa sengaja bertemu dengan Alana—dan ia tahu tatapan itu, tatapan penolakan yang tidak diungkapkan secara lisan.
"Eum, tapi menurut Ibu, lebih baik kamu duduk di bangku lain. Bagaimana kalau di sana?" Guru menunjuk bangku kosong di pojok, berseberangan dengan Alana.
"Maaf, Jendral, tapi Alana tidak suka diganggu. Jadi, lebih baik kamu duduk di sana," sambung guru itu, meminta pengertian.
Namun, Jendral tidak berniat mengubah keputusannya. Ia datang ke sekolah ini bukan untuk duduk berseberangan dengan Alana. Ia ingin mendekati perempuan yang sejak pagi berhasil menarik perhatiannya. Bahkan, demi itu, ia rela memohon langsung pada kepala sekolah agar bisa ditempatkan di kelas ini.
"Saya tidak akan mengganggu," ujarnya santai, sebelum melangkah penuh percaya diri menuju bangku kosong di samping Alana dan duduk tanpa menunggu persetujuan lebih lanjut.
Alana mengepalkan tangan di atas meja. Ia tidak suka dengan gangguan bernama Jendral itu. Kehadirannya terasa seperti ancaman terhadap kedamaian yang selama ini ia jaga.
Berbeda dengan Alana, Jendral justru diam-diam tersenyum melihat ekspresi kesal di wajah perempuan itu. Bagi Jendral, reaksi itu bukan penolakan—melainkan awal dari sesuatu yang menarik.
Dan ya, kelas pun riuh. Drama baru dimulai—antara murid unggulan yang menjaga jarak dan murid baru yang tidak kenal takut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments