[S1] LILAC DI JENDELA | Jirosé (END)
Bab 3 – Antara Panggung dan Bayangan
Minji mengenal Park Jimin jauh sebelum banyak orang tahu namanya. Ia tahu bagaimana Jimin bekerja keras saat tidak ada yang melihat, bagaimana ia mengulang nada demi nada sampai suara seraknya hilang. Ia tahu kelemahan Jimin—dan juga senyumnya yang langka.
Jadi saat ia membuka pintu studio hari itu dan melihat seorang perempuan asing duduk di lantai, menatap Jimin dengan pandangan tenang… Minji tahu, ada sesuatu yang mulai berubah.
Ia tidak mengetuk. Tidak memberi salam. Hanya berdiri, menatap keduanya, dan tersenyum kecil yang lebih dingin dari biasanya.
Park Minji
(kepalanya miring sedikit)
“Kukira kamu nggak suka ada orang di sini saat latihan, Jimin.”
Park Jimin
(agak terkejut, tapi tetap tenang)
“Rose nggak ganggu. Dia cuma... duduk.”
Park Minji
(tatapannya pindah ke Rose)
“Florist, ya? Kamu yang atur lilac-lilac ini?”
Roseanne Park
(berdiri pelan, sedikit gugup)
“Iya. Saya hanya menata ruangan. Maaf kalau… terlihat terlalu santai.”
Park Minji
(senyum tipis, nada halus tapi tajam)
“Studio idol bukan taman bunga. Tapi ya… ruangannya jadi lebih wangi.”
Park Jimin
(tegas, tanpa nada marah)
“Aku yang minta dia tetap di sini.”
Ada jeda di udara. Pendek, tapi cukup menyesakkan. Rose menunduk sedikit, lalu mengambil tas kecilnya.
Roseanne Park
“Saya… sepertinya sudah cukup hari ini. Terima kasih atas tehnya, Jimin-ssi.”
Park Jimin
(berdiri)
“Kamu nggak harus pergi. Latihanku belum mulai.”
Roseanne Park
(tersenyum lembut)
“Nggak apa. Saya bisa kembali nanti. Lagipula, lilac-nya sudah cukup segar.”
Rose melangkah keluar. Tidak tergesa, tapi juga tidak lambat. Dan saat pintu tertutup, ruangan kembali hening.
Park Minji
(kini duduk di sofa)
“Dia manis. Tipe yang nggak terlihat di red carpet, tapi ada di balik panggung.”
Park Jimin
(menatap piano, lalu Minji)
“Kenapa kamu di sini, Minji?”
Park Minji
“Manager bilang kamu belum serahkan konsep wardrobe untuk teaser. Katanya kamu... susah ditemui belakangan ini.”
Park Jimin
“Karena aku memang butuh waktu sendiri.”
Park Minji
(tersenyum, menyilangkan kaki)
“Sendirian… tapi nggak sendiri, ya?”
Park Jimin
(nada dingin)
“Kalau kamu datang untuk ngatur wardrobe, kita bahas. Tapi kalau mau bahas Rose, aku nggak tertarik.”
Park Minji
(berdiri, nada pelan tapi menusuk)
“Baik. Tapi jangan salahkan aku kalau suatu saat bunga yang kamu rawat... layu karena terlalu dekat dengan lampu sorot.”
Minji pergi tanpa menoleh. Sepatunya berdetak pelan di lorong, seperti ketukan waktu yang mulai mempercepat langkahnya.
Dan di studio itu, Jimin hanya duduk diam. Tangannya menyentuh lilac yang mulai mekar sempurna. Ia tak tahu, bunga yang mekar terlalu cepat… kadang tak bertahan lama.
---
Bersambung
Comments
Laurena Imelya
lanjut dong kak plis dan semangat 💪💪💪🤗🤗🤗🤗😊🥰🤗
2025-04-21
1
YAFA Amri
baguss😎
2025-04-22
1