SELAMAT MEMBACA
Di bangku panjang yang mulai berkarat, Zevanya duduk dengan memeluk tas jinjitnya. Sisa-sisa kepanikan yang lebih pada ketakutan masih tergambar jelas pada wajahnya. Namun, kekecewaan begitu tampak jelas bahkan tidak bisa gadis itu tutupi.
Seorang pria datang membawa dua botol air mineral, ia melihat gadis yang hampir saja di tabraknya memandang jauh ke depan. Sama sekali tidak terganggu dengan pekikan dan keramaian anak-anak yang tengah bermain bola di lapangan. Ia seolah berada dalam dimensinya sendiri.
Zevanya yang masih melamun merasakan tepukan di bahunya, lamunan gadis itu buyar. Melihat ke belakang dan mendapatkan pria yang telah memberikan tumpangan sekaligus sebagai penyelamatnya dari kegilaan sang mantan kekasih.
Pria itu memberikan botol minuman yang langsung Zevanya teguk, tenggorokannya memang kering setelah berteriak meminta tolong untuk mendapatkan tumpangan.
“Terima kasih,” kata Zevanya dengan suara pelan.
“Hm, tidak perlu sungkan,” balas pria itu menoleh sejenak pada lawan bicaranya.
Keduanya diam tanpa obrolan, melihat anak-anak yang begitu riang gembira. Sedikit mengurangi kecanggungan dan rasa asing satu sama lain.
“Oh ya, bukannya saya ingin lancang. Tapi pria tadi apakah penculik yang berniat jahat padamu? Jika begitu, dia harus segera dilaporkan agar tidak ada lagi korban dan demi keselamatanmu juga. Siapa tahu dia masih mengincar mu?” ujar pria itu memecah keheningan di antara mereka.
Zevanya semakin mengeratkan pelukan pada tasnya, hal itulah yang juga menjadi kekhawatirannya sekarang. Dan semoga saja dirinya tidak lagi bertemu dengan Adrian.
Pria itu menghela napas, tidak mendapat jawaban dari gadis di sampingnya. Dia tampaknya masih linglung akan kejadian yang dialaminya beberapa waktu lalu. Akhirnya keduanya kembali diam untuk waktu yang lama.
Langit mulai menunjukkan kemerahan, senja di ufuk barat memberikan sinar hangat yang membuat suasana sore terlihat tenang dan nyaman. Lapangan semakin ramai oleh anak-anak dan beberapa orang dewasa yang ikut berjalan-jalan. Lingkungan ini terlihat sangat padat oleh penduduk.
“Rumahmu di mana? Biar saya antar, hari sebentar lagi malam.” Kembali pria itu memecah keheningan di antara mereka yang berbanding terbalik sekali dengan sekitar mereka.
Dan kali ini Zevanya menoleh, tepatnya tersentak. Ia baru menyadari belum mendapatkan tempat untuk bernaung.
Pria itu mengangkat salah satu alisnya, “Ada apa?”
Zevanya menunduk, “Mmmm... saya tidak memiliki tempat tinggal,” jawabnya dengan nada lemah, membuat pria itu diam.
“Pantas saja membawa dua tas besar,” gumam pria itu masih didengar jelas oleh Zevanya.
“Maaf, kembali merepotkan. Apa di sini ada kosan? Saya sangat butuh tempat tinggal, dan sudah mencari sejak tadi pagi. Tapi tidak mendapatkan karena harganya yang juga tidak sesuai dengan kemampuan saya.” Jujur gadis itu, berharap pria di sampingnya dapat membantu.
“Untuk tempat tinggal seperti kosan di sini tidak ada, lihat saja lingkungan di sini padat penduduk. Bahkan dalam satu rumah, tinggal dua tiga kepala keluarga di sini.” Jelas pria itu. Membuat harapan Zevanya punah, kepalanya semakin tertunduk dalam. Keheningan semakin melanda, apalagi orang-orang mulai kembali ke rumah mereka karena hari mulai gelap.
“Kamu benar-benar tidak ada tempat untuk singgah? Misalnya rumah teman atau keluarga?”
Zevanya menggeleng, keluarga satu-satunya adalah sang ibu. Dan dia tidak akan pernah kembali ke rumah itu. Dirinya juga tidak memiliki teman dekat yang bisa diminta bantuan, kalaupun memiliki teman hanya sekedar kenal namanya saja, tidak terlalu dekat. Akibat dirinya yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan selalu berpindah.
Pria itu berpikir sejenak, dengan ragu ia mengatakan... “Kamu mau tinggal di rumah saya?” tawarnya membuat Zevanya langsung menoleh dengan mata mengerjap harap. “Saya tinggal sendiri,” lanjut pria itu. Kini Zevanya tampak berpikir.
“Apakah boleh?” tanya gadis itu ragu, ia tidak memiliki pilihan lain.
“Tergantung kamu, saya tidak masalah.” Pria itu menyerahkan keputusan padanya.
Dilihat-lihat pria ini baik, semoga tidak memiliki niat buruk. Ia juga sangat membutuhkan tempat bersinggah untuk malam ini, tidur di emperan toko seperti yang lalu-lalu, bukan pilihan yang tepat. Apalagi ia yang sudah beranjak dewasa, memancing kriminalitas terjadi.
“Jadi bagaimana?” tegur pria itu melihat keterdiaman gadis ini.
“Saya mau,” jawab Zevanya cepat, setelah pertimbangan cukup lama.
Pria itu mengangguk, “Baiklah, kalau begitu, ayo.” Ajaknya, beranjak dari duduk. Zevanya mengikuti dan keduanya pun menaiki sepeda motor menuju rumah sang pria.
Lorong-lorong sempit membuat sepeda motor melaju pelan, dalam perjalanan itu keduanya pun berkenalan.
“Saya Zevanya, panggil saja Zeva.” Ujar Zevanya, tidak lagi menggunakan panggilan Vanya yang selalu digunakan ibunya dan Adrian. Gadis itu rupanya berniat segera melupakan masa lalu.
“Oh, baiklah Zeva. Kamu bisa memanggilku Wira,” balas pria yang telah menjadi penolong Zevanya, ia banyak berhutang budi pada pria ini.
“Baik, Wira. Dan terima kasih atas semuanya.” Kata Zevanya dengan tulus dan Wira dapat merasakan itu.
“Sama-sama dan tidak perlu terlalu sungkan,” balasnya dengan ramah.
Setelah beberapa saat perjalanan melalui lorong-lorong kecil, akhirnya Zevanya dan Wira tiba di depan sebuah rumah kecil dengan tembok yang catnya mulai memudar. Rumah ini tampak sederhana, tetapi bersih dan terawat.
Wira memarkir motornya di samping rumah, kemudian mengajak Zevanya masuk. Saat ia membuka pintu, sebuah ruang tamu mungil menyambut mereka, dihiasi sofa coklat tua dan meja kecil dengan beberapa majalah usang tentang kuliner. Di sampingnya terdapat lemari yang sebagian besar diisi dengan buku yang tersusun rapi, dan buku kuliner mendominasi.
“Ini rumah saya, sederhana, tapi semoga nyaman buatmu,” ujar Wira menyunggingkan senyum segarisnya. Zevanya mengangguk, sudah sangat bersyukur karena mendapatkan tempat bersinggah.
“Sangat nyaman, sekali lagi terima kasih sudah mengizinkan saya untuk menginap malam ini,” manik mata Zevanya berkilau, memupuk kristal bening. Rasa syukurnya yang tidak tergambarkan oleh kata-kata.
Wira berjalan menuju kamar satu-satunya, mempersilahkan gadis itu untuk menempati.
“Saya tidur di sini saja,” tunjuk Zevanya pada sofa tua ruang tamu, tentu merasa tidak enak jika menempati kamar tuan rumah.
“Tidak, saya yang akan tidur di ruang tamu, dan kamar ini kamu yang tempati.” Kata Wira seraya membuka pintu kamarnya. “Pintunya kamar ini bisa di kunci dari dalam,” lanjut pria itu menjelaskan agar tamunya merasa nyaman dan aman.
“Tapiii—“ Zevanya sungkan.
“Anggap saja rumah sendiri,” tutur Wira, melihat kesungkanan tamunya. “Lagi pula hanya semalam ‘kan? Besok, saya akan membantumu mencari tempat tinggal.”
Akhirnya Zevanya mengangguk dengan penuh terima kasih, gadis itu memasuki kamar Wira setelah terlebih dahulu meminta ijin untuk menyimpan barang. Ia juga meminta ijin ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
e puluh menit di dalam kamar, Zevanya mendapati pintu kamar yang ditempatinya diketuk. Gadis itu dengan segera membukanya.
“Ouh, maaf mengganggu.” Ucap pria itu tidak enak, merasa mengganggu peribadahan si gadis.
“Tidak, sama sekali tidak. Saya sudah selesai,” jawab Zevanya melepaskan mukenanya. Gadis itu pun bertanya maksud tujuan Wira memanggilnya.
“Hm, yaa... mari makan bersama.” Ajaknya dan langsung duduk lesehan di tikar ruang tamu yang ia bentangkan. Keduanya makan dengan khidmat, tidak menyadari sesuatu sedang terjadi di luar rumah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments