Pregnant? ll

Di bawah cahaya remang lampu balkon kamarnya, Angelo termenung. Air mata mengancam membasahi pipinya yang pucat. Ia masih tak percaya dengan apa yang terjadi. Dengan tangan gemetar, ia perlahan mengelus perutnya yang masih rata, sebuah gerakan lembut yang penuh dengan kebingungan dan ketakutan. Helaan napas berat, tertahan, terdengar dari bibirnya, mengungkapkan beban emosi yang begitu besar.

Setelah mendengar pengakuan dokter—bahwa ia tengah mengandung—kejutan dan keraguan langsung menyergapnya. Ia meminta pemeriksaan ulang, berharap ada kesalahan, namun hasilnya tetap sama. Kepanikan terlihat jelas di matanya yang berkaca-kaca. Ia bahkan meminta untuk melihat hasil USG, ingin sekali menyangkal kenyataan yang begitu tak terduga. Namun, gambar di layar USG tak bisa dipungkiri: kandung telur telah terbentuk, membuktikan kehamilannya yang mengejutkan.

"Hah..." Angelo menghela napas panjang, kepalanya mendongak menatap langit malam yang gelap. Sesak. Berat sekali beban yang ia pikul.

Ketukan pintu kamarnya membuyarkan lamunannya. Jacob, Pamannya, masuk dengan secangkir susu hangat di tangan, uapnya mengepul lembut di udara. Wajah Jacob tampak khawatir, di bawah cahaya remang lampu kamar.

"Angelo, masuklah. Udara malam tidak baik untukmu, apalagi dalam keadaanmu sekarang." Suara Jacob lembut, penuh perhatian, namun ada getaran kuat di baliknya. Ia meletakkan cangkir susu di nakas, jari-jari tangannya tampak gemetar sedikit.

Angelo memeluk erat bantal yang menghangatkan nya. Ia ingin sekali menolak, ingin sekali melampiaskan semua bebannya. Tapi ia tak mampu. Ia tahu Jacob hanya ingin yang terbaik. Ia telah mendengar cerita dari Cyne, sahabatnya, tentang bahaya menggugurkan kandungan, tentang bagaimana hal itu akan merusak kesehatannya, bahkan mengancam jiwanya. Jacob, dengan segala keterbatasannya, berusaha keras agar Angelo mempertahankan kandungannya, bayi mungil yang kini menjadi pusat dari pergolakan batinnya. Bayi yang tak diinginkan, namun kini telah menjadi bagian dari dirinya.

"Biarkan aku sendiri," kata Angelo pelan, suaranya hampir teredam oleh kesunyian malam. Wajahnya pucat, mata sembab.

Jacob menghela napas. Ketakutannya bukan hanya pada keselamatan Angelo, tapi juga dampak stres pada kandungannya. Cerita Cyne telah memberinya banyak pelajaran.

Ia ingin Angelo tak hanya terhindar dari luka fisik, tapi juga memiliki hati yang lebih baik. Ia berharap kehadiran anak ini akan menenangkan Angelo, membuatnya lebih bijak mengendalikan emosi, dan menghargai kehidupan.

Sedangkan soal ayah dari anak tersebut, Maximillian, Jacob tak mau ikut campur. Keputusan untuk memberitahu Maximillian atau tidak, sepenuhnya ada di tangan Angelo.

Jacob berjalan mendekat, langkahnya pelan dan hati-hati. Ia duduk di samping Angelo, yang masih terpaku menatap kosong ke depan, wajahnya pucat pasi di bawah cahaya remang lampu balkon kamar. Suasana dingin di luar seolah ikut membekukan suasana hati. "Angelo," suara Jacob lembut, penuh kekhawatiran, "apakah kau menyesali kehadiran bayi itu di dalam dirimu?"

Angelo menggigit bibirnya hingga hampir berdarah, matanya terpejam rapat, menahan gelombang kesedihan yang menggulungnya. Sebuah isakan kecil lolos dari bibirnya, diikuti oleh tangisan yang semakin menjadi. "Aku... aku takut," suaranya terputus-putus oleh isakan, "aku takut menjadi ibu yang gagal untuk anakku..."

Hati Jacob terasa seperti diremas. Ia langsung menarik Angelo ke dalam pelukannya, menghibur keponakannya yang tengah dilanda keputusasaan. Tangisan Angelo pecah sejadi-jadinya di pelukan Jacob, suara pilu yang mengiris hati. Jacob membelai rambut Angelo, mencoba memberikan ketenangan dan kekuatan di tengah badai kesedihan yang melanda.

Jacob sama sekali tak menyangka Angelo akan berpikiran seperti itu. Ia mengira Angelo termenung karena penyesalan atas kehadiran bayi yang belum lahir, namun apa yang baru saja didengarnya jauh lebih menyayat hati. Rasa bersalah Jacob pun ikut menggejolak.

"Aku... aku sudah membunuh banyak orang dengan tanganku sendiri," isak Angelo di antara tangisnya yang menyesakkan dada, "apakah... apakah dia tidak akan kecewa saat mengetahui ibunya adalah seorang pembunuh?" Kalimat itu terucap dengan suara tertahan, diselingi isakan pilu yang menusuk kalbu.

Jacob terdiam, tak mampu menjawab. Ia takut jawaban apa pun hanya akan melukai Angelo lebih dalam, menghancurkan kepercayaan dirinya yang sudah rapuh. Ia hanya bisa mengelus lembut rambut Angelo, mendengarkan setiap kata yang terucap dari bibir keponakannya, kata-kata yang dipenuhi ketakutan akan masa depannya sebagai seorang ibu yang dianggapnya tak layak. Jacob merasakan kepedihan yang mendalam, menyaksikan keponakannya terbebani oleh masa lalu yang kelam.

. . .

Matahari pagi menerobos masuk melalui celah tirai, menyinari wajah Angelo yang masih sembab karena tangis semalam. Ia terbangun dengan perasaan berat yang masih membebani hatinya. Angelo berjalan gontai menuju kamar mandi, langkahnya lesu dan lamban. Di depan wastafel, ia membasuh wajahnya yang lengket karena air mata, mencoba membersihkan sisa-sisa kesedihan yang masih membekas.

Angelo menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya masih pucat, tetapi ada secercah tekad yang mulai muncul di matanya. Ia menarik napas dalam-dalam, mengucapkan tekad dalam hati, "Hah... Ayo, berubah lebih baik lagi."

Di meja makan yang dipenuhi aroma kopi dan roti panggang, Cyne dan George tampak menikmati sarapan bersama Jacob dan yang lainnya. Cyne, dengan mulut yang penuh roti, tampak lahap menyantap makanannya. Hormon kehamilannya membuatnya memiliki nafsu makan yang meningkat drastis.

"Dimana Angelo? Apakah dia masih tidur?" tanya Cyne, suaranya sedikit tertahan karena mulutnya masih penuh makanan, kehadiran Angelo yang tak terlihat membuatnya sedikit khawatir.

Jacob mengangguk pelan, matanya masih tertuju pada kursi kosong Angelo. Namun, tak lama kemudian, Angelo muncul dari balik pintu lift, langkahnya ringan dan penuh energi. Semua orang di meja makan tertegun. Wajah Angelo terlihat berbeda; binar bahagia terpancar dari matanya yang biasanya redup, menyisakan keheranan di wajah para sahabatnya.

"Pagi semua," sapa Angelo ceria, suaranya terdengar lebih riang dari biasanya. Ia duduk di kursinya, menatap setiap orang dengan senyum yang tulus dan menenangkan.

"Pagi," jawab mereka serempak, suara mereka sedikit terbata-bata karena terkejut. Ketenangan Angelo yang tak biasa, dipadukan dengan senyum yang begitu cerah, menimbulkan tanda tanya besar di hati mereka. Semalam, Angelo masih terlihat sangat sedih dan terpukul oleh kenyataan kehamilannya.

"Ada apa dengan kalian? Mengapa menatapku seperti itu?" tanya Angelo, keningnya sedikit berkerut karena bingung. Sikap tenangnya yang tiba-tiba ini justru yang membuat mereka takut.

"Kau... kau tidak sedang berniat untuk membunuh bayi dalam kandunganmu itu, kan, Angelo?" Celetuk Cyne, suaranya sedikit gemetar. George, yang duduk di sebelahnya, segera menyikut pelan lengan Cyne, menegur kekasarannya.

Angelo tersenyum, senyum yang kali ini terasa lebih tulus dan melegakan. Ia menggelengkan kepala, menepis kekhawatiran yang tampak jelas di wajah sahabat-sahabatnya. "Aku memutuskan untuk mempertahankannya," ujarnya, suaranya mantap dan penuh keyakinan. Sebuah beban seakan terangkat dari pundak mereka semua. Suasana tegang di meja makan perlahan mereda, digantikan oleh rasa syukur dan lega.

"Lalu bagaimana dengan Maximillian?" tanya Cyne lagi, suaranya masih sedikit ragu-ragu. Kali ini, pertanyaan itu diiringi tatapan tajam dari Jacob, yang seakan memperingatkan Cyne untuk lebih berhati-hati dalam berbicara. Ketegangan kembali muncul, mengingatkan mereka pada dilema yang masih membayangi Angelo.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!