Mereka bermain dengan riang, sesekali suara keduanya bercanda terdengar dari dalam rumah. Detik kemudian suasana menjadi hening, karena keduanya sudah tidak ada lagi dibawah rumah.
Keduanya pergi kerumah nenek, tidak jauh dari rumah mereka. Keduanya masuk ke dalam kelambu sang nenek dan bercerita kisah-kisah dongeng.
Saat selesai bercerita, sang nenek memberikan beberapa uang receh untuk keduanya jajan.
Keduanya menerimanya dengan wajah berseri. Fatur dan Melinda langsung berlari membeli jajan. Setelah itu mereka pulang.
“Ummi, ini uang dikasi nenek. Cukup nggak beli beras?” tanya Fatur pada ibunya.
Ia memberikan uang 400 perak pada sang ummi. Uminya tersenyum mengelus kepala dua anaknya itu dengan sayang.
“Uang ini untuk Fatur dan Mel aja untuk jajan...” seru Zainab.
“Tapi, kita udah beli jajan Ummi.” jawab Melinda menunjukkan jajan yang ia beli.
“Untuk Mel dan Fatur saja, nanti ditabung ya nak...”
“Apa cukup beras segitu buat makan kita hari ini Ummi?” tanya Fatur melirik kearah tempayan berisi segengam beras.
Zainab menganguk pelan. Fatur dan Melinda kembali bermain dengan anak tetangganya.
Harga beras saat itu Rp 2.500- Rp 3.000 per kg. Harga sekitaran tahun 1999.
Pada tahun 1999, krisis memang sudah mulai mereda, tapi dampaknya masih terasa. Harga beras belum juga turun dari harga beras Rp 700- Rp1000 menjadi Rp 2. 500- Rp 3000.
Harga Rp 2.500 untuk sekilo beras jumlah yang begitu besar bagi Zainab. Zainab menghela napas berat, dia mengambil beras segenggam itu dan mencucinya. Ia tambakan sedikit banyak air, lalu memasukkan daun salam dan sedikit garam.
Sambil mengaduk bubur, Zainab menoleh kearah pintu, berharap keajaiban akan datang. Berharap, mungkin saja ada tetangga yang akan membawa bahan makanan untunya dan anak-anaknya. Namun, itu hanya khayalan semata.
Saat bubur sudah matang, ia menyendok kedalam piring, dan memanggil anaknya yang sedang bermain.
“Fatur, Mel, ayo makan...” teriak Zainab.
Mel dan Fatur berhamburan masuk kedalam rumah. Wajah mereka berseri-seri saat masuk rumah. Keduanya duduk bersila, memandang bubur yang masih panas dengan wajah bahagia. Keduanya langsung memakannya dengan lahap.
“Enak, ummi...” ucap Mel pelan.
“Benar, enak...” sambung Fatur dengan wajah mulut penuh dengan bubur. Zainab tersenyum tipis.
Sore harinya terlihat Hasan tergopoh-gopoh dikejauhan. Melinda dan Fatur sedang bermain-main dibawah pohon mangga, berlarian mendatangi sang ayah. Hasan mengelus wajah sang anak. Zainab tersenyum tipis, melihat kedua anaknya berlarian mendekati sang ayah.
Kedua anak itu bahkan tidak menanyakan apa-apa kepada ayahnya. Adakah membawa mainan, dan makanan. Mereka hanya senang melihat ayahnya pulang.
Hasan pulang tidak membawa apa-apa. Tidak ada hadiah, tidak ada jajanan seperti anak-anak lainnya.
“Aku sudah urus semuanya. Tinggal surat izin keluar. Kita akan punya sekolah sendiri.” ujarnya dengan bangga.
Zainab tersenyum. “Baguslah, kalau begitu...” ujarnya menyambut kedatangan sang suami.
Zainab tidak mau berbicara banyak. Dia tidak mau mematahkan semangat Hasan, walaupun ia tahu rencana-rencana besar Hasan tidak pernah berhasil, selalu kandas ditengah jalan.
Hasan masuk kedalam rumah dan menuangkan air minum ke gelas dan meminumnya sekali teguk. Melinda dan Fatur masih mengenggam tangan ayahnya dengan wajah ceria.
Dalam hati Zainab, ia berdoa semoga rencana yang dilakukan oleh Hasan kali ini bukan hanya sebatas khayalan semata. Bukan sekedar alasan untuk tidak mencari uang dan bekerja.
Beberapa bulan kemudian, surat izin keluar. Belajar mengajar pun dimulai. Saat itu malah kejayaan Hasan bersinar, anak-anaknya sering dibelikan mainan, baju baru, kalung emas, cincin, dan juga gelang untuk Melinda, sepeda baru untuk kedua anaknya.
Namun lain dengan Zainab yang tidak mendapatkan apa-apa. Jangankan baju baru, sempak sehelai pun tidak. Zainab tidak meminta haknya, yang terpenting kedua anaknya bahagia.
Makan mereka pun mulai terjamin. Zainab hanya kebagian uang belanja untuk dapur. Itu pun harus disuruh irit, jangan boros.
“Jangan boros-boros, harus irit... Gajinya tinggal sedikit...” ujarnya suatu hari.
Sebagian uang Hasan itu diberikan kepada ibunya. Ia lebih mementingkan pihak ibunya daripada kebutuhan sang istri.
Sesekali sedih juga melihat, sang suami membawa belanjaan untuk ibunya berupa beras, minyak goreng, kadang juga lauk pauk, belum lagi duit yang dikasi, sementara dirinya harus disuruh irit.
“Jika tidak karena anak-anak, sudah lama aku pergi...” lirihnya mengingat kehidupan tidak pernah berpihak padanya.
Fatur dan Melinda diluar sana sibuk memainkan sepedanya, bahkan sesekali ia mengajak teman-temannya menaiki sepedanya dan sesekali ia yang membonceng temannya.
Wajah mereka terlihat bahagia. Zainab menyaksikan kebahagian anak-anaknya dengan senyum bahagia, walaupun jauh dilubuk hatinya, ada perasaan sedih saat sang suami tidak begitu mementingkannya.
Fatur dibelikan mainan robot, sedangkan Melinda dibelikan boneka barbie dan alat-alat masak-masak untuk anak-anak.
Siang itu Fatur tidur memeluk robotnya, sedangkan Melinda memeluk bonekanya.
Zainab mengelus wajah kedua anaknya. “Ya Allah, jangan Engkau biarkan kebahagian mereka hilang... Jangan ambil lagi kebahagian mereka. Biarkan mereka bahagianya selamanya Tuhan...” senyum mengukir diwajahnya sambil menciumi wajah sang anak.
Ternyata kejayaan yang dialami keluarga Hasan kembali diterpa masalah. Hasan menjadi kepala sekolah dengan memakai ijazah orang.
Orang yang punya ijazah pun meminta kembali ijazahnya, padahal setiap gajian, yang punya ijazah dikasi uang.
Mungkin diliputi dengki, orang tersebut meminta kembali ijazahnya.
“Enak saja, ia dapat gajian banyak, membeli anaknya emas, masa kau hanya sedikit saja diberi olehnya...” seseorang menghasut Hilman teman Hasan yang dipinjami ijazah.
Akhirnya ijazah itu kembali dipulangkan pada pemiliknya. Hasan memakai ijazah orang lain. Namun masalah tidak sampai disitu saja. Suatu malam Hasan diundang untuk rapat.
Namun, pada malam itu malah semua orang yang datang memutuskan untuk memilih kepala sekolah. Dari voting suara, Hasan kalah suara. Malam itu, termasuk jebakan bagi Hasan. Ia hanya diberitahu untuk rapat, bukan untuk memilih kepala sekolah.
Padahal yang mengurus semua persyaratan berdirinya sekolah itu adalah Hasan. Namun setelah berjaya, orang lain malah hendak menjadi kepala sekolah.
Setelah malam penuh pengkhianatan itu, Hasan pulang dengan wajah lesu. Sepanjang jalan, ia tidak berkata sedikit pun. Pikirannya sibuk memutar percakapan dirumah Pak Herman, yang masih memiliki ikatan persaudaraan.
Ia tidak menyangka, mereka malah menusuknya dari belakang. Bahkan yang berbuat curang itu masih memiliki ikatan persaudaraan dengannya.
Apakah karena ia miskin?
Jadi mudah saja diperalat oleh orang lain?
Sesampainya dirumah, Zainab melihat sang suami pulang dengan keadaan lesu, bertanya-tanya dengan apa yang terjadi dengan suaminya.
“Ada apa bang? Apa ada masalah?” tanya Zainab pelan.
Hasan duduk bersandar didinding rumahnya. Napasnya berat. Ia tidak langsung menjawab. Baru beberapa menit kemudian ia berkata dengan lirih.
“Mereka menyingkirkan aku, Nab. Aku cuma diundang untuk rapat, tapi ternyata mereka malah melakukan pemilihan kepala sekolah. Aku kalah sekolah. Aku kalah suara...” ujarnya dengan suara bergetar.
Zainab terdiam. Walaupun ia tidak suka dengan sikap suami pada dirinya, namun ia sedih juga dengan masalah yang menimpa suaminya.
Mulut Zainab kaku. Ia tidak bisa berkata-kata. Dadanya bergemuruh menahan marah. Ia tahu betul, Hasan jungkir balik membangun sekolah itu dari nol, namun orang yang tidak ada berkontribusi dalam hal tersebut, malah diangkat menjadi kepala sekolah.
Zainab mengepalkan tangannya. “Siapapun mereka yang terlibat menyingkirkanmu, semoga segera mendapat bala dari Tuhan... Tuhan tidak akan tidur, mereka akan membalas perbuatan mereka...” ujarnya dengan suara tinggi.
Tidak butuh waktu yang lama, bencana pun datang pada keluarga yang terlibat. Awal mula terjadi pada seorang guru yang mengajar disana.
Tiba-tiba suaminya menjadi gila dalam berbulan-bulan. Ditambah lagi keluarga tempat mengadakan rapat. Tiba-tiba sang anak, saat keluar dari kamarnya, kepalanya terbentur pada dinding kamar dan selama berbulan-bulan juga tidak bisa melihat.
Ditambah lagi, sang ayah mengalami lumpuh total saat terjatuh di pinggir jalan.
Bahkan rata-rata guru-guru yang mengajar disana, rata-rata mendapat musibah yang mengeluarkan biaya yang besar untuk pengobatan.
Gosip-gosip tersebar diseluruh desa...
“Itu karma telah menjatuhkan orang tulus. Hasan tulus dalam membangun sekolah itu, malah orang lain yang tidak mau membantu, mau jadi kepala sekolah. Aneh. Mau enaknya saja...” gunjing warga sekitar.
“Doa istri Hasan terkabul... Mereka perlahan hancur dengan sendirinya, berkat kelakuan mereka sendiri...” sambung warga lainnya.
“Akibat iri sama orang... Bencana pun datang dengan sendirinya...”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Abu Yub
Aku datang lagi thor/Ok/
2025-04-10
0
Abu Yub
pada tahun
2025-04-10
0