Deonall Story

Keesokan paginya, Deon bangun dengan perasaan aneh. Bukan karena kasur yang lebih keras dari yang biasa dia tiduri, atau suara kendaraan yang terus lalu lalang di luar. Tapi karena…

Ada aroma kopi yang luar biasa enak tercium dari kamar sebelah.

Deon mengendus pelan, lalu bangkit sambil mengucek matanya. Sial, baunya aja udah bikin nagih.

Dia melirik jam. 06.30.

Masih terlalu pagi untuk manusia sepertinya, tapi aroma itu… gila.

Tanpa berpikir panjang, dia berjalan keluar kamar. Pas banget, pintu kamar Gwen setengah terbuka. Dan di dalam, cewek itu duduk di meja kecil, dengan secangkir kopi di tangannya.

Deon bersandar di pintu sambil melipat tangan. “Lo bangun pagi cuma buat bikin kopi?”

Gwen melirik sebentar, lalu kembali menyesap kopinya dengan tenang. “Prioritas hidup gue jelas, jadi lo jangan banyak tanya deh.”

Deon menyipitkan mata. “Bau kopinya nggak manusiawi, sih. Lo pake apaan?”

Gwen tersenyum tipis. “Lo nggak akan ngerti.”

Itu tantangan.

Deon berjalan masuk tanpa izin, lalu duduk di kursi di depan Gwen. “Coba aja.”

Gwen menaikkan alis, tapi tetap diam. Dengan gerakan santai, dia menarik toples kaca dari bawah meja dan membuka tutupnya.

Aroma kopi itu langsung menghantam hidung Deon.

DEMI APA?! INI SURGA!!

Matanya membulat. “Lo nyimpen barang premium?! Kopi apaan ini?”

Gwen terkekeh sambil menutup kembali toplesnya. “Rahasia.”

Deon melipat tangan. “Oke, gini. Gue nggak akan minjem kopi lo. Gue nggak akan ngelanggar aturan lo. Tapi…”

Dia menunjuk cangkir di tangan Gwen. “Gue cuma minta satu teguk.”

Gwen menatapnya lama. Lalu, dengan ekspresi paling licik yang pernah Deon lihat, cewek itu menyeringai.

“Satu teguk, ya?”

Deon mengangguk penuh harap. “Iya.”

Gwen mengangkat cangkirnya, mendekatkannya ke Deon seolah ingin memberikan. Mata Deon berbinar.

Lalu...

Gwen menyesap habis kopinya dalam satu tegukan panjang.

Deon melongo. “LO GILA?!”

Gwen menurunkan cangkir kosongnya dan tersenyum puas. “Oops. Abis.”

Deon menatapnya horor. “LO PELIT BANGET SIH!”

Gwen tertawa pelan sambil berdiri, berjalan ke wastafel untuk mencuci cangkirnya. “Terserah gue dong, lagian siapa juga yang mau bagi bagi sama lo!”

Deon menatap toples kopi itu dengan lirikan penuh dendam.

Game on, Gwen. Lo baru aja nyiptain musuh baru.

Deon menyipitkan mata, menatap punggung Gwen dengan tatapan penuh niat balas dendam. Oke, gue gak masalah.

Tanpa banyak pikir, dia langsung bergerak. Dengan kecepatan penuh, tangannya menyambar toples kopi yang tadi bikin dia tergoda.

“HAA! SEKARANG GUE PUNYA KOPI LO, MAU APA LO HAH!” serunya penuh kemenangan.

Tapi Gwen sama sekali nggak panik.

Sebaliknya, dia hanya menoleh pelan sambil menyandarkan diri ke wastafel. Lalu dengan ekspresi super santai dia berkata, “Silakan aja.”

Deon langsung curiga. “Lo nggak bakal ambil paksa?”

Gwen menaikkan bahu. “Ngapain?”

Deon menatapnya lebih lama. Lalu dia melirik toples di tangannya. Bentuknya simpel, kaca bening, isinya bubuk kopi yang terlihat… biasa aja.

Mata Deon menyipit lebih tajam. “Lo pasti udah ngelakuin sesuatu sama kopi ini kan?"

Gwen tersenyum licik. “Mungkin.”

Brengsek.

Tapi Deon nggak mau kalah. “Fine. Gue bakal coba.”

Sebelum Gwen sempat mencegah, Deon membuka toples dan mengambil sedikit bubuk kopi dengan jari, siap untuk mencicipinya.

Gwen masih diam. Matanya tetap menatap Deon, tapi tanpa ekspresi takut atau cemas.

Dan itu… membuat Deon ragu.

Kenapa dia terlalu santai?!

Deon menatap bubuk kopi di jarinya, lalu menatap Gwen lagi.

Gwen tetap diam. Tapi senyumnya makin lebar.

Deon berkedip. “…Ini kopi biasa, kan?”

Gwen nggak menjawab.

Sekarang, Deon 99% yakin ada sesuatu yang nggak beres.

Dan 100% takut buat nyoba.

Perlahan, dia menutup kembali toples itu dan meletakkannya di meja dengan penuh kehati-hatian.

“Gue… nggak gitu ngidam kopi juga, sih.” ucapnya pura-pura santai.

Gwen tertawa pendek. “Pintar.”

Deon mengerutkan kening. “Jadi beneran ada sesuatu di kopi itu?”

Gwen hanya mengedipkan sebelah mata. “Siapa tau?”

Deon menghela napas panjang dan menjatuhkan diri ke kursi. Gila, pagi-pagi aja udah kena mental.

Sementara itu, Gwen mengambil toplesnya kembali, lalu menuangkan kopi ke cangkir baru yang tentu saja tidak akan Deon sentuh.

Tapi satu hal yang pasti..

Dia harus menemukan cara buat balas dendam.

Tapi balas dendamnya nanti saja, saat ini dia harus bersiap siap untuk berangkat kerja.

__

Deon duduk di bangku paling belakang bus, satu kaki naik ke kursi, dan kepala bersandar ke jendela. Matanya mengamati jalanan yang mulai padat, tapi pikirannya melayang ke satu hal, Gwen.

Cewek itu nggak kelihatan berangkat bareng. Aneh.

Padahal mereka kerja di perusahaan yang sama, dan bukannya Deon akan melihatnya keluar kamar sekitar jam yang sama pagi hari ini. Tapi tadi… nggak ada tanda-tanda Gwen sama sekali.

Apa dia berangkat lebih awal?

Deon mendengus pelan. Atau jangan-jangan dia anak magang spesial yang bisa seenaknya masuk siang?

Tapi itu urusan nanti. Fokus, Deon. Lo punya masalah yang lebih besar di depan mata.

Dia menatap bayangannya sendiri di kaca bus, lalu menarik napas panjang.

Senior-senior brengsek di kantor.

Hari pertama kemarin aja udah cukup bikin dia nyaris hilang akal. Disuruh ambilin kopi, disuruh kirim dokumen yang ternyata salah, bahkan pernah dijadiin ‘tumbal’ buat disalahin bos karena kesalahan kecil yang bukan dia yang buat.

Dan itu baru hari pertama.

Hari ini? Bisa jadi lebih parah.

Deon mengusap wajahnya dan menatap jalanan yang semakin ramai. Ya Tuhan, kenapa dia harus lahir jadi bagian Argadewantara?

Saat bus mulai mendekati halte dekat kantornya, Deon berdiri dan merapikan bajunya. Dia melangkah turun dengan sikap santai, tapi dalam hati udah siap buat perang lagi.

Oke. Hari ini gue nggak boleh kalah!

Saat dia masuk ke dalam gedung kantor dan melangkah ke lift, satu suara menyambutnya.

"Lama amat, si lo. Gue udah duluan dari tadi."

Deon menoleh, dan mendapati Gwen bersandar santai di sudut lift dengan cangkir kopi di tangan.

Mata Deon menyipit. "Lo dari mana? Kenapa gue nggak liat lo berangkat?"

Gwen tersenyum misterius. "Lo terlalu sibuk mikirin diri sendiri kali."

Sial.

Cewek ini makin hari makin bikin dia penasaran.

Deon mendengus pelan. "Jangan sok misterius, deh. Lo berangkat dari mana, emangnya? Jangan-jangan lo anak sultan yang punya helikopter pribadi?"

Gwen hanya menyeruput kopinya tanpa menjawab.

Lift berbunyi, pintu terbuka, dan mereka berdua melangkah keluar atau seharusnya begitu.

Begitu melihat beberapa senior kantor berjalan mendekat, Gwen tiba-tiba mundur selangkah, lalu dengan gerakan cepat menekan tombol lantai lain sebelum melangkah keluar lift.

Tapi dia keluar ke arah yang berlawanan dari Deon.

Deon mengernyit. "Eh? Lo mau ke mana?"

Gwen menoleh sebentar, matanya sedikit menyipit. "Lo aja yang ke depan. Gue ada urusan."

Sebelum Deon bisa bertanya lebih lanjut, pintu lift menutup, membawa Gwen entah ke mana.

Aneh.

Tapi sebelum Deon bisa mencerna kejadian barusan, suara berat tiba-tiba menyapanya.

"HAH! ANAK BARU DATENG LAGI!"

Deon langsung menghela napas panjang. Sial. Hari kedua baru mulai, tapi penyiksaannya udah datang.

Deon belum sempat mencerna keanehan Gwen, tapi sekarang dia punya masalah lain. Senior-senior brengsek di depannya.

Bayu, dengan senyum sok ramah yang udah bikin Deon merinding, melangkah mendekat sambil menepuk bahunya keras-keras.

"Gimana anak magang? Udah siap untuk bekerja lebih keras lagi hari ini?"

Deon memasang ekspresi datar. "Gue lebih siap kalau lo resign, Bang." gumamnya pelan.

Bayu ngakak keras. "Wah, udah berani lo, ya? Tapi sayang, gue masih betah di sini. Nah, hari ini ada tugas spesial buat lo."

Deon menghela napas. "Jangan bilang harus pesen kopi lagi?"

Bayu tersenyum lebar, tapi tatapannya kayak macan lapar. "Lebih seru dari itu sih kata gue."

Tiba-tiba, sebuah tumpukan map dilempar ke dada Deon. Dia hampir jatuh ke belakang gara-gara beban mendadak itu.

"Lo antar semua ini ke lantai 25, lalu ke lantai 30, terus terakhir ke ruangan bos di lantai 38. Jangan sampai ada yang jatuh atau ilang, ya!"

Deon melotot. "INI SATU KANTOR GUE ANTARIN?!"

Bayu menepuk pundaknya keras-keras. "Itu namanya tanggung jawab, Deon. Lo anak magang, kan? Harus belajar lebih kerja keras!"

"KERJA KERAS OTAK LO!" ucapnya penuh emosi.

Tapi tentu aja Deon cuma berani ngomong itu di dalam hati.

Sebenarnya bukan tidak berani sih, tetapi dia memilih untuk menahannya. Hukuman menjadi anak magang di perusahaan ayahnya saja sudah membuatnya gila, jangan sampai ayahnya menambah lagi hukumannya.

Bisa bisanya dia benaran gila!

Dengan berat hati, dia mulai melangkah ke arah tangga darurat karena tentu aja, liftnya penuh dan senior-senior itu nggak bakal ngasih dia kesempatan buat naik duluan.

Saat dia sampai di tangga, dia bergumam pelan, "Oke. Kalau gini caranya, gue harus mulai cari cara buat balas dendam."

Lalu, dari sudut matanya, dia menangkap sosok Gwen yang berdiri agak jauh, mengamati dari balik pilar dengan ekspresi… menyebalkan.

Mata mereka bertemu sebentar. Gwen menaikkan alis, lalu dengan santai menyeruput kopinya.

Brengsek. Dia pasti menikmati penderitaan gue.

Tapi kemudian, cewek itu melangkah mendekat. "Mau gue kasih saran?" bisiknya.

Deon mendengus. "Kalau lo mau ngetawain gue, mending pergi."

Tapi Gwen malah menyeringai. "Denger dulu, suuzon banget lo belum apa apa sama gue. Kalau lo mau bertahan di sini, lo harus belajar licik. Dan kebetulan, gue ahli dalam hal itu."

Deon meliriknya curiga. "Maksud lo?"

Gwen mendekat, lalu berbisik di telinganya.

Dan begitu Deon mendengar rencananya, senyum jahat mulai muncul di wajahnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!