"Mas, baju siapa ini?" tanya Anita dengan nada menyelidik.
Arman melirik ibunya dan mengedipkan mata. "Wah, dia pasti menyembunyikan sesuatu. Oke, aku bantu, tapi ada kompensasinya," pikir Laksmi dalam hati.
Laksmi menepuk jidatnya. "Astaga, Ibu lupa! Ini baju Ibu. Kemarin Arman membelikannya untuk Ibu. Dia kan anak yang berbakti. Sudahlah, jangan ada yang protes. Kita doakan saja semoga rezeki Arman semakin melimpah," ujar Laksmi sambil membela Arman.
Arman merasa lega karena ibunya bisa diandalkan. "Sudah jelas, kan? Sudah siang, aku mau berangkat dulu," kata Arman sambil mengenakan sepatunya.
Anita membantu Arman mengenakan sepatu, lalu mencium tangannya dan mendoakannya. Itu adalah kebiasaan Anita setiap pagi. Sebenarnya, Laksmi senang melihat Arman diperlakukan seperti itu, tetapi sayangnya, menurutnya, Anita adalah istri yang tidak berguna karena bukan wanita karier.
Setelah membereskan rumah, Anita masuk ke kamar dan mulai menulis cerita bersambung. Senyumnya merekah saat melihat jumlah pembacanya semakin bertambah. Ternyata, banyak yang menyukai ceritanya. Dengan keterbatasan kosakata yang dimilikinya, ia tetap menulis dengan bahasa sehari-hari. Awalnya, ia mengira gaya bahasa seperti itu tidak akan diminati, tetapi ternyata banyak pembaca yang justru menyukainya. Dalam ulasan, banyak yang memuji kesederhanaan dan kemudahan bahasanya.
Siang hari, terdengar ketukan di pintu. Anita bergegas membukanya dan melihat Lestari, adik Arman yang kuliah di kota.
"Tari, kamu libur?" tanya Anita.
Namun, wajah Lestari terlihat masam. Ia tidak menjawab dan langsung mengetuk pintu kamar ibunya.
Laksmi keluar dengan wajah masam dan mata masih berbelek.
"Tari, kenapa kamu pulang? Apa kamu libur?" tanya Laksmi.
"Aku ambil cuti, Bu. Aku mau di rumah dulu," jawab Lestari.
"Oke, tapi nanti kamu sekamar dengan Salma, ya."
"Aku tidak mau, Bu. Aku mau kamar sendiri."
"Tapi kamar kamu sudah digunakan Kakak Dewi."
"Aku tetap mau kamar sendiri, Bu. Titik." Lestari bersikeras.
"Anita!" teriak Laksmi.
"Apa, Bu?" jawab Anita.
"Sekarang kamu bereskan kamar Amira. Pindahkan semua barangnya ke kamar kamu."
Anita terkejut dengan keputusan ibu mertuanya. Memang benar ini rumah mertuanya, tetapi semua kebutuhan rumah ditanggung oleh Arman, suaminya. Berkali-kali Anita meminta Arman membeli rumah sendiri, meskipun sederhana, tetapi selalu ditolak. Alasan utamanya adalah karena ibunya melarang, dan bagi Arman, larangan ibunya adalah sabda yang harus diikuti.
"Nanti aku tanyakan dulu ke Mas Arman, Bu," ucap Anita, tidak mau mengambil keputusan sendiri. Bagaimanapun, Amira sudah remaja, tidak pantas jika tidur bersama orang tuanya.
"Ngapain harus menunggu Arman? Arman itu anakku. Dia pasti mengikuti apa yang Ibu ucapkan!"
"Tapi, Bu..."
"Tidak ada tapi-tapi! Cepat lakukan apa yang Ibu perintahkan!" bentak Laksmi.
Lestari menyeringai puas. Sejak kuliah, ia tidak menyukai Anita entah karena alasan apa.
Dengan berat hati, Anita mulai membereskan kamar Amira. Perasaan sedih menyelimutinya. Ia selalu merasa disisihkan. Apa salahnya menjadi ibu rumah tangga? Kenapa keluarga mertuanya sangat membenci ibu rumah tangga? Kenapa mereka meremehkan pekerjaan yang tidak pernah habis ini? Apakah ibu rumah tangga dianggap tidak bisa menghasilkan uang?
Namun, Anita memiliki pemikiran yang lebih maju. Ia adalah seorang penulis daring. Dulu, ia sering mengikuti lomba menulis cerpen, tetapi karena keterbatasan ekonomi, ia tidak bisa melanjutkan sekolah. Tidak sekolah bukan berarti tidak belajar.
Baru dua tahun terakhir ia mulai menyalurkan bakatnya, itupun setelah berjuang keras mengumpulkan uang dari Arman. Ia mulai menulis secara daring, dan bulan ini, perjuangannya mulai membuahkan hasil.
"Bu, kenapa kamarku ditempati Ate?" tanya Amira pada Anita.
Anita mengelus kepala Amira. "Nanti Ibu tanyakan ke Bapak kamu, bagusnya bagaimana. Tadi Nenek menyuruh Ibu membereskan kamar kamu dan memindahkan barang-barangmu ke kamar Ibu untuk sementara," ucapnya lembut.
"Bu, kenapa bukan Salma saja yang tidur dengan ibunya? Kalau aku tidur di kamar Ibu, kan, tidak mungkin. Atau aku tidur di ruang tamu saja, Bu. Barang-barangku kutaruh di kamar Ibu," ujar Amira yang sudah memahami ketidakadilan neneknya terhadap ibunya.
Mata Anita berkaca-kaca mendengar ucapan Amira.
"Ibu tidak akan membiarkanmu tidur di ruang tamu. Lebih baik Ibu mencarikan kos putri untukmu daripada kamu tidur di ruang tamu. Kamu anak gadis, Ibu tidak akan membiarkan itu terjadi," ucap Anita dengan tekad bulat. Ia ingin melihat bagaimana sikap Arman nanti.
"Oh iya, Bu. Kalau mau kos, aku ada tempat, khusus akhwat. Ada pembinaan dari ustazah juga. Tapi biayanya mahal, Bu," kata Amira.
"Berapa, Sayang?" tanya Anita.
"Satu juta lima ratus ribu rupiah, Bu," jawab Amira.
"Kalau kamu mau, Ibu akan usahakan, Nak," ujar Anita sambil mengelus kepala Amira.
"Apapun keinginanmu, akan Ibu usahakan, Sayang," tekad Anita dalam hati.
sore hari
Arman baru saja pulang kerja. Wajahnya kusut, matanya letih seperti menanggung beban yang tak pernah benar-benar usai. Anita segera membukakan pintu, menyambutnya dengan senyuman hangat, meski hatinya sedang penuh tanya.
"Mas mau makan dulu atau mandi?" tanyanya lembut, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang bersemayam.
Arman tersenyum tipis. “Aku mandi dulu, habis itu makan, ya.”
“Air hangat sudah kusiapkan,” sahut Anita cepat. “Sekarang aku ke dapur, mau siapkan makan malam buat Mas.”
Ia melangkah ke dapur dengan cekatan. Hatinya sibuk menyusun kata. Ini bukan kali pertama ia harus memilih waktu yang tepat untuk bicara. Tapi setiap kali begitu, tetap saja degup jantungnya berpacu lebih kencang.
Selesai mandi, Arman duduk di meja makan. Aroma tumis kangkung dan ayam goreng kesukaannya menggoda selera. Anita duduk di seberangnya, memperhatikan wajah suaminya yang mulai sedikit rileks.
Dan ketika semua tampak tenang, Anita menghembuskan napas perlahan. Inilah saatnya.
“Mas…” panggilnya pelan, “aku ingin Amira punya kamar sendiri. Mungkin… kamu bisa bicarakan dengan ibunya Salma, supaya Salma kembali ke sana?”
Arman mengerutkan kening. “Loh, memangnya kamar Amira kenapa?”
Anita menunduk sebentar, mencoba menahan gejolak emosi. “Ditempati Lestari. Dan aku disuruh Ibu mindahin semua barang Amira ke kamar kita.”
Hening. Kalimat itu seperti lembaran kertas yang jatuh perlahan tapi meninggalkan bunyi keras di hati Arman. Ia tak langsung menjawab. Matanya menerawang, pikirannya entah ke mana.
“Kalau begitu, kenapa bukan Salma saja yang satu kamar dengan Dewi?” gumam Arman, lebih seperti bicara pada dirinya sendiri.
“Aku juga berharap seperti itu…” suara Anita makin lirih, “tapi Ibu tetap bilang begitu. Titah.”
Arman masih diam.
Anita menatap wajah suaminya, mencari sesuatu di sana—ketegasan, keberanian, keberpihakan.
Dalam hati, Anita bertanya, untuk kesekian kalinya, “Mas… sampai kapan aku harus terus mengalah? Apa Amira akan terus jadi yang disingkirkan? Dan Mas… akan tetap diam?”
Tak ada air mata di wajah Anita. Tapi hatinya retak. Berkeping-keping dalam diam yang menyesakkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
❤️⃟Wᵃf 🤎ˢʰᵉʸₙᵤᵣ𝒻ₐ₳Ɽ💔
keluarga macam apa ini,,semmua penghuninya g beres..sabar sabar y Anita Amira
2025-04-15
0
Nailott
ayo anita,serang Arman ,pilih mana salma atau amira
2025-04-26
0
Hanipah Fitri
keluarga toxic seperti ini
2025-04-09
0