Bagian 2 Persiapan Sebelum KKN

Sepanjang perjalanan, aku dinasehati oleh Pak Rahman mengenai tindakanku yang dirasa kurang sopan. Menurutnya tidak baik untuk memilih-milih tempat, egoisme yang ada di lingkungan perkotaan harus ditinggalkan. Pak Rahman sebenarnya tidak tahu, bukan masalah tempat itu usang, jelek ataupun gubuk sekalipun. Namun aura, perasaan mencekam dan juga makhluk tak kasat mata yang ada di rumah tua itu yang membuatku takut. Tapi apa daya, kalau sekalipun aku memberitahukan yang sebenarnya, kurasa Pak Rahman tak akan percaya dengan apa yang sebenarnya terjadi.

Tidak terasa hari menuju KKN tinggal 7 (tujuh) hari lagi, hari ini Pak Rahman meminta kami untuk datang ke kampus dan bertemu kembali, selain untuk mengakrabkan diri, maksud dan tujuannya ialah agar memberitahukan barang-barang apa saja yang harus dibawa ketika KKN. Aku mendapatkan bagian membawa setengah kilo beras, galon air dan juga penggorengan, teman-teman yang lain juga mendapatkan bagiannya masing-masing.

Waktu terasa begitu cepat berlalu, hingga akhirnya hari dimana kami semua akan diberangkatkan menuju tempat KKN tiba. Aku diantar oleh Mama yang menyempatkan dirinya untuk datang ke ke kostku bersama dengan salah seorang Tanteku. Setelah acara berpamitan selesai, aku beranjak memasuki Mobil Bus kelompok kami. Pak Rahman terlihat mendata satu persatu peserta KKN, wajahnya terlihat berkerut. Ia tampaknya sedang sibuk dan kemudian berkata, "Ahmad Romli!!!" ujarnya sembari teriak.

Kami saling tengok, rasanya nama itu adalah salah seorang peserta KKN yang sampai pada saat ini aku juga belum tahu yang mana orangnya. Feranda yang duduk di depanku kemudian bertanya, "Ahmad Romli itu anak yang tidak pernah masuk, bukan?" tanyanya sekali lagi.

"Iya ... temannya Endy anak Teknik!" ujarku pelan.

"Coba kamu tanya, Han! Sama si Endy, kemana itu temannya! Kasian Pak Rahman dari tadi mukanya kusut!" saran Feranda.

"Oke deh ...!" Aku kemudian mendekati Endy dan bertanya kepadanya, "En!!" sapaku pelan.

Endy segera menoleh dan kemudian bertanya, "Ya kenapa, Han?" tanyanya penasaran.

"Itu Ahmad Romli kemana, En? Pak Rahman nyariin tuh!"

"Hmm ... aku juga kurang tau, Han! Anaknya tidak bisa dihubungin dari sebelum KKN, aku juga belum ketemu dengannya sampai saat ini! Tapi coba aja tanya ke yang lain, dia itu biasa dipanggil Jawir sama anak-anak yang lain." balas Endy sembari mengaruk kepalanya. Ia tampak binggung juga dengan keberadaan Jawir saat ini.

"Okelah kalau begitu!" Aku kemudian mendekati Pak Rahman. Aku berniat untuk membantunya mencari keberadaan Jawir, karena bus ini tidak akan berangkat kalau para peserta KKN belum lengkap.

Pak Rahman kemudian mengajakku untuk mencari keberadaan Jawir. Tindakan yang kami lakukan adalah mencari keberadaan Jawir di kelompok lain dengan harapan makhluk satu ini cepat segera ketemu.

'Belum dimulai KKN saja ini anak sudah bikin repot', batinku.

Setelah memakan waktu sekitar 15 (lima belas) menit, akhirnya kami mendapati nama Abdul Romli alias Jawir berada di kelompok 25 (dua puluh lima), ternyata nama Ahmad Romli juga ada di kelompok 25 (dua puluh lima) ini, tampaknya telah terjadi kesalahan input data oleh pihak panitia KKN. Pak Rahman kemudian melakukan negosiasi kepada DPL dari kelompok 25 (dua puluh lima). Bapak DPL itu menjelaskan kalau mereka sebenarnya sudah kelebihan peserta KKN dan Abdul Romli ini adalah peserta ke 13 (tiga belas) dari 12 (dua belas) peserta KKN yang semestinya. Setelah negosiasi selesai, DPL kelompok 25 (dua puluh lima) mempersilahkan Jawir alias Ahmad Romli ini untuk kembali ke kelompok KKN kami.

"Kau ini bikin repot saja!" balasku ketus.

Jawir hanya diam sembari mengangkat tasnya dan kemudian masuk ke bus KKN kami, kendaraan ini pun bergerak dan mulai meninggalkan parkiran kampus menuju ke tempat KKN. Tersirat senyum sumringah dari para peserta KKN, kecuali aku. Aku paham benar dengan tidak bersahabatnya lokasi tersebut, namun apa mau dikata semoga saja 40 (empat puluh) hari ke depan semuanya berjalan mulus tanpa halangan.

Hari Ke- 1 (satu)

Bus besar ini akhirnya tiba di desa yang dimaksud, seperti sebelumnya letak dari desa ini cukup jauh dari jalan besar memakan waktu sekitar 30 (tiga puluh) menit lebih, agar bisa sampai ke desa yang cukup terpelosok ini. Pemandangannya indah, dikelilingi perkebunan sawit, sawah, sungai yang mengalir dan penduduk yang ramah. Banyak warga yang menyapa kedatangan kami ke desa tersebut dengan sambutan yang ramah. Mereka tersenyum senang ke arah bus kami yang memulai memasuki desa tersebut.

Aku segera turun dari mobil, mengarahkan teman-teman yang lain untuk mengangkat barang-barang untuk diletakkan di depan pintu masuk rumah. Aku, Endy, Dwi, Tony dan Jawir memindahkan barang-barang ke dalam. Aku mengambil kunci rumah di dalam kantong celanaku yang sebelumnya kunci ini telah diberikan oleh Pak Kades tempo hari ketika kami mengecek rumah ini.

Aku paham benar, apa yang dipikirkan pertama kali oleh para wanita dari kelompok ini. Mereka tampaknya cukup risih dengan keadaan rumah yang cukup kotor. Namun mau bagaimana lagi, rumah ini memang sudah lama tidak dihuni oleh manusia, 2 (dua) tahun menurut Pak Kades, tapi menurutku lebih dari itu.

Tindakan pertama yang kami lakukan adalah mengadakan kebersihan setelah memasukkan barang-barang ke dalam rumah. Aku, Feranda, Jawir dan Toni kebagian salah satu kamar untuk dibersihkan, sedangkan yang lain sudah dibagi-bagi untuk membersihkan ruangan yang lain. Aku memegang sapu pada saat itu, Tony memegang kain pel dan Endy membawa ember berisi air. Jawir dan Feranda merapikan beberapa bantal dan tas yang mulai di tata di dalam kamar. Sekilas mengenai Jawir, ia adalah seorang pria berumur sekitar 23 (dua puluh tiga) tahun pada saat itu, jauh lebih tua dariku. Ia ternyata baru menikah, hal ini terlihat dengan henna di tangannya yang masih terlihat baru, menandakan bahwa usia pernikahannya belumlah terlalu lama, kepribadian anak ini boleh dibilang cukup sompral, mulutnya ceplas-ceplos, dan sok tahu. Aku sebenarnya tidak terlalu ambil pusing dengan tindakannya tersebut selama tindak menganggu kehidupanku.

Aku mendekati lemari tua yang berada di tengah ruangan kamar ini, lemari ini membuatku penasaran, karena pintunya tiba-tiba terbuka sedikit padahal tidak ada siapapun yang menyentuh lemari tersebut dan angin pun dirasa tidak bisa lewat di kamar ini yang memang minim ventilasi. Aku membuka pintu lemari itu pelan-pelan, hingga kemudian terdengar suara benda yang terjatuh, 'Pluk'

'Benda apa ini' batinku dalam hati.

Jawir, Tony dan Feranda ternyata sudah berada di belakangku. Jawir yang sompral tiba-tiba saja langsung merebut benda itu dan menariknya keluar. Apa yang ada di hadapan kami saat ini adalah sebuah bungkusan kecil terbungkus kain putih khas kain kafan dan terdapat suatu lekukan yang menonjol, setelah diperhatikan secara seksama, ternyata itu adalah gagang dari sebuah keris. Benda yang dibungkus oleh kain putih adalah keris berukuran kecil panjangnya tidak lebih dari 10 (sepuluh) centi meter yang ketika balutannya dilepas, maka terlihatlah sarung keris berwarna kuning yang terbuat dari perunggu.

"Hehe ... menarik!" ujar Jawir.

Aku yang melihat tindakannya segera merebut keris itu dan berkata, "Sudahlah ... benda itu ada disini.  Kau kembalikan saja ke tempatnya!" ucapku. Aku paham benar dengan apa yang kulihat, tampaknya benda ini adalah barang kepunyaan pemilik rumah.

Jawir yang melihat aku merebut benda tersebut hanya tersenyum dan kemudian ngeloyor pergi. Feranda akhirnya bertanya kepadaku, "Memangnya itu apa, Han?"

"Oh ... itu ada keris!" jawabku datar.

"Punya siapa?" tanyanya kepadaku.

"Entahlah, mungkin punya pemilik rumah!" balasku cepat.

"Hiii ..." ia pun kemudian meninggalkan aku dan Tony yang masih sibuk membersihkan ruangan tersebut.

Endy kemudian berteriak dari ruangan yang berada di seberang kamar ini. Rumah ini memiliki 6 (enam) bagian. Bagian pertama adalah ruang tamu, bagian kedua adalah garasi, bagian ketiga adalah kamar yang kami tempati sekarang dan kamar sebelah yang terkunci rapat, sisanya adalah dapur yang tersambung langsung ke kamar mandi di pintu samping rumah. Bagian lantai dua rumah ini belum kami tempati, karena anak-anak masih takut untuk tinggal di lantai dua karena menurut mereka cukup seram.

Endy memanggilku dengan setengah berteriak, "Han!!" ujar Endy.

Aku, Tony dan Jawir segera mendekat ke arah Endy, "Ada apa, En?" tanyaku penasaran.

"Lihat nih! Rumah ini ternyata ada sumur di dalam rumah." Endy kemudian menunjukkan bagian yang tertutup oleh kayu berbentuk bulat dan menggesernya perlahan-lahan. Apa yang kami lihat adalah sumur yang memiliki air yang cukup jernih.

Tony bukan memperhatikan sumur tersebut. Ia malah menunjuk tepat ke arah belakang sumur tersebut, "Hmm tangga ini mengarah ke lantai dua kan ya?" ujarnya pelan. Ia tampaknya penasaran dengan tangga yang menuju ke lantai dua.

"Tampaknya iya!" jawabku datar.

Tony sebenarnya tak pernah tahu, kalau sepasang bola mata berwarna merah kini tengah memperhatikannya dari balik pintu.

Bersambung

 

 

Terpopuler

Comments

SHUT

SHUT

Promo izin ya
*Black Magic
*My second life ( hidupku yang ke dua)

klik profile ku atau search saja

2020-03-19

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!