Alex dan Edward sudah cukup lama tenggelam dalam obrolan topiknya tak jauh-jauh dari musik. Suasana di dalam toko seolah hanya milik mereka berdua. Gelak tawa ringan dan antusiasme mereka membuat Bella merasa tersisih. Ia pun memilih menjauh pelan-pelan dan berpura-pura tertarik melihat barang-barang promo di rak sebelah. Namun, sesekali matanya tetap mencuri pandang ke arah Alex. Entah mengapa, ada sesuatu yang berbeda ia rasakan dalam hatinya perasaan yang belum pernah muncul sebelumnya.
Tak terasa waktu merambat cepat. Jam sudah menunjukkan pukul empat sore ketika Edward memanggil adiknya.
"Bel, ayo pulang!" serunya.
Alex menoleh dan bertanya, "Sebenarnya kalian ke sini mau beli apa, sih?"
Edward menjawab santai, "Aku lagi cari efek gitar yang original. Tapi kayaknya belum ada diskon, harganya masih normal."
"Memangnya berapa harganya?" tanya Alex dengan alis sedikit terangkat.
"Kalau yang kualitasnya bagus, sekitar 1230 dolar."
Alex mengangguk pelan. "Emang sepenting itu buat kerjaanmu?"
"Menurutku sih, penting banget," jawab Edward mantap.
Alex tersenyum kecil, lalu berkata, "Kalau gitu, tunjukkan padaku di mana letaknya. Aku mau beliin untukmu."
Edward langsung mengangkat tangan, menolak dengan gugup. "Eh, enggak usah, Lex. Nanti aja, aku masih nunggu promo. Siapa tahu harganya bisa turun."
"Nunggu promo enggak jelas kapan, bisa aja lima tahun lagi," ujar Alex sambil tertawa kecil, lalu menarik tangan Edward dengan santai. "Ayo, tunjukin di mana letaknya."
Edward sempat ragu, tapi hatinya tidak kuasa menolak. Toh, ia memang sudah lama menginginkan efek gitar itu. Dan kini, benda itu akhirnya menjadi miliknya.
"Thank you, Lex... rasanya ini terlalu berlebihan. Aku jadi enggak enak hati. Gimana aku harus membayarnya? Lagi pula, kamu sendiri enggak beli apa-apa di sini."
Alex hanya mengangkat bahu santai. "Bayarnya gampang. Ajarin aku main musik aja, itu cukup."
Edward tersenyum heran. "Serius? Kamu cuma lihat-lihat tadi, bahkan baru tahu ada toko musik di sini."
"Iya. Tapi sekarang aku jadi tahu, dan dapat teman baru yang jago main musik. Win-win lah."
Alex menepuk bahu Edward dengan ringan. "Oke, Ed. Aku juga mau pulang. Yuk, kita keluar bareng."
Mereka pun meninggalkan toko musik itu bersama. Di lobi depan, Alex menoleh dan bertanya, "Kalian ke sini naik apa? Mau aku antar pulang?"
Edward langsung menggeleng. "Enggak usah repot, Lex. Aku naik motor sama Bella."
Alex tersenyum, lalu menjabat tangan Edward. "Sekali lagi, senang bisa ketemu kamu hari ini. Kalau kamu main musik dan butuh partner, kabari aku, ya."
"Siap, pasti. Eh, nomor WhatsApp kamu berapa?"
Mereka pun saling bertukar nomor, menandai awal dari pertemanan yang tak disangka-sangka.
Sementara itu, Bella sejak tadi hanya berdiri sedikit menjauh, namun pandangannya tak lepas dari Alex. Ia memperhatikan setiap gerak-gerik pria itu, seakan menyimpan sesuatu dalam diam.
Ketika Edward menyalakan motor dan bersiap pergi, Bella tiba-tiba menahannya.
"Tunggu, Bang. Itu... Kak Alex kayaknya nyetir ke arah kita."
Benar saja, mobil Cadillac hitam milik Alex melaju pelan ke arah gerbang keluar, melewati tempat mereka berdiri. Kaca mobilnya terbuka, dan Alex melambaikan tangan sambil membunyikan klakson ringan.
"Hati-hati di jalan!" serunya, disertai senyum lebar yang memancarkan karisma.
Senyum itu entah kenapa membuat jantung Bella berdetak lebih cepat dari biasanya.
‘Perasaan apa ini...?’ batinnya resah, menatap mobil Alex yang semakin menjauh, namun meninggalkan kesan yang belum bisa ia pahami.
___
Mobil melaju menuju perumahan elite. Sampai tiba didepan pagar rumah mewah yang terbuat dari besi dan kayu solid. Pagar tersebut memiliki tinggi sekitar 3 meter dan dihiasi dengan tanaman hijau yang rapi. Di sebelah kiri pagar, terdapat pos security.
Mobil meluncur perlahan-lahan menuju gerbang rumah. Security tersebut segera mengangkat radio komunikasi dan berbicara dengan seseorang di dalam rumah.
Setelah beberapa detik, gerbang pagar terbuka secara otomatis, dan mobil tersebut memasuki halaman rumah. Security tersebut mengucapkan salam kepada Alex
Mobil meluncur perlahan-lahan menuju garasi rumah, yang terletak di sebelah kanan bangunan utama. Setelah mobil memasuki garasi, gerbang pagar tertutup secara otomatis, dan security tersebut kembali memantau keamanan sekitar.
___
Sekitar empat puluh menit kemudian, Edward dan Bella tiba di rumah. Edward langsung membawa efek gitar barunya ke dalam kamar. Rasanya seperti mimpi benda yang selama ini hanya bisa ia impikan, kini resmi jadi miliknya. Gratis pula. Ia menatap kotaknya lama, seolah belum percaya.
“Terima kasih, Tuhan,” gumamnya lirih. “Dan... terima kasih, Alex. Orang kaya, tapi hatinya enggak di atas awan.”
Langit mulai meremang. Waktu menunjukkan hampir pukul lima. Saatnya Edward bersiap untuk berangkat ke kafe. Semua alat musik bandnya sudah ada di sana tinggal membawa gitar listrik kesayangannya yang kini semakin lengkap berkat tambahan efek baru.
Ia keluar kamar sambil menggendong ransel. "Bel, ayo berangkat!" panggilnya.
Bella keluar dari kamarnya, masih mengenakan daster, rambutnya pun masih digerai seadanya.
"Lho, kamu kenapa belum siap?" tanya Edward heran.
Bella menunduk sedikit, lalu tersenyum manja. "Bang, hari ini aku nggak ikut, ya."
"Hah? Kenapa? Kamu sakit?" Nada suara Edward berubah khawatir.
Bella menggeleng pelan. "Enggak, cuma pengin libur aja. Please... please... kasih aku cuti sehari."
Edward tertawa kecil. "Ya udah, kamu istirahat aja di rumah."
"Oh iya, bekal sama vitaminnya udah aku masukin ke ranselmu. Tadi juga aku bikin pastel ayam, tolong dibagi ke anak-anak band, ya."
Edward melongo sejenak, terharu. "Siap, chef Bella!"
Sambil berjalan ke pintu, Edward menoleh sambil menunjuk ke arah kamarnya. "Eh, Bel... efek gitar yang tadi, tolong jangan disentuh dulu. Tunggu yang punya pulang kerja, ya!" candanya sambil nyengir lebar.
Bella mencibir gemas. "Huh! Siapa juga yang mau utak-atik! Inget, itu hasil traktiran!" katanya sebelum kembali masuk dan menutup pintu kamarnya.
Edward tertawa lepas. "Dasar bocah!"
"Bell, aku berangkat dulu ya! Jangan lupa kunci pintunya dari dalam!" serunya sambil melangkah pergi.
---
Di dalam kamarnya yang sunyi, Bella berbaring menatap langit-langit. Hatinya masih tertinggal di toko musik tadi. Bukan karena alat-alatnya. Tapi karena... seseorang.
“Kenapa aku terus kepikiran cowok tadi, sih?” batinnya gelisah.
Ia bangkit dan mengambil benda yang selalu bisa diandalkan untuk menuang isi hati: buku diary kesayangannya.
Lembaran baru dibuka. Pena di tangan pun mulai menari.
---
Dear Diary...
Hari ini, aku bertemu seseorang yang... entah bagaimana, rasanya sulit dilupakan.
Namanya Alexander.
Dia seperti karakter utama di novel-novel favoritku gagah, elegan, tenang... dan punya aura yang sulit dijelaskan. Tatapan matanya bikin jantung deg-degan, tapi bukan yang menyeramkan, lebih ke... bikin nyaman.
Dia bukan cuma ganteng, tapi juga sopan dan hangat. Pembawaannya dewasa, tapi enggak sok tua. Obrolan kami tadi walau singkat, rasanya menyenangkan banget. Aku bahkan sempat berpikir, aku bisa ngobrol sama dia seharian tanpa bosan.
Tapi... satu hal yang bikin aku ragu kami beda usia cukup jauh. Entahlah, masuk akal atau enggak, tapi aku takut berharap terlalu jauh. Apa mungkin ini cuma perasaan sesaat? Atau... aku memang sedang jatuh hati?
Yang jelas, hari ini... hatiku terasa hangat. Dan aku senang sekali bisa mengenal dia. ❤️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 140 Episodes
Comments