Arsa yang melihat nama ibunya muncul di layar segara menarik nafas panjang melalui hidung, lalu perlahan menghembuskannya lewat mulut. Tiga kali ia mengulang gerakan itu, menetralkan perasaannya sebelum akhirnya menerima panggilan sambungan video call dari ibunya.
Kata pertama yang ia ucapan hanya menayangkan kabar ibunya, disusul dengan menanyakan keberadaan ayahnya–apakah ayahnya sehat, sedang di mana dan bagaimana keadaannya? Setelah basa-basi dan mengobrol tentang kegiatan masing-masin. Menjelang akhir percakapan, ibunya menyuruh adik Arsa untuk menyampaikan sesuatu kepada kakaknya.
“Bilangi kakak.” ujar ibunya membalik kamera ke arah si adik.
Namun seperti biasa, adiknya yang dikenal pemalu hanya cekikikan kecil. Berkali-kali si ibu mengarahkan kamera ke wajah anak bungsunya, berharap ia berani bicara. Tapi si bungsu malah tertawa gugup dan berlari masuk ke dalam rumah. Arsa dan ibunya pun tertawa melihat tingkah lucu itu.
Sebelum telepon benar-benar berakhir, ibunya kembali membalik kamera dan memperlihatkan sepatu adik Arsa yang sudah rusak–penyebab utama permintaan tadi. Arsa hanya mengangguk dan tersenyum paham.
Arsa benar-benar dalam kebingungan keputusan mana yang dia ambil, jika dia punya uang lebih mungkin dia tak akan kebingungan memilih. Karena dia pasti akan memenuhi keinginan dan keperluan adiknya tanpa perlu melihat dan berpikir jauh kebutuhan siapa yang lebih penting.
Tiba-tiba sebuah bayangan masa lalu, muncul di pikiran arsa–teringat saat masih sekolah lalu berganti dengan bayangan adiknya. Beberapa saat bayangan itu hilang. Ia berharap bahwa adiknya jangan merasakan hal yang sama dengan dirinya semasa sekolah, Arsa tak ingin ada rasa minder atau tidak enak karena adiknya tak memiliki barang yang di miliki oleh temen-temen sekelas seperti dulu yang ia rasakan.
Kilasan-kilasan kecil itu muncul dengan sendirinya, ia langsung memilih membuka m-banking miliknya dan mengirimkan uang ke nomor rekening yang sudah tertera di ponselnya. Meski badannya ingin beristirahat namun pikirannya tidak. Ia berpikir-pikir puluhan kali sebelum mengirimkan nominal uang ke rekening ibunya, sebenarnya bisa aja Arsa minta ibunya untuk menambahi kekurangan untuk membeli sepatu adiknya, namun niat itu ia urungkan. Dia lebih memilih mengirimkan uang sekitar harga sepatu yang ditaksirkan ibunya.
Mengenai sepatu, sejujurnya harga sepatu tersebut sebenarnya tidak begitu mahal mungkin sekitar 150 ribu, itu harga yang murah sekali bagi orang-orang yang memiliki perekonomian cukup namun bagi Arsa harga sepatu tersebut cukup menguras isi dompet, ia tidak berbohong itu kenyataannya.
Arsa mengatakan demikian bukan satu alasan, karena memang pada saat itu sepatu yang ia pakai selama sekolah hanya seharga 70ribu rupiah, sepatu yang dibelinya selalu sepatu yang murah yang memiliki standar cepat rusak. Ia sebenarnya jarang membeli sepatu, karena terkadang tetangganya memberikan sepatu bekas anaknya, sampai baju seragam yang menurut ansa masih bagus untuk dipakai.
Arsa maupun ibunya tidak merasa di rendahan malahan Arsa merasa senang memiliki sepatu bekas, karena sepatu itu masih layak untuk di gunakan. Ia bisa menjamin harga satu barang yang temannya beli di toko ini sama dengan harga sepatunya dulu atau mungkin lebih mahal.
“Saa... gue udah beres. Lo udah nemu barang yang lo mau ? “ tanya Belleza menatap Arsa.
“Nggak, gue butuhnya baju.” Ucaonya pelan.
“Seriusan? lo nggak ngiler liat ginian, mana diskon gede-gedean.” tanya belleza kaget.
Arsa hanya menggeleng, tersenyum tipis dan membenarkan helaian rambutnya yang menutupi wajahnya.
“Ah... Lo giliran buku yang bikin gue mual, malah kalap beli ini itu.” balasnya heran menatap arsa tidak percaya.
“Kemana lagi, Zaa. Pulang?” tanya Arsa pelan.
“Nyari baju. Lo ga jadi beli? OMG, seriusan ini udah gelap.” ucap Belleza melirik ponsel.
“Oh iya, ayo.” ajak Arsa
Mendengar pertanyaan dari Belleza, ia sebenarnya enggan membeli barang di sini, bukan perhitungan namun jika dipikir-pikir akan sayang sekali membeli di sini. Tidak selang beberapa lama, setelah menang debat dengan pikirannya. Ia jadi membelinya, karena jika dipikir kembali kalau dirinya memesan baju online, sebenarnya bisa saja, namun itu akan membutuhkan waktu yang lama.Sedangkan bajunya sangat diperlukan secepatnya untuk interview.
Tepat saat menginjakkan kakinya di sebuah toko fashion itu, ia terkejut, papan papan label diskon terpajang begitu besar dan jelas di pintu masuk toko. Asa pikir nasib sedang berpihak kepada dirinya– kemeja putih yang ingin dia beli memiliki diskon dan di hari ini adalah hari terakhirnya. Harganya juga hanya 105 ribu rupiah, setara dengan harga novel yang sering dia beli di toko, ia melihat Belleza meyakinkan dirinya untuk membeli baju itu, mengatakan ini baju yang bermerek, bahannya nyaman dipakai, bahkan tidak transparan seperti baju-baju yang dirinya sukai.
Arsa telah yakin dengan pilihannya untuk membeli kemeja itu, bukan karena perkataan temannya, melainkan ia memang benar tahu kualitas baju dari merk itu.
“Menurut lo mending yang mana, Zaa?” tanya Arsa memamerkan baju pada Belleza
Belleza menoleh, ia keheranan karena dari penglihatannya kemeja yang Arsa perlihatkan sama saja, ia tampak berpikir, melihat kembali kedua pakaian yang Arsa tunjukan. Arsa hanya menunggu jawaban dari temannya namun temannya lama sekali merespon, Arsa ikut melihat baju yang ia tunjukkan kepada Belleza, akhirnya ia sadar, dan menggeserkan sedikit jemarinya yang menutupi size di area kerah kemeja yang dipegangnya. Belleza mengangguk melihat semuanya dengan jelas.
Belleza masih melihat kemeja itu, dirinya bahkan mundur untuk melihat dari jarak yang agak jauh. Alisnya sedikit mengerut berpikir sejenak, lalu Belleza menunjuk baju kemeja di sebelah kanan yang Arsa pegang. Setelah sebelumnya ia mengalihkan telunjuknya ke tangan sebelahnya.
Setelah mendapatkan saran dari temannya, Arsa kembali lagi melihat kemeja yang Belleza tunjuk, dirinya nampak tidak yakin. Menatap mata Belleza sesaat seolah mencari sesuatu di mata temannya. Belleza hanya mengangguk penuh keyakinan. Arsa tersenyum kecil lalu kembali melihat kemeja yang dipegangnya.
Arsa membawa pakaian yang telah dipilihnya lalu menyimpan kembali pakaian sebelahnya di tempat sebelumnya, dia membawa pakaian itu namun nampak tidak yakin, ia takut pakaiannya kecil, Belleza menyarankan pakaian dengan size S sementara biasanya ia membeli pakaian dengan size M.
Size yabg biasa dibelinya memang bukan ukurannya, tapi membuat dirinya nyaman, Arsa suka memakai baju yang lebih longgar.
Sedangkan Belleza ingin membantu temannya keluar dari zona nyamannya, contoh kecilnya temannya harus melakukan hal yang tidak pernah ia lakukan, seperti makan yang tidak pernah ia makan, memakai pakaian yang tidak pernah dipakai atau hal lainnya.
“udah, Arsa. Nggak perlu takut kekecilan, itu ukuran lo.” ucap Belleza menepuk pundak Arsa
“Ayo...” Arsa mengajak temannya mendekati kasir untuk melakukan pembayaran.
Arsa menyerahkan pakaian yang dibelinya kepada pekerja wanita di depannya, pekerja itu dengan sangat lihai melayani dengan baik, terlihat tangannya menscreen barcode di pakaian tersebut, melipatnya dengan rapi hingga mengambil paperbag dan memasukkannya. Sementara Arsa yang di depannya masih disibukkan mencari kartu ATM nya untuk melakukan pembayaran, ia tak melakukan lewat handphone karena batrenya lowbat lagi. Lengan Arsa masih terlihat sibuk mencari keberadaan ATM-nya, ia sampai merongga sela-sela kecil yang ada di tas kecil yang dipakainya, tak butuh lama akhirnya ia menemukan benda yang ia cari dan benda itu memang berada di sana, Arsa yang lupa meletakkannya tidak memasukkan ke dalam dompetnya.
Saat ia menyodorkan kartu ATM nya ia membulatkan matanya kaget oleh sikap temannya, pasalnya kemeja yang dibelinya sudah Belleza bayar lebih dulu, Arsa bahkan tidak menyadari paper bag yang berisi baju kemejanya sudah di tangan Belleza. Pekerja wanita itu tersenyum kepada Arsa dan Belleza. Mereka berjalan meninggalkan kasir dan Belleza menyerahkan paperbag yang diterimanya kepada Arsa.
“Nanti gue transfer, Zaa. “ucap Arsa
“No, itu buat lo.” balas Belleza tersenyum kecil.
"Tapi Zaa. Gue ga enak." tolak Arsa bingung
"Gpp Arsa. Lagian ga tiap hari juga, hehe. Itung-itung itu hadiah dari gue karena lo keluar dari zona nyaman.” balasnya tersenyum kecil.
Arsa sebenarnya ragu menerima paperbag dari sahabatnya, tersenyum–tertawa kecil mendengar perkataan dari sahabatnya. Keduanya meninggalkan toko dan bergegas untuk pulang karena hari yang sudah semakin malam. Mereka sama-sama mendengar sebuah pengumuman, dari diskon sampai pengumuman anak yang mencari-cari orang tuanya.
“Kenapa, Zaa?” tanya Arsa heran melihat sikap temannya.
Belleza mengadahkan pandangan dari ponselnya melihat Arsa, “Gpp Sa. Ayo.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments