Pagi yang cerah di pelataran rumah sakit tampak penuh dengan aktivitas. Gus Syakil duduk di kursi rodanya, mengenakan baju koko putih bersih dan sarung bermotif sederhana, melambangkan kesahajaannya meski hatinya penuh keraguan. Di sisinya, Ning Chusna berdiri dengan wajah yang menunjukkan kecemasan. Beliau tak henti-hentinya melirik jam di pergelangan tangan, berharap putranya mau diajak pulang.
"Sepertinya dia tidak datang," gumamnya pelan.
"Tunggu sebentar lagi, bund. kalau bunda buru-buru, bunda pergi dulu saja. Syakil akan menunggunya sebentar lagi." Gus Syakil tetap bersikukuh menunggu. Bibirnya bergerak pelan, melafalkan doa sambil menatap gerbang rumah sakit dengan penuh harap. Meski pertemuan dan pernikahannya dengan Sifa terjadi dalam situasi yang tidak biasa, ia merasa memiliki tanggung jawab untuk menunggu kedatangan istrinya.
Ning Chusna menarik napas panjang, "Syakil, Nak... ayo kita pulang saja. Mungkin dia tidak akan datang. Kita bisa bicara lagi nanti."
Gus Syakil tersenyum kecil, "Bunda, aku hanya ingin tahu bagaimana ia menepati janjinya, kita tunggu setengah jam lagi aja, bund."
Ning Chusna memandang Syakil dengan tatapan iba, "Tapi kamu baru saja keluar dari rumah sakit, Nak. Jangan terlalu memaksakan diri. Bunda hanya khawatir..."
Gus Syakil menatap Bundanya lembut, "Bunda, saya tahu ini semua sulit untuk kita terima. Tapi Sifa sekarang sudah menjadi bagian dari hidup saya. Jika saya tidak menunjukkan kesabaran dan kepercayaan, bagaimana saya bisa berharap dia akan berubah?"
Ning Chusna menghela napas lagi, menyerah pada tekad putranya. Ia duduk di kursi di dekat Syakil, melipat tangan di pangkuannya sambil terus melirik ke arah pintu rumah sakit.
Satu jam berlalu. Ning Chusna semakin resah, namun Gus Syakil tetap tenang. Hingga akhirnya, sebuah motor menderu memasuki pelataran rumah sakit. Di atas motor tersebut, seorang gadis dengan rambut pirang mencolok, pakaian kasual yang minim bahan, dan tas punggung besar turun dengan santai. Itu Sifa.
"Astaghfirullah hal azim," gumam Gus Syakil dan Ning Chusna bersamaan.
Sifa melangkah menuju Gus Syakil dengan gaya khasnya. Ia sama sekali tidak terlihat gugup atau ragu, meskipun penampilannya sangat kontras dengan suasana syahdu yang biasa melekat pada Gus Syakil. Ning Chusna menatapnya dengan campuran kaget dan tidak percaya, sementara Gus Syakil mencoba menyembunyikan keterkejutannya dengan senyum kecil.
Sifa mengangkat tangan dengan santai, "Hai, Mas! Maaf ya, telat. Macet di jalan."
Gus Syakil tersenyum kecil, "Alhamdulillah, kamu datang. Saya tahu kamu akan menepati janji."
Sifa mengangkat bahu, "Yah, janji ya harus ditepati. Lagian, nggak enak ninggalin suami sendiri, kan?"
Ning Chusna tidak bisa menahan diri, "Sifa, kamu tidak merasa perlu mengganti pakaian yang lebih... pantas? Kamu kan istri seseorang sekarang."
Sifa tertawa kecil, "Maaf ya, Bu Ning. Ini cuma baju yang saya punya. Lagian, saya pikir mas Syakil orangnya nggak ribet soal penampilan, iya kan, mas?"
Gus Syakil berusaha menenangkan suasana, "Bunda hanya ingin yang terbaik untuk kita, Sifa. Tapi tidak apa-apa, saya yakin semuanya bisa diperbaiki perlahan."
Sifa menatap Gus Syakil sejenak, lalu tersenyum.
"Mas, kalau kamu sabar sama aku, aku juga mau belajar. Tapi jangan terlalu berharap banyak ya, aku ini orangnya bebas. Sulit kalau harus diatur-atur."
Gus Syakil tersenyum bijak, "Perubahan itu butuh waktu, Sifa. Yang penting, kamu punya niat untuk belajar."
Ning Chusna hanya bisa menghela napas panjang, mencoba menahan komentar yang ingin ia lontarkan. Ia tahu, perjalanan rumah tangga putranya dan Sifa akan penuh tantangan, namun ia juga menyadari bahwa takdir memiliki caranya sendiri untuk mengubah manusia.
Dengan bantuan Ning Chusna, Gus Syakil menaiki mobil yang akan membawa mereka pulang. Sifa mengikuti dari belakang dengan motornya. Dalam hati, Ning Chusna terus berdoa agar putranya diberikan kekuatan dan kesabaran untuk menghadapi segala ujian yang ada di depan. Sementara itu, Gus Syakil duduk diam di kursi rodanya, menatap Sifa melalui kaca belakang mobil dengan perasaan campur aduk antara optimisme dan kekhawatiran.
Setelah beberapa saat akhirnya mereka tiba di sebuah rumah kecil dengan dinding bercat putih yang sudah mulai memudar. Halamannya sederhana, hanya dihiasi beberapa pot bunga plastik, itu adalah rumah sewa yang ditinggal Gus Syakil selama di Blitar.
"Maaf ya Syakil, bunda tidak bisa menemani Syakil lama." ucap Ning chusna setelah menurunkan Gus Syakil. Ia harus segera pergi untuk mengurus perceraiannya dengan sang suami.
"Tidak pa pa, bund. Jangan khawatir, lagi pula sekarang sudah ada Sifa." ucap Gus Syakil sambil melirik ke arah Sifa yang masih belum percaya dengan apa yang terjadi.
Ning Chusna pun menoleh pada Sifa, "Sifa, titip Syakil ya. Tolong jaga diam baik-baik, beritahu ku jika ada masalah."
Sifa tersenyum kecil, "Siap Bu. Sifa pasti akan menjaga mas Syakil dengan baik."
"Syukurlah."
Setelah itu Ning Chusna pun benar-benar pergi, ia tidak mau sidang perceraian nya berlarut-larut jika ia tidak datang ke persidangan. apalagi mengingat suaminya yang selalu mangkir saat persidangan.
Setelah kepergian Ning Chusna, Sifa memandang rumah itu dengan alis terangkat, dengan tangan yang memegang pegangan kursi roda milik Gus Syakil, "Ini rumahnya, mas? Rumah kamu?"
Gus Syakil tersenyum tipis, "Iya, ini rumah yang saya bisa sewa. Tidak besar, tapi cukup untuk kita tinggal sementara."
Sifa menatap rumah itu dengan ekspresi bingung, "Wah, beda banget sama rumah Papa. Aku nggak nyangka bakal tinggal di tempat kayak gini."
"Saya paham ini tidak seperti rumah orang tua kamu. Tapi, ini rumah yang nyaman untuk saya. Kita bisa mulai dari sini, Sifa." ucap Gus Syakil dengan tenang.
Sifa berdecak pelan, "Mulai dari sini, ya? Baiklah, aku coba. Tapi, Mas... beneran nggak ada yang lebih... besar?"
Gus Syakil tersenyum sambil menghela napas, "Sifa, rumah besar atau kecil tidak akan menentukan kebahagiaan kita. Kebahagiaan itu tergantung bagaimana kita menjalaninya bersama."
Sifa mengangguk pelan, meski dalam hatinya ia masih merasa canggung dengan keadaan ini. Ia membantu Gus Syakil dengan mendorong kursi rodanya masuk ke dalam rumah.
Rumah itu sederhana, hanya terdiri dari ruang tamu kecil, kamar tidur, dapur, dan kamar mandi. Tidak ada perabot mewah, hanya beberapa kursi kayu, meja kecil, dan lemari tua. Sifa masih memandang sekeliling dengan mata yang menilai.
Kini Sifa tengah bberdiri di tengah ruang tamu, "Jadi... kita bakal tinggal di sini berdua? Kamu yakin bisa nyaman di tempat kayak gini?"
Gus Syakil tersenyum hangat, "Sifa, rumah ini memang sederhana, tapi saya yakin kita bisa menjadikannya tempat yang penuh kebahagiaan. Kita bisa mulai menghiasnya bersama, menjadikannya lebih nyaman."
Sifa menghela napas, "Oke, oke... aku ngerti. Tapi aku nggak biasa tinggal di tempat kayak gini. Kamu harus sabar ya, mas, kalau aku masih sering ngeluh."
Gus Syakil mengangguk pelan, "Saya akan bersabar, Sifa. Saya juga ingin kamu mencoba menyesuaikan diri. Kita sudah memulai perjalanan ini bersama, jadi mari kita belajar saling memahami."
Malam itu, Sifa mulai membereskan barang-barangnya dengan sedikit enggan, sementara Gus Syakil duduk di kursi roda, mengawasi istrinya dengan penuh perhatian. Ia tahu, perjalanan ini tidak akan mudah, terutama mengingat perbedaan latar belakang mereka. "Semoga ini hanya bagian dari ujian." gumam Gus Syakil sebari menggelengkan kepalanya, ia masih tidak percaya akan berjodoh dengan seorang gadis yang jauh sekali dari orbitnya selama ini.
Di sisi lain, Sifa mulai merasa bahwa hidupnya benar-benar berubah. Meski ia belum sepenuhnya menerima keadaan ini, ada rasa penasaran yang tumbuh di hatinya—bagaimana seorang pria seperti Gus Syakil, dengan segala kesederhanaannya, bisa tetap tenang dan penuh keyakinan.
"Dia benar-benar sulit ditebak." gumam Sifa, "Kalau dilihat dari penampilannya, tidak mungkin kan dia sesederhana ini, ini membagongkan." gerutunya sembari memastikan tempat yang mungkin nyaman yang bisa ia tinggali.
Bersambung
Happy reading
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
Sri Murtini
itulah hidup ,syifa hrs tahan banting menjalani kehidupan baru dgn gus Syakil akan indah pada waktunya nduk
2025-01-01
1
fee2
sifa walaupun ugal ugalan menepati janji dan mau berusaha mencoba....
2025-02-03
0