Allarick membawa Reixa ke sebuah kedai bubur sederhana di dekat taman kota. Aroma kaldu hangat menyambut mereka, sementara suasana pagi membuat tempat itu terasa menenangkan. Gadis kecil itu langsung menyantap buburnya dengan lahap, seolah melupakan kenyataan pahit bahwa baru kemarin ia kehilangan kedua orang tuanya.
Namun di balik cengiran polosnya, mata Reixa tetap berkaca-kaca. Baginya, momen ini terasa begitu berharga. Allarick masih hidup. Neneknya belum datang untuk merusak keadaan. Tidak ada pertengkaran, tidak ada adu domba—hanya ketenangan sederhana yang belum pernah ia nikmati dalam siklus hidup sebelumnya.
Benar. Ini bukan saatnya untuk terus meratapi masa lalu. Ia harus fokus. Ia harus mencari cara agar tidak terjebak pada pola yang sama, mencatat poin-poin penting yang masih ia ingat. Dan yang terpenting: ia harus menemukan pria itu. Saverio Archandra—paranormal tuli yang pernah memperlakukannya seperti sahabat, bahkan lebih. Sosok yang mengisi kekosongan ayah dalam hidupnya. Kali ini, Reixa ingin menemukannya kembali. Ia ingin menjadi anaknya.
“Paman.” Suaranya pelan, tapi cukup untuk membuat Allarick menoleh. Sejak tadi, ia memperhatikan gadis kecil itu melamun sambil menghela napas berat, seolah bahunya menanggung beban yang bukan miliknya.
“Aku mau cari ayah baru.”
Allarick hampir menyemburkan minumannya. Ia menatap Reixa dengan wajah campur aduk, alisnya berkedut keras.
“Apa? Kau mau cari ayah baru?” tanyanya memastikan, setengah tak percaya. Bagaimana mungkin, baru kemarin kremasi kedua orang tuanya selesai, bocah ini sudah memikirkan hal seperti itu?
Tapi kemudian ia mengerti. Selama ini, ayah Reixa memang tak pernah benar-benar hadir. Bahkan sejak kandungan, iparnya itu tak pernah peduli pada anaknya sendiri. Dan sejak kecil, Allaricklah yang diam-diam mencoba mengisi kekosongan itu. Walau kakaknya sering memarahinya dengan alasan klise—anak perempuan tidak boleh terlalu dekat dengan laki-laki dewasa, termasuk keluarganya sendiri.
Namun Reixa tetaplah seorang anak kecil yang butuh figur ayah. Sementara ayah kandungnya sibuk mengutamakan anak hasil perselingkuhan.
Reixa menatapnya dengan mata bulat polos, lalu tersadar akan ucapannya sendiri. Cengiran kuda pun meluncur di wajah mungilnya sebelum ia kembali menyuapkan bubur.
“Aku salah sebut,” katanya cepat. “Maksudku… Paman mau jadi waliku, kan? Aku tidak mau bersama nenek.”
Nada memelas itu menampar hati Allarick. Insting Reixa benar—semuanya memang selalu berawal setelah kematian ibunya. Ibunya yang sejak awal tidak pernah disukai oleh keluarga besar. Dan kali ini, bocah itu dengan jujur meminta perlindungan darinya.
Allarick menghela napas panjang. Ia tahu betul keluarga iparnya tidak pernah menganggap kakaknya pantas, dan mereka hanya mengincar harta. Apalagi ada asuransi besar yang ditinggalkan. Ia tidak ingin uang itu jatuh ke tangan yang salah. Dan ia tahu, mereka bisa melakukan apa pun demi mendapatkannya—termasuk mengeksploitasi Reixa.
“Baiklah,” jawab Allarick akhirnya, menatap lurus pada bocah itu.
Reixa sontak menyunggingkan senyum sumringah. “Terima kasih, Paman!”
Untuk pertama kalinya setelah sekian banyak kehidupan, Reixa merasa masih ada harapan.
—✳️—
Reixa menepuk-nepuk perut mungilnya yang sudah membuncit, lalu bersendawa kecil dengan wajah puas.
Allarick yang duduk di depannya hanya bisa menatap dengan senyum tipis, tapi jelas tersinggung. Matanya mendelik ketika pandangannya jatuh pada tiga mangkok bubur kosong yang berjejer di atas meja.
“Wah… kau benar-benar melahap tiga mangkok bubur sekaligus? Perutmu itu perut karet, ya?” Allarick berdecak, suaranya penuh ejekan.
Reixa langsung memicingkan mata, tatapannya menusuk penuh kebencian.
“Hey! Jangan mengejekku, Paman. Aku ini masih dalam masa pertumbuhan, tahu!” serunya kesal sambil membuang muka.
Namun, senyum simpul diam-diam mengembang di bibirnya. Sudah lama sekali tidak ada orang yang mengomentari cara makannya. Baik mendiang ibunya maupun neneknya, keduanya tidak pernah peduli—atau lebih tepatnya, selalu membatasi.
Ibunya dulu berkata bahwa perempuan tidak boleh makan banyak, nanti akan jadi gendut. Dan di kehidupan pertamanya, Reixa benar-benar mati muda di usia tujuh belas tahun—karena anemia dan gizi buruk.
Di kehidupan kedua hingga seterusnya, ia belajar makan diam-diam. Sedikit di hadapan neneknya, lalu menghabiskan sisanya di kamar. Kalau di luar rumah, barulah ia bisa bebas melahap apa saja yang ia mau.
Jika dipikir-pikir lagi, neneknya selalu saja membatasi uang sakunya. Itu sebabnya Reixa memilih kabur, bekerja paruh waktu untuk bertahan hidup. Tapi ada hal aneh—meski ia kabur, uangnya selalu saja bertambah dari bulan ke bulan.
Mungkin… Allarick yang diam-diam membantunya. Meski begitu, sikap pria itu tetap saja sering membuatnya kesal setengah mati.
Allarick terkekeh, matanya berkilat geli melihat reaksi Reixa. Tanpa banyak bicara, ia berdiri dan membayar pesanan mereka.
“Setelah ini kau mau ke mana?” tanyanya sambil menyimpan dompet ke saku.
Sorot mata Reixa langsung berbinar. Dengan cepat ia mengeluarkan jurus pamungkasnya—pura-pura manis.
“Paman, aku mau jalan-jalan. Boleeh, ya…? Pleaseee… Aku janji nggak lama, kok.”
Allarick menarik napas panjang, lalu menggeleng tak berdaya. “Baiklah.”
“Yeay! Terima kasih, Paman. Kau memang yang terbaik!” seru Reixa melonjak riang.
Allarick menatapnya dengan hangat, tapi tatapan matanya penuh kewaspadaan. Jika benar mimpi itu akan menjadi nyata, ia harus bersiap mulai dari sekarang. Dan untuk saat ini, ia ingin bersantai sejenak.
—✳️—
Setelah puas berjalan-jalan, Reixa akhirnya pulang ke rumah bersama Allarick. Gadis kecil itu langsung menjatuhkan tubuh mungilnya ke sofa, bersandar dengan senyum puas yang masih melekat di wajahnya.
“Paman, terima kasih untuk hari ini,” ucapnya sambil menguap kecil, suara lembutnya terdengar dewasa untuk ukuran anak sepuluh tahun. “Berkat Paman, aku merasa jauh lebih baik.”
Allarick menatapnya lama, lalu tersenyum tipis. Namun dalam hati ia tidak bisa mengabaikan cara bicara Reixa—begitu matang, begitu berbeda dari anak-anak sebayanya. Mungkin karena sejak kecil ia tak pernah benar-benar dipeluk hangat oleh orang tuanya, hingga kehilangan mereka membuatnya harus cepat dewasa.
Dan mungkinkah itu alasan kenapa Reixa begitu mudah terhasut? Tangki cintanya kosong sejak lama, dibiarkan hampa tanpa kasih sayang. Jika benar begitu, maka Allarick bersumpah akan mengisinya—agar gadis kecil itu tidak lagi menapaki masa depan yang suram.
Ia lalu mendekat dan duduk di sebelah Reixa.
“Reixa,” ucapnya hati-hati, “kalau kau tidak keberatan… maukah kau tinggal denganku?”
Reixa menoleh, menatapnya dalam diam. Dulu, di setiap kehidupannya, ia selalu menolak uluran tangan pamannya. Namun kali ini… ia ingin mencoba. Ia ingin percaya pada pria yang meski keras kepala, selalu ada di sisinya.
“Apa aku boleh tinggal bersama Paman?” tanyanya pelan.
Allarick mengangguk mantap.
“Baiklah, Paman. Aku mau tinggal bersama Paman.”
Senyum tipis terbit di bibir Allarick. Tangannya terulur, menepuk lembut pucuk kepala Reixa—sebelum tiba-tiba berubah menjadi seringai nakal. Tanpa peringatan, ia mengacak-acak rambut ash green keponakannya sampai kusut tak karuan.
“Kyaaa! Jangan acak-acak rambutku, Paman sialan!” jerit Reixa, wajahnya merah padam menahan geram.
Allarick hanya tertawa terbahak-bahak, segera berlari menghindari kejaran bocah itu. Bagi Allarick, tidak ada yang lebih menyenangkan daripada melihat Reixa marah-marah dengan wajah imutnya.
Suasana rumah yang tadinya dingin, kini dipenuhi tawa dan teriakan kecil—seperti akhirnya menemukan arti sebuah keluarga.
Namun tanpa mereka sadari,sebuah asap hitam tipis keluar dari kotak abu milik ayah Reixa. Asap itu berkumpul di atas kotak sebelum hilang dari sana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments
Triani Sutriani
hihi, lucu kamu Rei
2025-01-21
1