Kebun Durian

Aku berjalan menyusuri lorong tanah setapak, menggenggam parang tua di tangan kanan, ransel kecil berisi perbekalan di punggung, dan tas kecil berisi catatan di pundak kiri. Di sisiku, kakek melangkah mantap, meski tubuhnya ringkih, semangatnya tak pernah surut. Setiap langkahnya berirama, seolah irama lagu masa lalu yang menemani biji durian tumbuh sejak puluhan tahun lalu.

“Kau ingat caranya, Boni?” tanya kakek, suaranya serak tapi tegas.

Aku mengangguk, menoleh padanya. “Ingat, Kakek. Potong pada pangkal tangkainya, jangan sobek meski buahnya terkulai berat.”

Sekonyong-konyong, kakek berhenti dan menepuk batang pohon di depannya. Daun-daun bergoyang pelan, menebarkan aroma harum yang khas, cukup manis untuk membelai ingatan lamaku, cukup tajam untuk mengimbas kenangan kelam beberapa hari lalu.

“Pohon ini yang paling tua.” ujar kakek. “Usianya hampir lima puluh tahun. Ditanam waktu kakek dan ayahmu masih muda.”

Aku menatap batangnya yang menebal, kulit kayu berkerut seperti wajah tua yang bersahaja. “Durian ini yang paling manis,” kataku pelan. “Kakek dulu panen sendiri setiap musim.”

Kakek mengangguk. “Ya, dulu aku dan ayahmu memanen bersama. Kau masih kecil waktu itu. Kini, saatnya kau menggantikanku.”

Kupandangi mata kakek yang sayu—terpancar kebanggaan dan getar kelelahan. Aku menghela napas lalu melangkah maju. Kuposisikan parang di pangkal tangkai buah bergantung rendah. Dengan satu ayunan, tangkai terpotong halus. Buah seberat hampir sepuluh kilogram itu jatuh ke atas tikar daun kering, berguling perlahan. Bunyi gemerisik pecahan daun bergema, menggetarkan udara pagi.

“Bagus.” puji kakek. “Sekarang serahkan padaku untuk membukanya.”

Kupaparkan buah dengan hati-hati di sisi akar, lalu kakek menancapkan pisau pendek di celah kulitnya. Tangan penuhnya bergetar sedikit, hasil dari latihan puluhan tahun. Dengan gerakan terukur, kulit durian yang berduri terbelah tiba-tibaaroma kental menyeruak, menusuk hidung dengan manis tak tertahan. Kakek merentangkan ujung pisau, memisahkan dua belahan, lalu mengangkat satu petak ke bibir. Pelan, ia mencelupkan ujung bibirnya, menari-nari rasa manis dan lembut di lidahnya.

Aku mengamatinya, merasakan kehangatan yang tumpah. “Rasanya… sempurna.” bisikku.

Kakek tersenyum, matanya berkaca-kaca. “Inilah hasil kerja keras tanah dan manusia. Setiap tetes keringat memberi makna.”

Aku menyalin beberapa baris catatan tentang kategori buah yang matang sempurna, setengah matang atau kurang matang, lalu menandainya dengan simbol bintang akrilik di catatan. Rencana musim panen kali ini harus lebih terstruktur tentang pendataan jumlah pohon, estimasi kilogram dan catatan kualitas. Ini bukan hanya tentang memetik buah, tapi juga tentang menjaga warisan yang lebih Dalam daripada sekadar duri tajam.

Setelah memanen tiga buah di pohon pertama, kakek membimbingku ke pohon berikutnya. Jalan setapak sedikit menanjak, pohon bertambah rapat. Di antara dedaunan, sinar mentari menembus tipis, menciptakan bayangan kembang-kembang cahaya di tanah. Burung pipit berkicau riang, dan sesekali lebah berdengung mendekati bunga durian yang belum mekar.

“Kita harus cek tiap pohon.” ujar kakek. “Musim ini, kita targetkan minimal dua buah per pohon untuk dijual premium.”

Aku menatap barisan ratusan pohon berdiri kokoh—sebuah kebanggaan keluarga. Sejak masa kakek, lahirlah tetesan air mata pada musim paceklik, tawa bahagia kala masa panen berlimpah, dan kini, tantangan baru dihadang: rencana pengambilalihan lahan oleh Kepala Desa. Tapi kakek tak pernah mengatakan itu di sini. Di kebun ini, hanya ada kita, tanah dan durian. Semua masalah dunia luar bagai hilang, tergantikan suara alam dan kerja tangan manusia.

Kami tiba di pohon kedua, di mana empat buah menggantung rendah. Kuposisikan buah satu demi satu, memotong pangkal tangkai, menatanya di tikar anyaman yang kakek bentangkan. Satu… dua… tiga… empat. Kakek mendekat dan memeriksa kualitas setiap potongan, lalu menanda buah yang terlalu muda atau terlalu tua. Beberapa masuk kategori dua bintang, sebagian tiga bintang.

“Bagus sekali, Boni.” puji kakek. “Kau tumbuh jadi petani durian yang terampil.”

Hati tergetar. Lima tahun merantau, aku mungkin kehilangan banyak hal tentangwaktu bersama keluarga, rasa kebersamaan di desa, aroma lembab tanah kebun durian, namun semua itu terbayar lunas di momen seperti ini. Aku merasa menjadi bagian dari sesuatu yang besar: rantai kehidupan yang menghubungkan masa lalu dan masa depan.

“Kakek.” aku memanggil pelan, “apa kau yakin kita bisa mempertahankan kebun ini?”

Kakek menatap langit yang mulai cerah, awan tipis berarak memediasi cahaya. “Tentang itu, cucuku, kita hanya bisa berusaha. Kelak, generasi berikutmu yang akan memutuskan.”

Aku mengangguk, lalu menatap batang pohon di depan kami. Batang itu setebal satu lengan besar, kulitnya menua seperti cerita panjang. Berikutnya, aku mengulurkan parang ke arah batang, mengangkat mata ke kakek. “Kisah kita akan terekam di kulit pohon ini, kakek. Aku ingin anak cucuku nanti tahu bahwa kita pernah berjuang demi durian.”

Senyum kakek merekah, lalu ia menepuk pundakku. “Dan kau akan simpan catatan ini, tak hanya dalam pikiran, tapi juga di blog desa untuk generasi mendatang.”

Kami tertawa pelan, lalu melanjutkan panen. Setiap buah dipetik dan ditata rapi di atas tikar, siap dibawa ke posko Pengawal Duren untuk dijual atau disimpan. Sambil bekerja, kakek bercerita tentang masa lalunya: bagaimana ia belajar bercocok tanam dari orang tua tetangga, bagaimana ia merontokkan air mata ketika musim hujan yang berkepanjangan membuat buah tak matang, dan bagaimana ia bangkit kembali saat tahun 2004 ketika panen membukakan peluang ekspor pertam…

Cerita-cerita itu menari-nari di telingaku, menemani pagi yang hening. Aku mendengar suara parang memotong tangkai, suara buah terjatuh, dan suara napas kita—irama damai yang sayang dilewatkan oleh orang-orang yang mengejar gemerlap kota.

Ketika siang menanjak, matahari semakin terik. Kakek menyeka keringat di dahinya. “Kita sudah memanen 25 buah.” ujarnya sambil memeriksa kantong kain yang penuh. “Bagus. Cukup untuk sore ini. Ayo istirahat.”

Aku mengangguk, lalu mengangkat tas kecil. “Ada air kelapa di pondok sebelah, kakek.”

Kami melangkah ke pondok di tengah kebun terdapat gubuk bambu sederhana dengan bantal jerami dan sebuah meja kayu kecil. Di atas meja tergeletak beberapa kelapa muda. Kakek memecah kelapa dengan pisau pendek, menyerahkan satu ke tanganku. Uap segar meloncat ke udara ketika kelapa itu dibelah, menebarkan aroma manis dan sedikit asam yang menenangkan dahaga.

Aku menyeruput air kelapa, merasakan kesejukan menembus kerongkongan. Kakek melakukan hal yang sama, matanya menutup sejenak dalam kenikmatan sederhana. “Terkadang.” katanya pelan, “Kita lupa bahwa surga itu ada di sekeliling kita.”

Aku menatap debu yang menempel di lantai pondok, lalu menoleh ke kakek. “Surga durian, ya?”

Kakek tertawa pelan, suaranya nyaris bergema. “Surga durian. Kini kau sudah merasakan buahnya. Saatnya kau yang ajari anak cucumu memetiknya.”

Aku mengangguk, api semangat menular di dada. Namun di sudut pikiranku, terselip bayangan arus besar yang mengancam: rencana sawit Kepala Desa yang sempat kucium di rapat kecamatan. Tapi hari ini, kita berdiri di sini, di kebun durian, rumah dari jiwa kita. Dan selagi kita berkeringat, selagi parang menebas tangkai, selagi tenaga dan harapan merambat, surga durian akan tetap ada.

Pesan malam tadi dari Yuni pun terngiang: besok kita akan bentuk tim Pengawal Duren secara resmi. Dengan data dan strategi di tangan, kita akan hadang laju rencana sawit. Namun sebelum segala kerumitan itu tiba, aku ingin menikmati saat-saat ini tentang tangan menebas tangkai, aroma kelapa menyegarkan, dan suara kakek bercerita tentang masa lalu.

Ketika sinar matahari mencapai ubun-ubun, kami berkemas membawa tikar berisi buah. Kubopong tongkat bambu di bahu, kakek memikul tas kain besar, dan kami berjalan pulang ke rumah. Jalan berdebu memantulkan cahaya pagi, dedaunan yang jatuh menari tertiup angin.

Di rumah, Yuni sudah menunggu dengan senyum lebar dan nampan kue tradisional. “Wah, panennya banyak sekali!” serunya riang.

Aku meletakkan buah di halaman, lalu mencium tangan kakek. “Terima kasih, Kakek. Hari ini luar biasa.”

Kakek menepuk bahuku. “Semuanya berkat usahamu, cucuku.”

Yuni membantu mengangkat durian ke rak bambu di halaman, sementara aku dan kakek duduk di teras, menikmati kue lapis dan teh manis. Getar panas mentari menyatu dengan rasa manis, menciptakan harmoni yang membuat hatiku tenang.

“Boni.” ujar kakek tiba-tiba, menatapku sungguh-sungguh. “Besok, kita akan kumpulkan semua panen, timbang, catat hasilnya dan kirim data ke Camat. Jangan lupa ajak semua tetua.”

Aku mengangguk mantap. “Ya, Kakek! Tim Pengawal Duren akan siap.”

Kakek tersenyum bangga. “Bagus! Aku percaya pada kalian.”

Aku meneguk teh dan meresapi kata-kata sederhana itu, ungkapan kepercayaan yang lebih berharga daripada emas.

Terpopuler

Comments

Kardi Kardi

Kardi Kardi

wooooo. team duren. BERAKSIIII

2025-02-25

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!