Mulai perhatian

Britania menurut, segera berbalik mengambil sisa pekerjaannya dan masuk kembali ke ruangan Nathan. Kali ini, mungkin ia harus berterima kasih pada Nathan karena memintanya bekerja di ruangan ini, jadi ia tidak perlu ketakutan sendirian di tengah hujan gemuruh di luar.

Bisa bernapas sedikit lega, namun juga bercampur dengan kecanggungan karena harus berada satu ruangan dengan sang CEO. Belum pernah sebelumnya Briella bekerja di ruangan boss-nya langsung.

Keduanya larut dalam pekerjaan masing-masing, hanya berada dalam satu ruangan, tanpa saling mengobrol maupun berinteraksi fisik.

Entah sudah menit ke berapa Britania mulai merasa mengantuk dan lelah bersamaan. Kelelahan dari meeting dan tuntutan pekerjaan yang tak henti-henti membuatnya perlahan kehilangan kesadaran.

Nathan sempat melirik dari ekor matanya, tersenyum tipis mendapati Bri sudah tertidur.

"Bos... ituuu Britania masih Lo suruh kerja?" Suara Brianda yang baru saja masuk langsung menegur Nathan pelan, namun jelas dipenuhi nada protes. "Lo jangan kejam-kejam banget, deh. Kerjaan dia selalu baik, loh, selama ini. Nggak pernah dia disuruh lembur sampai malam gini."

Nathan mendengus pelan. "Di luar hujan deras, dia pasti ketakutan kerja sendiri di ruangannya, jadi aku minta ke sini malah ketiduran." Rupanya ketakutan Bri saat hujan beberapa hari lalu, membekas diingatan Nathan.

Pria itu beranjak dari kursi untuk mengambil coat-nya. Memakaikannya untuk menyelimuti tubuh Britania. Aroma khas Nathan kembali meruap pada indera penciuman BRI, namun tetap saja ia tak terusik untuk bangun.

Nathan juga merapikan semua pekerjaannya dari pangkuan Britania.

Melihat itu, Brianda tertawa mengBritaniak, Lo suka sama Britania? Kayaknya bakalan sulit, Bos. Selama gue kerja di sini sama dia, belum pernah sekalipun ada yang berhasil mendekati dia secara personal. Dia bukan seperti gadis-gadis di luar sana yang dengan mudahnya kepincut sama Lo. Dan gue juga belum yakin sih Lo beneran suka sama dia. Gue kira Lo udah nggak suka cewek... hahaha!"

Tawa Brianda terhenti tiba-tiba, diikuti suara gedebug. Nathan melemparkan bantal sofa tepat ke wajah Brianda untuk membungkam mulutnya.

"Sialan, aku masih suka cewek. Hanya saja belum ada yang bisa bikin aku berjuang. Aku suka lihat Britania tertawa, seolah tanpa beban dan memunculkan vibes positif di sekitarnya. Juga dia bisa dekat dengan Ren... kamu tahu selama ini Ren sangat tertutup dengan orang baru..." Suara Nathan terdengar samar, tetapi serius.

Britania tak tahu berapa lama ia tertidur. Ketika membuka mata, sudah ada sosok tampan jelmaan bosnya yang tengah duduk menatapnya, mungkin sejak tadi. Mata abu-abu gelap itu mengunci tatapan Britania, ada sorot penasaran yang dalam di sana. "Eh, Pak Nathan... Mmm, maaf saya ketiduran,"

Bergegas ia menegakkan badan dan merapikan pakaiannya, merasakan panas merambat naik ke pipinya.

"Nggak apa-apa," ucap Nathan, suaranya tenang, mengikis sedikit rasa canggungnya.

Pandangannya beralih pada satu paperbag berukuran sedang, yang menguarkan aroma sedap di atas meja. Tangannya mulai sibuk membuka bungkus makanan di hadapannya. "Aku udah pesenin makan. Kamu pasti lapar."

Dua porsi beef teriyaki, lengkap dengan nasi dan ada beberapa camilan juga sudah Nathan siapkan, siap mereka santap.

"M-makasih, Pak," jawab Britania singkat. Ia terlalu speechless karena ketiduran di ruangan sang bos.

Otaknya berputar, membayangkan betapa banyak karyawan yang pasti akan menatapnya iri kalau sampai tahu CEO idaman para wanita itu kini sedang menemaninya makan. Seulas senyum tipis, nyaris tak terlihat, melintas di bibir Nathan saat ia melihat reaksi Britania.

———

Sejak kejadian ketiduran di ruangan Nathan hari itu, Britania menyadari Nathan jadi sering berinteraksi dengannya. Entah hanya sekadar meminta laporan, atau membahas tentang permintaan klien yang sebenarnya tidak berhubungan dengannya. Itu diluar kebiasaan sekaligus membuat Brii risih, juga keteteran. Makin banyak kerjaan yang harus ia handle, tapi Bri tidak mengeluh untuk itu.

"Bu Bri, ini ada titipan dari Pak Nathan," ucap asistennya, Olivia, sambil meletakkan paperbag berisi kopi dan sekotak sandwich di meja Britania.

Britania menatap bingung. "Pak Nathan...? Kok bisa, Liv...?"

Olivia tertawa, tawa renyah yang Britania sudah hafal. "Kayaknya si bapak CEO hot daddy itu tertarik sama Lo, Bri! Hihihi."

Britania hanya berdecak kecil menghadap ledekan Olivia. "Nggak usah bikin gosip, deh, Liv. CEO itu! Mau lo didepak dari perusahaan ini, hah?" Ia berusaha terdengar galak, meskipun ada bisikan kecil di hatinya yang tidak bisa ia abaikan.

"Wkwkwk... Ampun, Bri! Lagian dia lebih sering ngajak Lo kerja, deh, sekarang. Sering kasih lemburan juga. Biasanya kan dari dulu Pak Bos besar nggak pernah kasih Lo lembur. Apalagi sampai turun ke lapangan langsung..." Olivia mengangkat bahu, nada bicaranya penuh selidik.

Britania berpikir sejenak. Perkataan Olivia ada benarnya. Memang baru kali ini ia disuruh bekerja sekeras ini, dengan tuntutan yang tak biasa. "Ah, mungkin kerjaku memang kurang, Liv, jadi Pak Nathan menambah lagi, biar gue nggak terlalu santai. Nanti makan gaji buta jadinya. Udah, udah, sana kerja. Bentar lagi meeting," perintah Britania pada Olivia, berusaha mengalihkan pembicaraan.

Ia tidak ingin membahas kemungkinan apapun itu, tidak ingin memberikan celah pada asumsi-asumsi yang mengganggu fokusnya.

Britania menatap kopi pemberian Nathan sambil menggigit sandwich-nya. Tahu saja kalau memang ia belum sarapan.

Tiba-tiba sekali itu pak Boss, perhatian pada karyawannya sedetail ini.

Setelah habis setengah sandwich itu, ia baru teringat untuk segera ke ruang meeting. Mungkin akan sedikit terlambat.

Dengan membawa beberapa berkas di tangan, ia berlari menuju lift. Sialnya, lift karyawan itu penuh, dan ia harus menunggu untuk yang berikutnya. Waktu terus berjalan.

"Mau naik bareng? Kita ada meeting sebentar lagi, kan?" Suara berat dari seorang laki-laki di belakangnya membuat Britania sedikit tersentak.

"Eh, Pak Nathan...? Iya, Pak. Terima kasih, saya menunggu saja," tolak Britania halus. Ia tidak ingin terlalu sering berdekatan dengan pria ini.

"Kelamaan, nanti telat. Saya nggak suka karyawan yang datang meeting telat," ucap Nathan datar. Tanpa menunggu persetujuan Britania, Nathan mempersilahkannya masuk lebih dulu ke lift khusus untuknya.

Hanya berdua di dalam lift tanpa suara. Aura di dalam lift makin dingin menegangkan, serasa sedang berada di dalam salah satu adegan film horor. Britania berusaha mengalihkan pandangan, menatap angka-angka lift yang terus naik.

Beberapa kali pria yang pagi ini memakai setelan jas warna cream itu melirik ke arahnya. Britania bisa merasakannya, bulu kuduknya sedikit merinding, bukan karena takut, melainkan karena... canggung, dan salah tingkah mungkin.

Tangan Brii makin erat memegang berkas di tangan, kala Nathan tanpa aba-aba menggunakan ibu jarinya untuk mengusap sudut bibirnya. Gerakan itu begitu tiba-tiba, Britania membeku. Sentuhan itu... singkat, namun cukup untuk membuat seluruh sistem sarafnya berhentibereaksi.

"Sudah besar makan masih belepotan," ujarnya sedikit tersenyum, senyum yang jarang sekali Britania lihat. Biasanya dia memang murah senyum kepada banyak karyawannya, tapi hanya senyum datar saja. Senyumnya kali ini, meskipun tipis, terasa lebih hangat, bahkan sedikit geli.

"Oh, maaf, tadi saya baru selesai sarapan lalu ingat ada meeting jadi langsung pergi saja. Mm, makasih, Pak, sarapan sama kopinya," jawab Britania dengan menundukkan kepalanya, tidak berani menatapnya. Sentuhan dari ibu jarinya saja sudah membuatnya membeku untuk sepersekian detik, apalagi kalau menatap matanya secara langsung.

"Sama-sama. Saya lihat kamu berangkat buru-buru tadi pagi, jadi pasti juga belum sarapan." gumamnya, bertepatan dengan denting lift.

Saat pintu lift terbuka, Britania mempersilahkannya keluar lebih dulu, namun lagi-lagi Nathan hanya tersenyum.

"Ladies first," ucapnya lagi, sebuah nada menggoda terselip di sana.

Setelahnya, Britania melenggang cepat menuju ruang rapat. Memang bukan yang pertama kalinya Britania dihadapkan pada seorang pria yang memberi perhatian lebih seperti ini, tetapi tetap saja perlakuan Nathan sukses membuatnya kelimpungan.

Baiklah, itu membuktikan ia masih wanita normal berarti, batin Britania, berusaha menormalisasi gejolak aneh di dadanya.

Beberapa jam kemudian, kepala bagian produksi memutuskan untuk lembur mengerjakan pengiriman hari ini, dan seperti sebelumnya, Britania diminta ikut lembur oelh Nathan. Olivia yang sebenarnya diminta lembur malam ini karena dia juga harus turun ke bagian produksi langsung, tapi dia memaksa agar diloloskan dari lemburan malam ini karena sudah ada acara dengan pacarnya.

"Bu Britania yang super cantik luber-luber ke mana-mana... please, ya, malam ini ulang tahun pacar aku, aku udah janji mau dinner. Lagian enggak tahu juga kalau memang bagian produksi belum siap sepenuhnya," rayu Olivia pada Britania yang sudah ingin pulang. Raut wajahnya memelas, berharap Brii bersedia menggantikannya.

"Hmm... ya sudah sana pulang. Nanti biar aku turun ke produksi sendiri." Britania menghela napas, lelahnya terasa berlipat ganda, tapi ia tak tega melihat wajah Olivia.

Mendengar itu, Olivia tersenyum riang memeluk Britania. "Lope you sekebon, my boss, Bu Bri paling cantik pokoknya, gue doain semoga jodoh sama Pak Nathan, wkwkwk!" serunya sambil berlari keluar ruangan Britania.

Kalau saja tidak berlari mungkin satu kursi di samping Britania sudah melayang padanya.

Britania bergegas menuju ruangan Brianda.

Tok... tok... tok...

"Masukkkk!" seru Brianda dari dalam.

"Nda, Oliv izin enggak lembur. Mana ini laporan terakhir tim produksi?" Kedatangan Britania membuat Brianda mendongakkan kepalanya dari balik komputer. Jadwal pengiriman memang menjadi hari paling sibuk di perusahaan mereka. Semua departemen akan dibuat bekerja keras untuk menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu, termasuk Brianda, sang asisten CEO.

"Lo enggak salah mau turun produksi lagi, Bri...? Lo minta Birru aja, udah," perintah Brianda, nadanya terdengar khawatir.

Britania memutar bola mata dengan malas. Ia memang malas sebenarnya harus turun produksi langsung lagi. "Kamu tahu sendiri, Nda, gimana bos kamu. Dia selalu minta aku bertanggung jawab sepenuhnya tiap kali ekspor barang, jadi ya aku sebagai bawahan hanya bisa menurut," ujar Brii, berusaha terdengar profesional dan tunduk pada aturan meskipun ada nada jengkel yang tipis.

"Lo pasti keberatan sama tugas baru Lo?" tanya Brianda lagi. Dia sudah bangkit dari tempat duduknya untuk menghampiri Britania di sofa.

"Enggak, lah, Nda. Aku sadar cuma karyawan jadi harus nurut sama atasan dong, haha. Intinya sih, enggak ada pekerjaan yang memberatkan. Aku memang suka kerja, kan? Lagian kerja juga untuk perusahaan tempat kita bernaung di dalamnya. Kalau perusahaan makin maju, kita juga akan banyak diuntungkan." balas Brii, riang. Brianda termangu mendengar pernyataan Brii yang menurutnya sangat jarang dimiliki oleh karyawan di sana.

" Udah, lah, mana laporannya. Aku mau cek, nih, biar enggak kemalaman nanti pulangnya." lanjut Britania memaksakan senyum tipis, menyembunyikan kelelahan yang meremukan tulangnya. Tidak lama di sana, Brii lantas pergi setelah mendapatkan laporan yang diminta.

Tanpa sepengetahuan Britania, di dalam ruangan Brianda, tepatnya di kamar mandi, ada seseorang yang mendengar semua percakapan Britania dan Brianda tadi. Suara pintu kamar mandi terbuka pelan, dan Nathan muncul dari dalamnya.

"Uah keluar, Bos, Britania?" seru Brianda pada bosnya sambil terkekeh, menyadari bahwa Nathan pasti mendengar semuanya.

"Lo dengar sendiri kan? Dia begitu totalitas untuk perusahaan ini. Dan dia juga enggak marah sama sekali sama Lo yang terus-terusan mempekerjakan dia dengan keras, padahal biasanya dia hanya duduk manis di ruangannya untuk memeriksa berkas dan tandatangan saja," lanjut Brianda sungguh-sungguh. Ia tahu betul bagaimana Brii bekerja untuk perusahaan selama ini.

Nathan hanya mendengarkan Brianda sekilas, tatapannya kosong, namun ada sesuatu yang berkelebat di matanya. Kemudian, ia berlalu menuju ruangannya, pikirannya dipenuhi suara Britania yang lelah namun tetap santai, dan senyum terpaksa yang selalu gadis itu kenakan di depannya.

#tobecontinued

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!