short story Last Dream
Alden sedang duduk di salah satu pojok kafe favoritnya, biolanya berada di pangkuannya. Kafe tersebut sepi hari itu, hanya ada beberapa pelanggan tetap yang sesekali melemparkan pandangan.
alden fort
"Dante, ada kopi hitam lagi?"
dante olmite
"Tentu, seperti biasa. Bagaimana harimu, Den?"
alden fort
"Hm... sama seperti biasanya. Kecuali... rasanya lebih sunyi hari ini."
dante olmite
"Sunyi? Bukannya selalu begitu? Lagipula, kau suka sepi, kan?"
alden fort
"Iya, tapi... entahlah. Mungkin aku mulai merasakan ada yang berbeda."
Dante hanya mengangguk dan meletakkan secangkir kopi hitam di meja Alden. Alden menyesapnya perlahan sambil memandang biolanya yang tergeletak di pangkuannya. Jarinya menyentuh senar, lalu ia mulai memainkan beberapa nada.
alden fort
"Aku belum pernah bilang ini, tapi... mungkin ini kali terakhir aku akan bermain di sini, Dan."
dante olmite
"Apa maksudmu, Alden? Kau selalu bermain di sini. Kau yang memberi warna pada tempat ini."
alden fort
"Mungkin, tapi tubuhku mulai menolak. Tangan ini, rasanya mulai berat. Tapi... masih ada satu lagu terakhir yang ingin aku mainkan."
dante olmite
Dengan raut prihatin "Ka..kau... baik-baik saja, kan?"
alden fort
"Aku baik. Hanya saja... aku bisa merasakannya. Aku mungkin tidak akan bisa bermain lagi setelah ini."
dante olmite
"Jangan bicara seperti itu. Siapa yang akan menemani kami dengan musik indahmu?"
alden fort
Tersenyum samar "Mungkin sudah waktunya musik ini berhenti."
Beberapa saat kemudian, Rhea, sahabat Alden, masuk ke dalam kafe dengan kanvas dan cat di tangannya. Ia melambaikan tangan dan langsung duduk di hadapan Alden.
Thea ozwalt
"Aku tadi lihat kau dari jendela. Lagi-lagi dengan biolamu." tertawa kecil "Bagaimana dengan lagumu hari ini?"
alden fort
"Sama seperti kemarin, hanya saja... ini yang terakhir."
Thea ozwalt
Tertawa kecil, mengira Alden bercanda "Kau dan lelucon gelapmu. Jadi, apa inspirasimu hari ini?"
alden fort
"Aku ingin memainkan suara angin terakhir sebelum matahari tenggelam."
Rhea terdiam. Ia tahu ada yang berbeda dalam suara Alden. Alden lalu berdiri dan berjalan menuju sudut kafe, tempat ia biasa bermain untuk para pelanggan.
Alden mengambil biolanya. Dengan hati-hati, ia meletakkan busur di atas senar dan mulai memainkan melodi yang lembut.dilanjut dengan dante yang bersiap denan pianonya Suara biola dan piano memenuhi kafe, membawa suasana melankolis yang indah.
Lagu itu seperti suara angin sepoi-sepoi yang menghantarkan cerita tentang waktu yang hilang. Semua orang di kafe terdiam, mendengarkan nada yang berayun pelan, namun penuh perasaan. Setiap gesekan biola Alden terasa seperti percakapan yang dalam, seolah ia berbicara melalui musiknya.
Thea ozwalt
Berbisik pada Dante "Dante, lagunya begitu... mendalam. Rasanya seperti salam perpisahan."
dante olmite
Menjawab pelan "Aku pikir begitu. Dia bilang ini lagu terakhirnya."
Setelah beberapa menit yang terasa seperti keabadian, Alden menyelesaikan lagunya dengan nada terakhir yang panjang dan hening. Ruangan itu sunyi sesaat. Semua orang menahan napas, seakan tak ingin memecahkan momen tersebut.
alden fort
Berdiri, menghela napas dalam "Itu dia. Lagu terakhirku."
Semua orang di kafe memberi tepuk tangan, tapi di wajah Alden hanya ada keheningan. Tanpa banyak bicara, ia berjalan keluar kafe, meninggalkan suasana penuh emosi di belakangnya. Rhea menyusulnya keluar, mencoba menghentikannya.
Thea ozwalt
"Alden, tunggu! Apa maksudmu dengan 'lagu terakhir'? Kau tidak sungguh-sungguh, kan?"
Alden hanya tersenyum lemah, menatap Rhea dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan.
alden fort
"Mimpi terakhirku sudah selesai. Aku hanya ingin musikku tetap ada, meskipun aku tak lagi di sini."
Rhea berdiri diam, merasa ada sesuatu yang sangat salah. Keesokan harinya, berita menyebar bahwa Alden ditemukan tak sadarkan diri di apartemennya dan telah meninggal karena penyakit yang selama ini ia sembunyikan dari semua orang.
Musik terakhirnya di kafe menjadi kenangan yang tak terlupakan, meninggalkan bekas di hati semua yang mendengarnya. Alden telah pergi, tapi melodinya terus mengalir di udara kota itu, seperti mimpi yang tak pernah benar-benar berakhir.
Comments