Kita Tidak Baik-Baik Saja

Kita Tidak Baik-Baik Saja

Papa Cheating

Di pagi minggu yang cerah ini, skincare-ku menunjukkan tanda-tanda kritis, artinya aku harus mengeluarkan tenaga dalam untuk pergi ke Mall dan menyiapkan catatan kecil berisi barang apa saja yang harus kubeli.

Walau terlihat pelit, itu cukup efektif untuk tidak membuang-buang uang demi barang yang belum tentu kupakai. Terkadang, sampai barangnya hilang pun belum tentu pernah aku gunakan.

Kalau kalian bertanya, skincare apa yang aku pakai, sebenarnya tidak terlalu mahal dan tidak terlalu murah. Merek Skarlet dengan pembelian satu paket lengkap.

Sejak duduk di bangku SMA--dan sekarang kelas tiga, aku lebih sering terpapar sinar matahari. Bukan masalah takut hitam, tapi wajahku jadi lebih tua dan sering dehidrasi.

Perjalanan menuju mall terbesar di Jakarta tidak terlalu jauh. Aku tidak mengeluarkan scoopy kesayangan, takut dia lelah menghadapi kejamnya ibu kota yang melebihi seorang ibu tiri.

Jadi, aku lebih memilih menggunakan go-kar. Selain bisa menambah penghasilan bapak-bapak berjiwa superhero, aku pun lebih santai karena tak perlu repot-repot mencari tempat parkir.

Bahasa halusnya, parkir adalah salah satu kegiatan yang tidak aku sukai. Kalau bahasa kasar, jangan. Barangkali, ada adik-adik di bawah umur yang membaca cerita ini. Dosaku jadi bertambah banyak karena mengajarkan hal tidak baik. Maafkan Kakak, ya, Bocah-bocah.

Ponsel yang berada di tas selempangku bergetar. Tidak biasanya pagi-pagi ada yang menelepon. Kalau bukan Papa, berarti Mama.

Aku menepi sejenak agar tidak menghalangi jalan, lalu merogoh tas untuk mengambil benda yang berjasa melancarkan komunikasi orang-orang. Angkat topi untukmu, Kakek Martin Cooper dan kawan-kawan.

"Assalamualaikum, Mamaku yang cantik bak Zulaikha. Aku baru aja ke luar udah dicariin aja. Mama kangen, ya?" sapaku tanpa mengecilkan suara.

"Waalaikumsalam, anakku yang manisnya melebihi Priyanka Chopra. Tebak, deh, Mama habis ngapain!"

"Habis ketemu Uda-uda? Uni-uni?" tebakku asal.

"Ck, bukan!" Mama menyahut setengah berteriak. "Mama habis dapetin tas Chenel limited edition! Ya ampun! Mama dapat dua, Dek! Dua!"

Teriakan Mama membuatku terpaksa menjauhkan ponsel dari telinga. Suaranya melengking tinggi bak naga kehilangan pasangan.

"Ya Allah, Mama. Kirain ada apa. Mama belanja tas lagi? Itu yang di lemari tas Mama masih bisa dipakai, loh."

"Gampanglah itu. Bisa Mama kasihkan ke Mbak Ute sama orang lain. Duh, yang penting Mama bahagia banget sekarang. Udah dulu, ya? Mama mau nimang-nimang adik kamu dulu. Bye, Dek! Assalamualaikum!"

"Ogah punya adik benda mati. Waalaikumsalam!"

Usai merebahkan kembali bulu kuduk yang merinding. Aku berjalan lurus ke depan tanpa melihat ke kiri dan kanan, bahkan tidak berhenti walau dipanggil-panggil oleh para sales.

Brosur yang diangsurkan langsung aku jauhi. Soalnya, saat tangan sudah terulur ke depan untuk mengambil, para sales akan menarik dengan brutal dan menguji coba produk mereka ke tangan. Mengerikan, aku sampai trauma.

Senyumku mengembang sempurna saat tiba di toko langganan. Pemiliknya sedang tidak ada, tapi para pegawai sudah mengenaliku dengan baik. Pelanggan imut, katanya.

Padahal, kalau dipikir-pikir, aku tidaklah layak menyandang pujian imut. Tinggiku sekitar 157, berat badan 40 kilogram, dan memiliki kulit sawo matang. Sebagai pelengkap, ada kacamata minus bertengger di batang hidung dan gigi kelinci yang kadang lebih sering aku sembunyikan.

Usai beramah tamah, aku ke luar sembari menenteng belanjaan berupa satu paket produk skincare kebanggaan. Tujuan aku memakai skincare itu bukan untuk memutihkan kulit, tapi hanya membersihkan dan memberi nutrisi saja.

Iklan-iklan yang menawarkan produk dengan testimoni satu minggu langsung putih, semuanya bohong. Kalaupun benar, pasti mengandung merkuri.

Aku tidak mau menghancurkan masa tua dengan penampilan mengerikan. Kalau bisa biasa, kenapa harus luar biasa?

Ngomong-ngomong, sudah lama aku tidak menyenangkan diri sendiri. Mungkin aku akan singgah di kedai kopi dalam negeri sebentar. Kenapa aku sebut demikian?

Pemilik serta pekerjanya orang Indonesia. Biji kopinya diambil dari salah satu penghasil biji kopi terbaik di Indonesia, yakni Takengon. Tahu, kan? Letaknya di Aceh Tengah. Tempatnya asyik, pemiliknya ramah--kebetulan Abangnya sahabatku, dan harganya ramah di kantong pelajar.

"Subhanallah, kedai kopi gue bakalan berkah hari ini, gara-gara kedatangan cewek secakep Mbak Cleopatra!" sorak Bang Jack. "Long time no see, Zahra."

Aku langsung sungkem ala muslimah. "Apa kabar, Bang? Lama bener gak ketemu. Ameena gak di sini?"

"Baik, si Ameena lagi pusing sama tugas matematika. Katanya, kalian disuruh bikin tugas di kertas portofolio, ya? Udah, gak usah sekolah lagi. Mending kerja di kedai kopi gue. Syukur-syukur bisa gue ajak ke Takengon buat ambil biji kopi."

Bang Jack langsung terjun sendiri ke Takengon. Ia akan meninjau terlebih dahulu sebelum membeli. Tujuannya, untuk mengatasi biji kopi tidak berkualitas. Walau tempatnya Aceh, yang tempatnya berhias syariat dan bernapaskan Islam, siapa bisa menjamin bila adanya kecurangan?

"Jangan nyebar ajaran sesat sama anak kecil. Gue ke sini mau ngopi," ujarku sambil tersenyum geli.

Bang Jack mengarahkanku ke sudut terbaik di kedainya. Dekat pantry. Selain bisa bercakap-cakap dengan bebas, aku juga tidak terlalu suka keramaian.

Berada di tempat yang disesaki oleh banyak orang, membuat kepalaku pusing. Pusing yang tidak butuh obat, selain ketenangan. Syukur, Bang Jack sangat memahamiku.

Namun, sebelum duduk, aku melihat sesosok yang begitu akrab di mata. Papa, agaknya beliau sedang bercakap-cakap bersama seorang wanita anggun berambut hitam panjang terurai.

Mataku agak menyipit melihat Papa tampak nyaman. Bahasa tubuh mereka saling melempar kenyamanan, hingga di menit berikutnya, tangan mereka saling bertumpu di atas meja.

Aku tidak boleh menunjukkan kelemahan di depan orang-orang, bukan? Aku bukan tipikal anak yang akan lari saat melihat Papanya berselingkuh di belakang Mama lalu berakhir pada pertengkaran di rumah atau datang melabrak keduanya di tempat umum dengan harapan orang-orang akan membelaku.

Emosi boleh melampaui ketenangan seorang manusia, tapi tidak dengan akal sehat. Aku akan mendatangi mereka dengan satu cara cerdas khas Zahra.  Kutatap Bang Jack yang tidak menyadari perubahan pada diriku.

Ia melirik dan bertanya, "Ada apa?"

"Temenin gue, dong," pintaku sedikit merengek, seperti biasa.

"Ke mana? Jangan jauh-jauh, gue gak mau dinilai sebagai bos arogan yang pegawainya disuruh kerja, bosnya sibuk pergi entah ke mana."

"Gak jauh, Bang. Ke situ, doang. Tuh!" Aku menunjuk Papa dan kekasihnya.

"Mampus, gue lupa lagi ada Om Umar."

Gumaman Bang Jack terdengar sampai ke telingaku. Ah, rupanya dia sudah tahu sejak awal, kalau Papa nongkrong di sini bersama wanita itu. Ini kali ke-berapa, ya? Namun, tidak masalah.

Niat baik Bang Jack direalisasikan dengan sangat tulus. Pasti dia tidak ingin menyakiti hatiku dan Mama dengan memberikan informasi menyakitkan soal Papa selingkuh. Aku hargai itu.

"Mau temenin, gak? Mau aja, deh."

"Ya udah, ayo." Sebelum itu, Bang Jack memanggil salah satu pegawainya. "Bawain latte dingin ke meja sana. Gue mau temenin Zahra ngobrol."

"Oke, Bucin."

Panggilan Bucin tersemat secara tidak sengaja. Gara-gara Bang Jack memperlakukan aku secara istimewa setiap datang ke kedai kopinya, orang-orang sini menganggap aku adalah gadis pujaan Bang Jack.

Padahal, kami sudah saling mengenal sejak aku duduk di bangku SMP dan Bang Jack di bangku SMA. Itupun karena persahabatan aku dengan Ameena.

Namun, di antara kami, tidak ada yang mempermasalahkan panggilan itu. Asal tidak menimbulkan berita buruk saja. Toh, gara-gara Bang Jack dipanggil Bucin, aku bisa duduk di kedai kopi dengan nyaman tanpa ada yang mengganggu.

Awal-awal datang ke mari, pegawai Bang Jack genit sekali. Aku sampai mogok ngopi selama setahun karena takut. Sampai akhirnya Bang Jack tahu, barulah dia mengambil sikap begitu.

Aku tidak boleh jauh-jauh darinya. Seperti sekarang.

"Jangan aneh-aneh, ya?" pinta Bang Jack sebelum kami sampai di meja Papa. "Jangan berubah jadi maung, jangan coba-coba buat nyari masalah di tempat umum. Lo tetap di samping gue. Gak boleh melewati batas satu langkah pun!"

"Oke!" Aku mengangguk patuh. "Gue agak deg-degan. Baru kali ini menghadapi masalah pelakor-pelakor."

"Mau balik aja?" tawar Bang Jack serius. "Gue gak akan bilang sama Om Umar kalau lo mergokin mereka."

"Sstt!" Aku menempelkan telunjuk di bibir. "Tanggung."

Wajah Bang Jack masih khawatir, tapi saat kami sudah tiba di meja Papa, dia tetap berusaha bersikap biasa saja. Dia menggerakkan wajahnya seolah mengatakan, "Sapa mereka."

Sejenak, aku memejamkan mata. Yang teringat malah wajah Mama. Keberanianku tiba-tiba muncul disertai ketenangan yang luar biasa. Aku langsung duduk sembari menarik tali celemek Bang Jack.

"Hai, Papa."

Pegangan mereka terlepas saat sapaanku mengudara. Wajah Papa lucu. Tampak panik, tapi berusaha menetralkan ekspresinya. Aku belum berani menatap selingkuhan Papa karena takut kerasukan maung.

Salah-salah, Papa bisa marah besar kalau wajah kekasihnya kena cakar. Fatimah Az-zahra harus bersikap layaknya Ibu Peri berjiwa maung, maksudku berjiwa santun.

"Zahra, kok, di sini?" tanya Papa.

"Mau ketemu sama Bang Jack," jawabku sengaja.

"Ketemu Jack?" Tatapan Papa berubah tidak enak saat menatap Bang Jack. "Sepertinya, saya perlu bicara sama kamu, Jack."

"Iya, Om." Bang Jack menatapku lembut. "Bentar, ya? Gue mau ke situ dulu sebentar."

"Nanti bilangin sama pegawai Abang, gue udah haus banget. Biar lattenya cepet datang."

"Iya."

Sebenarnya, aku khawatir Papa akan melakukan sesuatu pada Bang Jack. Seorang Ayah bisa berubah jadi maung kalau putrinya didekati seorang pria. Terlebih lagi melihat interaksi aku dengan Bang Jack yang memberikan sinyal adanya hubungan di antara kami berdua. Pasti Papa menyangka kami pacaran.

Itu sebenarnya hanya trik saja. Aku suka mempermainkan orang yang terlebih dulu membuatku kesal.

Pasti Bang Jack bisa mengatasinya. Dia bukan pria bermental kerupuk yang gampang ciut saat digertak. Di dalam diri Bang Jack ada maung. Iya, maung.

Aku yakin sekali, seyakin Ida Ayu Nyoman Rai saat melahirkan Soekarno di tahun 1901. Memang tidak ada hubungannya, yang penting kalian tahu seyakin apa aku pada Bang Jack.

"Zahra lagi jalan-jalan, ya, di sini?" Kekasih Papa menyapa.

Aku mengalihkan pandangan ke arah wanita yang berpotensi menjadi ibu tiri di masa depan. Di situlah jantungku menyerah untuk berdetak saking takutnya diterkam maung Papa, eh, kekasih Papa.

"Bu Marsya?!"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!