Terik matahari menggigit kulit, menyengat tanpa ampun di atas langit siang yang nyaris tak berawan. Udara panas menyelimuti jalanan kota, menyesakkan paru dan membuat napas terasa berat. Di tengah sengatan yang membakar itu, seorang wanita tampak berlari kecil menuju sebuah stand minuman di pinggir trotoar.
Dengan napas terengah dan wajah memerah karena panas, ia segera memesan dua botol minuman bersoda. Begitu botol pertama sampai di tangannya, tanpa ragu ia meneguk habis isinya. Cairan dingin itu mengalir menyegarkan kerongkongan yang kering, menyisakan sedikit rasa lega di tengah tubuh yang kelelahan. Satu botol lagi ia pegang erat, diselipkan dalam kantung kertas cokelat, siap untuk dibawa kembali.
Wanita itu kembali berlari, kini menuju gedung pencakar langit megah bertuliskan Cass Group—tempatnya bekerja sebagai sekretaris direktur utama. Jarak sekitar 150 meter ia tempuh dengan langkah tergesa. Rambut panjangnya yang digulung rapi mulai berantakan, sedikit menempel di kening yang basah oleh keringat. Tubuhnya yang ramping tampak goyah, namun langkahnya tak goyah. Belum menyerahkan minuman itu, dia belum bisa tenang.
Saat tiba di lobi, udara dingin dari pendingin ruangan menyambut tubuh lelahnya. Namun belum sempat dia masuk ke dalam lift, suara-suara lirih menarik perhatian.
"Eh, itu kan sekretaris direktur," gumam salah satu dari tiga wanita muda yang berdiri tak jauh dari lift.
"Aneh ya, masa sekretaris disuruh beli minuman ke luar. Jalan kaki pula. Gila, dia pikir dia siapa? Cantik-cantik tapi kelakuan kayak babu," bisik salah satu dari mereka, wanita berambut sebahu dengan lipstik merah menyala.
Teman-temannya terkekeh kecil, menimpali dengan komentar serupa.
Alyssa mendengar semuanya. Walau suara mereka lirih, tapi cukup jelas bagi telinganya yang peka. Dia berhenti sejenak, menoleh dengan tatapan tajam yang membuat para penggosip itu diam seketika. Sekilas, ada ketakutan tergambar di wajah mereka, sebelum buru-buru membuang muka dan bergegas pergi.
Alyssa menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya yang mulai tersulut. Ia tahu, pekerjaan dan posisinya sering kali mengundang rasa iri, apalagi dengan penampilannya yang selalu mencolok di antara karyawan wanita lainnya. Tapi bukan itu alasan ia ada di sini. Ia bekerja keras, dan lebih dari apa yang mereka tahu, ia bertahan.
Saat tombol lift ia tekan, terdengar suara memanggil dari belakang.
"Alyssa!"
Ia menoleh, mendapati Bella—temannya, kepala divisi keuangan—mendekat sambil tersenyum lebar. Alyssa pun membalas senyuman itu.
"Oi, Bel. Tumben jam segini keluar ruangan?"
"Lo habis beliin minuman buat si bos ya?" tanya Bella, matanya melirik ke kantung kertas yang dipegang Alyssa.
Alyssa mendengus pelan. "Iya, capek banget sumpah. Kayak kurir pribadi. Kalau bukan karena dia, ogah banget keluar panas-panas kayak gini."
Bella tertawa kecil, meski ada sedikit nada prihatin dalam tawa itu. "Ya udah, buruan naik deh. Ntar si bos ngamuk. Gue balik ke ruangan dulu ya. Bye, cantik."
"Bye, Bel."
Pintu lift terbuka. Alyssa masuk dan menekan angka 22. Begitu pintu tertutup, ia menyandarkan punggung pada dinding lift yang sebagian besar terbuat dari kaca. Pandangannya menyapu refleksi dirinya—blazer abu-abu rapi, rok span selutut yang membingkai kaki jenjang, high heels hitam mengilap yang sedikit menyiksa saat berlari.
Wajah itu, tubuh itu—sudah jauh berubah dibanding beberapa bulan lalu. Setelah ditalak Reza setahun lalu, ia memilih untuk bangkit. Berat badan yang dulu naik drastis karena stres, kini turun lebih dari 15 kilogram. Ia mulai merawat diri lagi. Salon, skincare mahal, olahraga pagi sebelum kerja, semua dijalani dengan tekun. Ia membangun kembali harga dirinya dari serpihan luka.
Pintu lift terbuka. Alyssa melangkah menuju ruangan direktur.
Dua ketukan di pintu.
"Permisi, Pak. Saya antar minuman yang Bapak pesan," ucapnya lembut saat melangkah masuk.
Di balik meja besar bernuansa gelap, seorang pria duduk membelakangi pintu. Kursi itu kemudian berputar perlahan, memperlihatkan wajah dingin milik Darren Alaric Cassius—direktur utama Cass Group.
Tatapan pria itu setajam es kutub. Aura kekuasaannya menekan ruangan, membuat siapa pun enggan lama-lama berdiri di hadapannya.
Alyssa meletakkan minuman di atas meja kaca yang bertuliskan namanya, lalu mundur selangkah hendak pamit.
Namun suara bariton tegas menghentikannya.
"Saya tidak mau ini. Bawa keluar."
Napas Alyssa menghela perlahan. Senyumnya tetap dipertahankan, meski dalam hati ia ingin melempar botol itu ke dinding. Ia mengambil kembali minuman tersebut dan keluar tanpa membantah.
Ini bukan pertama kalinya Darren menolak minuman yang ia beli. Alasannya selalu sama—tidak dingin. Padahal, untuk mendapatkannya saja Alyssa harus berlari di bawah terik matahari. Tapi anehnya, Darren tetap terus memintanya melakukan itu setiap hari. Aneh dan menyebalkan.
Namun tanpa sadar, kebiasaan 'aneh' sang direktur justru membuat berat badan Alyssa turun drastis. Ia kembali ramping seperti dulu, bahkan lebih cantik dan anggun.
Ruangan sekretaris berada tepat di samping ruang direktur, dindingnya dari kaca, memungkinkan Alyssa memantau jika ada tamu datang atau Darren memanggil. Ia duduk, melepas high heels-nya sejenak, mengangkat kaki, dan memijatnya perlahan. Pendingin ruangan membantu mengurangi rasa pegal di tubuhnya.
---
Tepat pukul lima sore, Alyssa bersiap pulang. Namun sebelum pergi, ia harus melakukan satu hal rutin—mengecek ke ruangan Darren apakah masih ada pekerjaan yang harus ia tangani.
Dengan ketukan sopan, ia masuk dan bertanya.
"Permisi, Pak. Apa ada yang perlu saya kerjakan lagi?"
Darren masih tenggelam dalam tumpukan berkas, tidak menjawab.
Alyssa hendak pamit, namun tiba-tiba...
"Temani saya makan malam di luar malam ini," ucap Darren tanpa mengalihkan pandangannya dari dokumen.
Alyssa membeku.
Apa?
Darren? Makan malam? Dengannya?
Ia mengerutkan kening, mencoba memahami maksud dari ajakan itu. “Maaf, Pak... apakah saya melewatkan jadwal makan malam dengan klien?”
Darren mengangkat kepalanya, menatap Alyssa lurus.
“Bukan. Hanya kita berdua. Tunggu saya 15 menit di ruanganmu. Kita berangkat setelah ini.”
Alyssa nyaris kehabisan kata. Mau menolak, tapi belum sempat mulutnya terbuka, suara dingin itu kembali terdengar.
“Tidak ada penolakan.”
Seketika, atmosfer ruangan terasa berat. Alyssa tahu, pria ini bukan orang yang suka diulang perintahnya.
Dengan langkah pelan, ia keluar, menutup pintu perlahan, dan kembali ke ruangannya.
Di balik kaca, Alyssa duduk, menatap kosong pada bayangan dirinya.
Apa maksud semua ini?
Dan kenapa… hatinya justru mulai berdetak tak menentu?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
llovees°•♡
aduh bude ga tau ya ini tuh namanya pdkt ala ala CEO dingin, bude yang kisah cintanya cuma di kasih perhatian "kamu udah makan belum" ga di ajakk 😩😮💨
2025-04-20
1
novi 99
dua tahun lagi Alyssa tinggal tulang krja disana ..
mungkin si bos suka sama Alyssa..
2025-04-25
0
Ima Kristina
kayaknya bos Darren sudah tahu kisah miris rumah tangga Alisya
2025-04-03
0