Di tengah riuhnya lalu lintas ibu kota, Abri melaju santai dengan motor sport kesayangannya. Sesekali ia berhenti di lampu merah, mematuhi rambu lalu lintas sebagaimana mestinya. Hari ini, ia sedang dalam perjalanan menuju restoran tempat para anggotanya menunggu—katanya untuk makan-makan kecil merayakan kenaikan pangkatnya. Setelah berkendara kurang lebih tiga puluh menit, akhirnya ia sampai di depan restoran yang dimaksud.
“Bener ini tempatnya?” gumamnya sambil melepas helm full-face, lalu mengeluarkan ponsel dari saku celana untuk memastikan isi chat dari Ibam. Dan benar saja, alamatnya sesuai.
“Ni orang-orang serius banget mau jebolin dompet saya, ya,” gumamnya lagi, memandangi bangunan restoran bintang lima yang berdiri megah di hadapannya. Ia menghela napas, turun dari motor, dan melangkah masuk ke dalam.
Matanya bergerak ke segala penjuru, mencari keberadaan manusia-manusia yang berniat menjebol isi dompetnya. Tapi sejauh ini, nihil.
“Katanya udah kumpul nunggu, tapi kok gak ada siapa-siapa?” desisnya. Kakinya terus melangkah, masuk lebih dalam ke area restoran. “Apa mereka belum datang?”
Hari ini, Abri memang tidak datang langsung dari kesatuan. Ia baru saja pulang dari acara pernikahan anak salah satu rekan sang papa yang juga dekat dengannya. Pantas saja pria itu terlihat begitu rapi dengan setelan jas hitam yang kini mulai terasa sesak. Ia memilih duduk di salah satu meja yang kosong. Restoran itu sendiri sebenarnya tidak terlalu ramai—pengunjung bisa dihitung dengan jari. Tempatnya mewah, suasananya nyaman, tapi mungkin harganya terlalu tinggi untuk kebanyakan orang. Berbeda jauh dengan kafe yang ada tepat di seberangnya, yang justru penuh sesak oleh pengunjung dari berbagai kalangan.
“Aku salah tempat gak, ya?” gumam Abri. Rasanya tidak mungkin. Anggotanya memang kadang aneh, tapi untuk ngajak makan di restoran seperti ini? Gilang pasti udah protes paling keras. Mulut anggota satu itu terlalu lokal, lidahnya pun hanya cocok dengan makanan yang dibumbui cabai dan terasi.
Seorang pramusaji datang, memberikan buku menu. Abri hanya memesan secangkir kopi untuk sementara. Ia masih kenyang setelah makan di acara kondangan tadi, jadi makanan bisa dipesan nanti, kalau rekan-rekannya benar datang.
Sembari menunggu, ia kembali menatap layar ponsel. Tidak ada balasan.
“Pada kemana sih mereka?” desahnya, mulai kesal. Ia paling tidak suka menunggu. Ia sudah terbiasa hidup disiplin dan tepat waktu. Napasnya terhembus berat.
Pramusaji kembali datang membawa kopi pesanannya.
“Terima kasih,” ucap Abri ramah, disertai senyum tipis yang memperlihatkan lesung pipi samar di pipinya. Senyumnya manis—sampai sang pramusaji sedikit salah tingkah dibuatnya.
Abri menyeruput kopi pelan-pelan, sesekali mencoba menghubungi rekan-rekannya lagi. Masih nihil.
"Pergi kemana semua mereka?" Pikirnya bingung sendiri. Ah, entahlah tunggu saja.
Ia pun melepaskan jas yang dikenakan, menyisakan kemeja hitam yang membalut tubuh tegapnya. Rasa sesak perlahan menghilang.
_____________
Di luar restoran, sebuah mobil Mini Cooper berhenti. Aji, ajudan pribadi Moza, menatap lurus ke depan sambil membuka seatbelt. Kepalanya menoleh ke kursi belakang tempat Moza duduk bersama Windy.
Moza yang juga baru melepaskan seat beltnya menjawab "iya, aku mau ketemu sama temen dulu di dalam let, letnan bisa tunggu aku di sini kan sebentar?"
"Teman? Cowok apa cewek?" bukannya menjawab, Aji malah balik bertanya. Tampak sekali jika pria itu was was, iya was was nambah saingan.
"Ye... Kepo banget si bang." cibir Windy.
"Tugas saya menjaga nona saya dengan aman, bukan kepo seperti apa yang kamu bilang. Kalau ada apa apa dengan nona sudah dapat di pastikan saya akan mati di tangan panglima jenderal." Aji menatap Windy dingin hingga gadis itu meringis. Ia tak terima jika di bilang kepo, ya walaupun sedikit sih. Dia juga tidak akan rela nona cantik pujaannya ini di dekati oleh pria manapun. Apa lagi kalau sudah keluar dengan Windy seperti ini, pasti besoknya kiriman bunga dengan surat gombalan bak pujangga cinta bertambah. Sudah hafal Aji.
Sementara Moza mendengar itu tersenyum, ia tahu betul sepatuh apa Aji pada Hamzah. "Saya aman, Let. Gak usah khawatir.”
"Masalahnya hati saya yang gak aman kalau gak saya pantau, bisa nambah saingan saya." batin Aji tak berani menyuarakan isi hatinya. Dan berakhir dengan Aji menganggukkan kepalanya pasrah menuruti mau sang nona. "tiga puluh menit, jika tiga puluh menit nona tidak keluar. Saya masuk." wanti Aji.
"Loh, mana bisa gitu!" bukan bukan Moza yang protes melainkan Windy.
"Atau gak sama sekali." ucap Aji menatap Windy tajam.
"Astaga, ajudan Lo za!" Windy melotot, tapi Aji balas menyeringai puas saat Moza justru mengangguk menyetujui syaratnya.
"Ya ampun za, ini Lo atau dia si ajudannya?" tanya Windy masih tak menyangka Moza bisa manut-manut aja.
"Letnan Aji begitu karena tugasnya win, demi keselamatan ku juga." jelas Moza penuh pengertian. "Sudah yuk kita turun. Keburu malam banget."
Windy menghela nafas akhirnya keduanya turun dari dalam mobil dengan diikuti oleh mata Aji yang tidak pernah lepas dari keduanya lebih tepatnya ke Moza, sampai gadis itu hilang masuk ke dalam restoran tersebut.
Begitu masuk ke dalam restoran, Moza langsung bertanya, “Orangnya yang mana, Win?”
Windy langsung mengecek ponselnya siapa tau ada pesan dari sang mama. Dan benar saja, di sana ada chat satu foto seorang pria yang tampak samar, bukan samar lagi tapi ini terlalu buram sepertinya foto itu di ambil darah jauh membuat wajah pria itu tak terlihat bentuk dan ciri fisiknya seperti apa selain tubuhnya yang cukup tegap karena posisi di foto itu tengah berdiri.
Hari ini anaknya pakai kemeja item
Hanya itu petunjuknya.
"Astagfirullah! Gimana nyari cowok dengan muka buram begitu win? Mama mu ada ada aja deh. Masak ngasih foto yang begitu. Memang dia gak punya sosmed. Apa lagi malah cuma di kasih clue gitu. Dikira di restoran ini yang pakai kemeja hitam cuma dia doang." ini kali pertama Moza geregetan membantu Windy.
"Sayangnya memang iya." jawab Windy menunjuk dengan dagu ke salah satu punggung pria yang tengah duduk sendirian di meja yang tidak jauh dari mereka berdiri dan Moza langsung menoleh ke arah yang di tunjuk sahabatnya.
Setalah itu keduanya saling menatap satu sama lain "Namanya siapa?" tanya Moza rasa dongkolnya perlahan mulai mereda karena target sudah di temukan.
Windy langsung nyengir, lalu beralih garuk-garuk kepala selanjutnya menggeleng "lupa nanya mama," berakhir dengan nyengir.
Astagfirullah!
Orang cantik gak boleh marah Moza. Tarik nafas panjang lalu buang perlahan.
"Terserah deh, nama itu gak penting kan? Yang penting kita mau nolak dia disini." putus Moza pada akhirnya yang di angguki oleh Windy.
Moza melangkah mantap, menarik napas dalam-dalam, lalu berjalan ke arah pria yang mereka yakini sebagai target. Sementara Windy duduk menunggu di meja lain.
Dret!
Moza dengan santai menarik kursi yang ada di hadapan pria yang tidak lain tidak bukan adalah Abri. Membuat Abri yang tadinya fokus akan ponsel serta mulut yang menyeruput secangkir kopi itu sekarang mendongak menatap Moza.
tatapan keduanya bertemu, mereka saling tatap.
Waktu seolah berhenti sejenak.
Moza ini jenis gadis yang akan membuat orang menoleh dua kali ketika berpapasan dengannya di jalan dan itu juga berlaku pada Abri. Ia tersenyum tipis, sopan, dan menunduk sebentar.
Cantiknya... Subhanallah. Dan Abri mengakui itu.
"Subhanallah, ganteng banget! Ini manusia apa bidadara? batinnya menjerit.
Jantungnya berdetak tak karuan.
Ini kali pertama Moza sampai terkesima, terpesona dan ter-ter lainnya lah dengan seorang pria. Ya memang, bukan kali ini saja sih dia melihat pria ganteng, tinggi dan rapih seperti ini. Tapi entah mengapa pria kali ini beda, beda dengan beberapa pria lain yang ia temui. Bukan cuma ganteng, tinggi, tegap, rapih saja tapi wajahnya yang terlihat kalem, tegas, berkharisma dan memiliki 2 dimple yang tampak samar-samar karena pria di hadapannya sempat melempar senyum tipis terkesan sopan. Dan itu menambah kesan manis di wajah pria itu.
Apa manis? Tunggu Moza, tunggu! Jangan tergoda Moza! Ingat kau disini cuma mau membatalkan perjodohan Windy jangan gila!
Tapi... Bener ini yang begini mau di tolak Windy?
Padahal wajahnya itu sangat cocok untuk partner menyempurnakan keturunan. Kalau Windy gak mau sama aku aja boleh gak sih ini laki?
Akhirnya perang batin pun terjadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
'Nchie
ambil aja za buat kamu bang bri nya
2025-05-15
1
Naswa Al rasyid
kok lama up nya kak. semangat kak... gak sabar bgt nungguin ny🥰
2024-08-28
2
💗 AR Althafunisa 💗
😍😍😍
2024-08-28
1