3 bulan sudah umur pernikahan Anindya dan Faris. Hubungan keduanya terkesan harmonis, namun masih ada celah dalam hubungan kedua.
Dengan kesibukan masing-masing, keduanya tidak ada waktu untuk saling bertukar pikiran. Adapun waktu mereka bersama, hanya diam dan membicarakan hal-hal yang tidak terlalu penting. Faris yang memang bukan tipe banyak omong pun membuat Anindya melakukan hal yang sama karena percuma juga jika ia banyak omong, suaminya yang menjawab sekenanya.
Hingga suatu pagi, Anindya merasakan kram di perutnya. Sebagai tenaga medis, tentu ia tahu dengan perubahan tubuhnya. Segera Anindya membuka aplikasi tamu bulanannya dan di sana terlihat jika dirinya sudah telah satu minggu dari tanggal yang seharusnya. Ia pun mencoba positif, mungkin hanya terlambat karena kelelahan.
Di tempat kerja, Anindya seperti orang yang tidak memiliki semangat. Mbak Fitri dan Mbak Devi yang melihatnya pun bertanya ada apa dengan Anindya. Setelah mendengar cerita Anindya, Mbak Fitri pun menyarankannya untuk melakukan tes kehamilan. Bagaimana pun Anindya sudah menikah dan berhubungan dengan suaminya. Tidak menutup kemungkinan, telat satu minggu itu sudah merupakan tahap pembuahan.
Sesuai dengan saran Mbak Fitri, Anindya membeli alat penguji kehamilan saat pulang kerja dan akan melakukan pengecekan di pagi hari besok. Karena di pagi hari urine masih pekat dengan kadar hCG yang tinggi, memungkinkan keakuratan alat uji kehamilan.
Pagi harinya, Anindya melakukan tes urine sebelum melaksanakan sholat subuh. Faris yang sudah menunggunya untuk sholat berjamaah pun mengetuk pintu kamar mandi. Anindya yang panik pun meninggalkan alat uji kehamilan di kamar mandi dan segera berwudhu, menyusul Faris untuk sholat berjamaah.
“Garis dua?” gumam Faris yang menemukan alat uji kehamilan Anindya di kamar mandi.
“Ini punya kamu?” tanya Faris yang menemui Anindya di dapur.
“Iya, Mas. Apa hasilnya? Aku belum melihatnya.” Anindya melupakan alat uji kehamilannya.
“Ini.” Faris menyerahkan alat tersebut kepada Anindya yang segera mengucapkan kalimat syukur.
Faris masih diam mencerna keadaan. Ia tahu jika yang ia temukan adalah alat uji kehamilan dan garis dua menandakan jika istrinya positif hamil. Tetapi mengapa dirinya seolah merasa hampa?
“Mas tidak bahagia?” tanya Anindya hati-hati.
“Bahagia.” Jawab Faris singkat.
“Benarkah? Mengapa wajah Mas menunjukkan lain?” tanya Anindya mendekat ke arah suaminya.
“Memangnya wajahku kenapa?”
“Wajah Mas tidak menunjukkan kebahagiaan, tetapi seperti orang banyak beban! Apakah Mas merasa terbebani dengan kehamilanku?” tanya Anindya dengan perasaan sesak.
“Tidak, aku bahagia. Akan aku buktikan jika aku bahagia!” seru Faris yang tiba-tiba mengangkat tubuh Anindya dan membawanya ke kamar.
Mereka pun mulai terlibat dalam permainan panas di kamar. Bahkan keduanya lupa jika saat ini ada janin muda di dalam perut Anindya. Beruntung keduanya sama-sama sedang libur di hari minggu, membuat mereka menikmati permainan. Beberapa kali permainan membuat keduanya kelelahan pagi itu dan terlelap hingga pukul 10 pagi Anindya terbangun karena lapar.
Faris membuka matanya ketika mencium aroma makanan yang dimasak oleh Anindya. Ketika terbangun tanpa busana, Faris merutuki dirinya di dalam hati. Ia masih belum bisa menerima mengapa tubuh istrinya yang tidak membuatnya tertarik, justru membuatnya ingin menikmatinya ketika ia sedang gundah. Dan sekarang Anindya hamil anaknya!
“Mas sudah bangun? Ayo makan!” ajak Anindya yang sudah terlihat segar dengan kamisol dan celana pendeknya serta rambut setengah basah yang diikat cepol.
Semakin hari, Anindya semakin berani memamerkan tubuhnya untuk suaminya. Sebagai istri, tentu Anindya memiliki kekhawatirannya sendiri. Dengan sikap suaminya yang menginginkannya sewaktu-waktu, ia harus bisa berpenampilan menarik agar suaminya tidak memiliki pikiran untuk jajan di luar.
Dengan hanya mengenakan celana kolor, Faris menghampiri Anindya yang menunggunya untuk makan bersama. Seperti biasa, Anindya akan melayani suaminya dengan mengambilkan nasi dan lauk, kemudian mengisi gelas dengan air putih. Ketika mereka selesai makan, ponsel Faris berdering memperlihatkan orang tuanya yang menghubunginya.
Kedua orang tuanya menanyakan bagaimana kabar mereka berdua dan bertanya apakah ada kabar bagus. Faris pun mengatakan jika Anindya positif hamil, tetapi ia belum tahu pasti karena belum melakukan pemeriksaan. Kedua orang tuanya mengucapkan syukur dan meminta Faris untuk segera membawa Anindya memeriksakan kandungan. Bahkan beberapa nasihat pun Ibu Faris sampaikan untuk menghadapi kehamilan Anindya.
“Mana Anindya?” tanya Ibu Faris.
“Sedang mencuci piring.”
“Mana, ibu mau bicara.”
Faris berjalan menuju dapur dan menyodorkan ponselnya sambil mengatakan jika Ibu Faris ingin berbicara. Anindya segera mengeringkan tangannya dan mengambil alih ponsel Faris.
“Nin, kamu harus segera memeriksakan kandunganmu. Jangan sampai kelelahan dan juga perbanyak makan buah dan sayur.” Ibu Faris memberondong Anindya dengan semua nasihat yang bisa beliau ucapkan.
“Iya, Bu. Jadwal praktik dokter kandungan di sini terbatas, Bu. Hari Senin sore baru ada.” Terang Anindya.
“Astaga! Apa tidak ada bidan di sana?”
“Ada, Bu. Hanya saja tidak ada USG.”
“Ya sudah, tunggu hari Senin baru periksa Pastikan kamu jangan sampai kelelahan, kalau kerja biasa saja jangan memaksakan diri!”
“Baik, Bu.”
Faris hanya mendengarkan obrolan Anindya dengan wajah datar. Anindya yang melihat wajah suaminya pun menyudahi obrolan dengan ibu mertuanya dengan mengatakan jika ia akan melanjutkan cuci piringnya. Ibu Faris dan menyudahi panggilannya. Setelah menerima ponsel dari Anindya, Faris masuk ke dalam kamar. Anindya pun melanjutkan cuci piringnya dan mulai mengerjakan pekerjaan rumah yang ia lewatkan pagi ini.
Anindya telah selesai dengan bersih-bersih rumahnya, ketika ia akan masuk ke dalam kamar ada yang mengetuk pintu rumahnya. Dengan gerakan cepat, Anindya mengenakan daster yang ada di gantungan pakaian dan melihat ke jendela. Melihat yang mengetuk pintu adalah Andra, Anindya membukakan pintu dan mempersilahkannya masuk.
“Mas, ada Andra di depan.” Kata Anindya.
Faris mendongakkan kepalanya, melihat penampilan Anindya yang telah mengenakan daster pun tersenyum. Ia pun berjalan keluar kamar melewati Anindya dan menghampiri Andra. Mereka berbincang-bincang di ruang tamu, Anindya membuatkan teh hangat untuk mereka di dapur.
Ketika Anindya menyuguhkan teh untuk suaminya dan Andra, pandangan Andra jatuh pada bekas merah di leher Anindya. Faris yang menyadari arah pandangan Andra pun tersenyum mengejek. Ia merasa menang karena telah memiliki Anindya dan hanya dirinya yang bisa menikmatinya. Tidak seperti Andra yang hanya bisa mengaguminya.
“Cari pacar sana, Ndra!” celetuk Faris setelah Anindya kembali masuk ke dalam.
“Aku sudah punya, Bang!” Andra tidak terima dengan ejekan Faris.
“Benarkah?” Faris meragukannya.
“Iya, dia masih kuliah di Jawa.” Faris menganggukkan kepalanya.
Sedikit ada rasa lega dihatinya, mendengar Andra sudah memiliki pacar. Dengan begitu, kekaguman Andra pada istrinya hanya kekaguman sesaat saja. Mereka pun akhirnya sepakat untuk bertemu nanti malam di lapangan futsal. Sebenarnya bisa saja Andra mengabarinya lewat telepon, tetapi Andra beralasan jika dirinya kebetulan pergi ke pasar dan sekalian mampir untuk menyapanya.
Setelah Andra berpamitan, Faris mengunci pintu rumah dan membawa gelas teh ke dapur dan tidak menemukan istrinya di dalam rumah. Melihat pintu belakang terbuka, Faris pun keluar dan mendapati Anindya sedang menjemur pakaian. Dengan diam ia menunggu sampai Anindya selesai menjemur, hingga membuat istrinya terkejut ketika membalikkan tubuh.
“Andra sudah pulang?” tanya Anindya setelah reda dari keterkejutannya.
“Apakah sudah selesai?” bukannya menjawab, Faris justru balik bertanya.
“Sudah, Mas.” Faris pun menggandeng tangan Anindya dan menuntunnya masuk ke dalam rumah.
Dengan cepat Faris mengunci pintu belakang dan membawa Anindya ke dalam kamar. Setelah menutup jendela dan korden, Faris meminta Anindya melepaskan dasternya. Anindya menuruti suaminya dan melepaskan dasternya menyisakan kamisol dan celana pendeknya. Perlahan Faris mendekat dan menyentuh bibir Anindya yang sempat mengucapkan nama Andra.
Anindya hanya bisa menatap lekat suaminya yang bersikap seolah-olah ingin memberikannya hukuman. Kedua tangan Faris perlahan melingkar di pinggang Anindya, dengan gerakan cepat seketika tubuh mereka pun menempel. Segera Faris menguasai bibir Anindya tanpa memberi aba-aba. Anindya mencoba lepas dari Faris, tetapi tangan suaminya semakin mengerat di pinggangnya bahkan salah satu tangannya sudah berada di bawah pakaiannya.
Tak butuh waktu lama, mereka pun terlibat permainan panas hingga bersama-sama mencapai puncak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
Okto Mulya D.
gelooo...istri dilihat orang malah dianya yang nafsuuu
2024-08-09
1