"Kalau jadi ibunya Lily, Kakak mau?"
"Tidak bisa," jawabku dengan suara pelan. "Lily sudah punya Ibu, perempuan baik yang sudah melahirkan Lily. Dan perempuan itu bukan Kakak."
Mata Lily tiba-tiba menerawang jauh, jauh sekali .. Ke tempat di mana ia membutuhkan jawaban. Dia memberengut kepadaku dan menangis, keras sekali. "Kenapa tidak mau? Memangnya Lily anak nakal ya?"
Kemudian tiba-tiba, dengan gerakan tak terduga, Pak Bima muncul dengan mata menyala, dia menarik tanganku hingga dadaku merapat ke dadanya.
"Kamu apakan anak saya?" Pak Bima melotot padaku. "Kamu ini, kalau memang tidak bisa bermain dengan anak-anak lebih baik tadi tidak usah menawarkan diri main dengan Lily!"
"Bukan, Pak. Bukan! Pak Bima tenang dulu." Jawabku gugup. "Saya tidak tahu kenapa Lily tiba-tiba nangis."
"Kalau bukan karena kamu, terus siapa lagi?"
Dan ketika Pak Bima memarahiku, dari arah belakangnya terdengar Lily memanggilku, mengagetkanku.
"Kak ... Kak ... Mau tidak jadi ibunya Lily?" Lily mengulangi pertanyaannya.
Akhirnya, tamatlah riwayat ketakutan ku saat dimarahi Pak Bima. Ternyata semua tidak lebih dari sekedar halu ku saja. Syukur syukur.
Dari samping tempat duduk aku menghela napas dan Lily kembali menengok untuk menatapku. Matanya yang bulat dan jernih seolah tengah menuntut ku.
Ah, apa yang kupikirkan. Lily cuma anak kecil, wajar kalau suka bicara asal-asalan, kenapa harus ku anggap berlebihan? Pikirku.
Tanpa sadar aku jadi cengegesan, benar juga kenapa aku jadi berpikir berlebihan.
"Mau-lah!" jawabku diplomatis, penuh percaya diri. "Siapa yang tidak mau jadi Ibu untuk anak yang baik dan secantik Lily."
"Tapi Papa orangnya suka marah-marah ... " Lily mengaku. Apa gunanya juga menyangkal? Semua orang juga tahu.
"Ya tidak masalah," kataku berusaha menenangkan, sungguh kasihan anak sekecil Lily harus menghadapi tempramen dari seorang lelaki seperti Pak Bima. "Orang kalau sudah tua memang begitu. Pasti garang, soalnya bakteri baik di otaknya kebanyakan sudah pensiun."
"Memang bisa begitu?"
"Bisa, bisa." Kataku mengibul, sambil mengangguk-ngangguk meyakinkan. Sementara Lily memandangku dengan muka cengo.
"Coba Lily lihat kakak, Kakak Julia selalu senyum dan ramah. Itu karena bakteri baik di otak Kak Julia masih segar dan banyak. Lily juga begitu. Nah, kalau Papa-nya Lily itu sudah lebih dewasa, bakteri baiknya juga mudah lelah dan pelan-pelan menghilang. Makanya suka marah-marah."
"O-oh pantas," Lily memanjangkan kalimatnya.
Kami memilih duduk di bangku terluar taman, di samping pohon mangga yang rimbun. Pak Bima datang tanpa kusadari. Diluar dugaan profesor itu berdiri begitu dekat. Matanya menyala dengan bara yang seolah-olah membakar setiap saraf di tubuhku.
Aku menelan ludah dengan susah payah sambil menarik napas, kemudian berkata, "Bapak bikin saya kaget."
Pak Bima membuatku lebih dari sekadar terkejut, tapi juga gugup.
"Pa ..." Lily meluncur dari tempat duduk dan naik ke dalam pelukan Pak Bima.
"Lily sudah ketemu Ibu!"
Sontak mataku melotot begitu Lily mengarahkan telunjuknya ke arah ku, mulutku langsung tergagap sementara Pak Bima hanya menghela napas berat, tidak terkejut sama sekali.
"Memangnya dia mau jadi Ibu buat Lily?" Ujar Pak Bima. Suaranya lantas lebih pelan dari biasanya.
"Mau!" Lily mengangguk-angguk bangga. "Siapa juga yang tidak mau jadi Ibu untuk anak yang baik seperti Lily."
Pak Bima mengerutkan keningnya, "Siapa yang ngomong begitu?"
"Kakak ..." lagi-lagi Lily menunjuk ku. "Tadi kakak sendiri yang bilang begitu."
Pak Bima melirik ku, oh betapa malunya aku. Sementara wajahku tiba-tiba jadi terlihat bodoh dan kaku. Dia tahu kalau aku telah bicara ngawur, tapi aku takut malah jadi masalah baru.
"Kalau jadi Ibu, berarti harus jadi istri, kan? Papa kan suka marah-marah, kakak itu tidak akan betah." Balas Pak Bima sambil mengangkat bahu dengan gerakan tak peduli.
"Tidak, tidak masalah, Pa. Kakak bilang tidak masalah, Orang kalau sudah tua memang begitu; pasti garang, soalnya bakteri baik di otaknya kebanyakan sudah pensiun."
"Hah? Bakteri baik?" dia tersenyum tipis.
"Iya, Papa sudah dewasa jadi bakteri baiknya sudah lelah dan mudah menghilang."
"O-Oh begitu." Pak Bima melihatku dari sudut matanya.
Aku menggeleng-geleng tapi tidak berani bicara. Aku menghela napas dan menggenggam kain lap. Kuatkan dirimu, Julia. Ia tak punya waktu untuk meladeni hal yang seperti ini, ini tidak lebih dari salah paham. Nanti bisa dijelaskan---walaupun, Ya Tuhan, betapa sulitnya itu.
"Baiklah, sekarang Lily mau apa?" Lanjutnya. "Kita langsung pulang, ya? Kamu harus istirahat."
"Sama Ibu?" Seru Lily sambil menengok diriku. "Kalau tidak sama Ibu, Lily tidak mau pulang."
Pak Bima sempat diam sejenak.
Dia adalah seorang dosen, sekaligus profesor termuda di kampus ini. Meski dari tadi aku selalu menggebukan kalau beliau sudah berumur, senyatanya Pak Bima tidaklah setua itu. Seingatku usianya masih 32 tahun. Jadi bayangkan, bayangkan bagaimana seorang seperti aku berani menyinggung lelaki seperti dia? saat ini mungkin dia berpikir bahwa aku sengaja mengambil kesempatan lewat anaknya, maka Matilah aku.
"Lily sudah ketemu Ibu." Tiba-tiba wajah Lily suram, mirip seperti yang tadi aku bayangkan. "Capek kalau harus cari Ibu terus."
Lagi-lagi Pak Bima diam, dia hanya menghela napas beberapa saat.
"Oke, akan Papa pertimbangkan. Lily masuklah lebih dulu ke mobil, biar Papa bicara dulu dengan Kakak itu."
Petaka ... Pasti, pikirku.
Habislah aku kali ini.
Begitu Lily pergi, Pak Bima langsung menghampiri ku. Dia duduk di ujung kursi, lengannya terlipat di depan dada bidangnya, sedangkan kakinya yang bersepatu kulit di silangkan di atas paha. Mata gelapnya tertutup kelopak yang pekat, dan sosoknya begitu tegas. Tanpa ekspresi.
Aku memaksakan diri untuk bicara, dan berusaha untuk tidak terbuai dalam ketakutan atas dirinya.
"Anu .. Pak,"
"Maaf." Pak Bima menyela kata-kataku, aku langsung bengong.
"Maaf kalau anak ku bicara ngawur."
"Ah, tidak- tidak sama sekali Pak Bima. Tapi sumpah soal tadi, saya benar-benar tidak bermaksud..."
"Dia selalu begitu tiap bertemu orang, terutama perempuan. Dia sampai hafal kan dengan apa yang aku tanyakan dan sangkal, karena memang itulah yang selalu kami bicarakan kalau dia sudah ketemu perempuan." Tanpa sadar Pak Bima memijat-mijat keningnya. "Makanya sampai sekarang saya mengurusnya sendirian."
Suara Pak Bima itu. Lembut, misterius, dan penuh wibawa. Dia bicara dengan gaya formal yang sungguh membuatku kagum. Ditambah lagi aksen bicaranya itu, ada sedikit aksen barat mewarnai cara bicara Pak Bima sehingga membuatnya lebih menggoda lagi. Pantas banyak mahasiswi yang tergila-gila padanya. Dia mungkin bisa menjadi ahli hipnotis yang sangat sukses karena sanggup membuat wanita koma hanya dengan berbicara.
Tapi, ah. Aku tidak boleh ikut-ikutan.
"Maaf, Pak Bima..." Kataku sedikit gugup. "Memangnya Ibunya Lily kemana?"
"Saya juga tidak tahu."
Oh, mungkin beliau orang kantoran yang sibuk, pikirku. Jadi agak sulit untuk mengurus anaknya sendiri, Lily jadi kekurangan kasih sayang dan hubungannya dengan Pak Bima jadi renggang. Mungkin kurang harmonis, karena keduanya sama-sama sibuk. Masuk akal.
"Maaf, Pak. Saya izin bicara. Lily begitu mungkin karena kurang kasih sayang dari ibunya dan ingin diperhatikan," karena gugup tanganku tidak bisa diam, bergerak-gerak layaknya orang presentasi atau sedang mengajar. "Bagaimana kalau bapak coba bicarakan dengan Istri Pak Bima, dan coba luangkan waktu untuk liburan bersama sekeluarga?"
"Saya belum pernah menikah. Tidak punya istri." Jawabnya cepat.
"Aaahh ... Ooohh ..." kataku dengan wajah cengo, sambil mengangguk-angguk tidak jelas. Tanganku yang tadinya gerak seperti orang presentasi, langsung beralih menggaruk kepala, layaknya orang frustasi.
Lah terus Lily anaknya siapa?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Imas Karmasih
anak kamu sama. pak Bima. jangan2 cowo dulu itu pak Bima
2024-09-07
0
Danny Muliawati
jangan2 Lily anak yg di buang SM ibu nya Yulia yah thor
2024-08-17
0
ummah intan
bisa jd Lily itu anakmu yg dibuang ibumu
2024-08-17
0