Sudah lebih dari setahun Sudirman mengajarkan ilmu kanuragan kepada Arumi. Selain itu, berbagai nasihat hidup dari pengalamannya pun telah diwariskannya. Kini, tidak ada lagi yang dapat ia ajarkan kepada anak asuh semata wayangnya itu. Sudirman terlihat begitu tenang tanpa terbebani sesuatu apa pun.
“Kakek, bagaimana dengan kemampuanku sekarang?” tanya Arumi yang baru saja menyelesaikan latihannya. Wajahnya dipenuhi peluh, tetapi tidak ada sedikit pun raut kelelahan di tatapannya.
“Lumayan, sedikit lebih baik dari kemarin,” jawab Sudirman dengan tenang.
Bibir Arumi mengerucut kesal mendengarnya. Tidak pernah sekalipun ia mendengar pujian dari sang kakek. “Sudah ratusan kali Kakek mengatakan itu. Apa tidak bisa sekali saja Kakek memujiku?” protesnya.
Sudirman menatapnya dengan lembut dan berujar, “Kalau Kakek memujimu, Kakek khawatir kamu akan mengurangi intensitas latihan dan merasa cukup dengan kemampuanmu yang tidak seberapa itu.”
Arumi terdiam, pandangannya tertuju ke tempat ia berlatih. Sesekali ia menyeka keringat yang masih menetes dari wajahnya.
“Arumi,” panggil Sudirman sambil menepuk pundaknya. Arumi menoleh dan mengangkat kedua alisnya. “Iya, Kek,” sahutnya.
“Tidak ada lagi yang bisa Kakek ajarkan kepadamu. Kau boleh pergi,” kata Sudirman dengan berat hati. Namun, tidak ada lagi yang bisa ia berikan selain mendoakan yang terbaik untuk anak asuhnya itu.
Arumi menarik ikat rambut, mengatur rambutnya yang basah, lalu mengenakannya kembali. Ia menatap lekat-lekat wajah si kakek, menyunggingkan senyum, lalu mengecup kedua pipinya dengan lembut. “Andai aku bisa mengingat kembali wajah kakekku, kuharap wajahnya sama seperti Kakek Sudirman,” katanya, sudah menganggap Sudirman sebagai kakeknya sendiri.
“Sebaliknya, jika saja dirimu tahu bagaimana busuknya perilaku daging tua ini semasa muda dahulu, kamu tidak akan pernah mau dekat-dekat denganku, Arumi,” timpal Sudirman dengan senyum tipis. “Pergilah dan jangan lagi membuang waktumu di sini!”
Dari kejauhan terlihat seekor macan kumbang berlari mendekat lalu menggosokkan badannya ke kaki Arumi. Tatapannya seolah meminta Arumi untuk mengikutinya. Kakek Sudirman yang memahaminya meminta Arumi untuk bangkit dari duduknya. “Sanca ingin menunjukkanmu sesuatu. Ikuti langkahnya!” kata Sudirman. Arumi mengangguk, berdiri, dan mengikuti langkah macan kumbang itu ke suatu tempat.
Sekembalinya Arumi ke tempat Sudirman berada, ia tidak datang sendiri. Seekor macan kumbang kecil yang baru berusia beberapa bulan tampak berada di pangkuannya. “Kakek, lihat deh kucing ini, begitu lucu,” kata Arumi sambil mengelusnya dengan lembut.
“Sanca ingin kau membawanya. Jaga baik-baik!” kata Sudirman.
Arumi mengangguk senang mendengarnya. Ia kemudian berkata, “Kakek, aku pergi sekarang. Terima kasih atas semua didikan yang Kakek ajarkan kepadaku. Entah bagaimana aku bisa membalasnya.”
“Tunggu sebentar!” Sudirman menahannya. Matanya terpejam, tampak memikirkan sesuatu. Setelah terbuka ia menambahkan. “Satu-satunya jalan keluar dari tempat ini hanya menuju ke Desa Golek Emas. Kalau kau tidak tersesat, kau akan sampai di sana setelah matahari tenggelam, kecuali ….”
“Kecuali apa, Kek?” Arumi memotongnya.
“Kecuali kau beruntung tidak bertemu dengan penghuni hutan.”
“Tenang aja, Kek, aku bisa mengatasinya.”
“Bukan binatang yang akan kau hadapi.”
“Lalu?”
“Makhluk gaib dari bangsa jin.”
Arumi tercekat mendengarnya.
“Selama ini hanya ada satu orang yang pernah lolos dari hutan itu dan tidak pernah kembali menembusnya.”
“Siapa itu, Kek?” tanya Arumi penasaran.
“Aku.”
“Apakah karena bangsa jin yang membuat Kakek terkurung di sini sampai sekarang?”
Sudirman mengangguk dan mulai menceritakannya. “Belasan tahun yang lalu setelah Kakek berhasil menghabisi Jampang–seorang pesilat –dan keluarganya, Kakek melarikan diri memasuki hutan melalui Desa Golek Emas. Di dalam hutan Kakek terjebak selama berbulan-bulan hingga nyaris mati karena hanya memakan dedaunan. Dalam kondisi yang putus asa, Kakek mengambil sumpah, jika Kakek bisa keluar dari hutan, Kakek tidak akan pernah membunuh lagi.” Sudirman terdiam, pikirannya menerawang ke masa lalu.
Arumi menatapnya dengan serius tanpa mau menyela sekalipun. Membiarkan sang kakek untuk menjedanya. Sudirman melanjutkan kembali ceritanya. “Setelah ikrar terucap, seekor macan kumbang menghampiri dan menuntun Kakek keluar dari dalam hutan, tetapi bukan kembali ke Desa Golek Emas, melainkan ke tempat ini.”
“Maaf, Kek menyela,” kata Arumi memotongnya. Sudirman mengangguk mempersilakan. “Macan kumbang yang Kakek maksud itu Sanca?” Arumi menghubungkannya dengan induk dari macan yang sedang dipangkunya.
“Betul,” jawab Kakek Sudirman. “Apakah kau pernah melihat pasangannya? Lalu, bagaimana bisa Sanca hamil tanpa pasangan?” tanyanya melanjutkan.
Arumi menggeleng. Kakek Sudirman mengelus kepala anak macan kumbang dan kembali berucap, “Mungkin inilah salah satu alasan Sanca memberikan anaknya kepadamu. Kau tidak perlu cemas bernasib seperti Kakek, tapi tetap harus waspada ketika berada di dalam hutan.”
Setelah mengatakannya, Kakek Sudirman mengelus pucuk kepala Arumi, lalu mengisyaratkannya untuk segera pergi dari kaki bukit. Arumi memaksakan senyum kemudian melangkah, mendekap anak macan kumbang erat-erat, meninggalkan sang kakek.
Ratusan langkah dari sepasang kaki tanpa alas terus menjejak tanah merah yang kadang kering, kadang pula basah mengotorinya. Namun, tak sekalipun Arumi mengurangi kecepatannya. Ia terus melangkah hingga sampai di bibir hutan yang menganga di depannya. Barisan pohon-pohon besar berdiri kokoh dan menjulang tinggi, nyaris seperti gedung-gedung pencakar langit yang umum ditemui di berbagai kota besar.
Semakin lama Arumi memperhatikannya, semakin ia merasakan adanya aura gaib yang menyelimuti seisi hutan. “Iteung, aku butuh bantuanmu melewatinya,” gumam Arumi sambil mengecup kening anak macan kumbang yang tertidur dalam dekapannya. Arumi meyakinkan diri untuk melangkahkan kaki memasuki hutan.
Baru sekitar sepuluh langkah dirinya berada di area hutan, Arumi dikejutkan oleh suara berisik yang datang dari sebelah kanannya. Bayangan hitam melesat keluar dari satu pohon ke pohon lain dengan begitu cepat lalu lenyap seketika. Tubuh Arumi sedikit bergetar begitu melihatnya, tetapi ia berusaha untuk tidak memedulikannya. Langkahnya terus terayun menyusuri hutan dengan tenang, mendekap si Iteung lebih erat.
Suasana hutan semakin kelam, seolah segala cahaya ditelan kegelapan. Udara dingin semakin menusuk, membawa bisikan-bisikan halus yang membuat bulu kuduk Arumi meremang. Setiap bayangan dan suara kecil seakan menjadi ancaman yang mengintai dari balik pepohonan. Arumi merasakan ketegangan yang semakin menguat, namun tekadnya untuk terus maju tak goyah.
Langkahnya tetap tenang namun penuh kewaspadaan yang tinggi. Kedua matanya terus mengamati area di sekitarnya dan tak sekalipun Arumi keluar dari jalan setapak agar tidak tersesat. Akan tetapi, jalan setapak yang dijejaknya selalu memiliki cabang yang harus dipilihnya dengan mengandalkan insting dan keberuntungan. Sampai pada satu pohon di ujung jalan setapak, Arumi harus memutuskan mengambil jalur ke kiri atau ke kanan. Arumi terdiam untuk kembali memilihnya. Sulit, karena kedua jalur sudah tertutupi semak belukar setinggi lutut. “Apa aku tersesat?” pikir Arumi setelah melihat tidak ada jalan lain kecuali berbalik atau merintis jalan baru.
“Iteung, mau sampai kapan kau tertidur?” tanya Arumi kepada anak macan kumbang yang didekapnya.
Terasa pegal kedua kakinya terus melangkah, Arumi memilih untuk duduk beristirahat di bawah pohon. Suasana hutan membuat kedua matanya terkatup rapat dan ia pun tertidur bersama si Iteung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Bunda Silvia
semangat ya thor
2025-02-01
1
Kardi Kardi
come on wake up WRITERRRRR
2024-08-19
2
Kardi Kardi
sepertinya akan bertambah ilmunya si MAWARRRR
2024-08-18
1