Pagi ini aku ada kuliah, dengan mata kuliah yang sama seperti kemarin, otomatis aku akan bertemu Wira.
Dengan semangat 45, aku berangkat ke kampus lebih pagi, mampir ke minimarket sebentar untuk membeli 2 sandwich dan sekotak susu. Aku takut kalau aku sarapan di kantin, aku akan terlambat seperti kemarin. Karena sepertinya, Wira sangat on time.
Saat akan ke kasir, tanpa sengaja aku menyenggol botol minuman yang terbuat dari kaca.
Karena takut pecah, refleks, aku sampai memejamkan mata sambil menutup mata dan telingaku menggunakan kedua tanganku.
"Aah!" pekikku.
Kok sepi, gak bunyi ada pecahan botol atau apapun itu. Kubuka mataku melihat apa yang terjadi. Kulihat Wira sudah berdiri di hadapanku, memegang botol itu dan menyunggingkan senyum manis seperti semalam.
"Kak Wira? Lagi ngapain?" tanyaku kaget, karena mendapatinya sudah ada di hadapanku.
"Beli rokok. Kamu sendiri?" tanyanya balik sambil menatap barang yg kupegang.
"Beli sarapan kak. Takut telat di kelas kakak. Ntar, aku dihukum lagi," kataku sambil memajukan bibirku.
"Ini hidung sama bibir hampir sama panjangnya," katanya mencubit hidungku gemas.
Kupukul dadanya sekali dengan menunjukan wajah bete. Lalu, aku berjalan ke arah belakangnya menuju kasir untuk membayar barang yang kubeli.Dia mengikutiku juga.
"Ini aja mba?" tanya petugas minimarket.
Aku yang masih mencari dompetku di tas pun mendongak, "oh iya mba, itu aja."
"Sama ini mba," kata Wira meletakan rokok yang dia beli lalu memberikan selembar uang ratusan ribu.
Aku menoleh ke arahnya sambil tersenyum.
"Makasih kak, sering-sering kalau bisa, hehe."
"Enak aja! Ganti nanti," katanya cuek.
"Eum, ganti?" tanyaku bingung.
"Bayarin makan siang dong." katanya lagi.
"Oh itu. Beres," kataku senang.
Setelah Wira menerima uang kembalian, kami berjalan keluar bersama.
"Bareng yuk ke kampus," ajak Wira.
Aku yang sedang melihat isi kantung kresek di tanganku melongo.
"Hah? Serius?" tanyaku lagi.
"Iya, lagian kita searah kan? Kenapa? Gak mau? Kalo gak mau, ya udah," katanya cuek lalu berjalan ke motornya.
"Eh, mau mau," kataku sambil menahan tangannya.
Dia menoleh lalu menaikan sebelah bibirnya.
"Ayo, nanti kita telat," katanya lagi sambil gantian memegang tanganku dan menuntunku sampai dekat motornya.
Seeer . Hatiku serasa tersengat listrik.
"Ayo naik," ajaknya membuyarkan lamunanku.
Aku segera naik berpegangan pada pundak Wira.
"Siap?" tanyanya sedikit menoleh ke belakang.
"Siap," sahutku pelan.
"Gak pegangan?" tanyanya lagi.
"Eum, harus, ya?" tanyaku balik.
"Ya udah, kalo gak mau." Lalu, dia menghidupkan mesin motornya dan melesat cepat.
"Aah, Kak Wira!" pekikku panik, sambil memukul punggungnya.
Dia berhenti tiba-tiba.
"Kenapa?" tanyanya sedikit berteriak karena suara bising kendaraan yang lewat di sekitar kami.
"Cepat banget. Aku kaget tahu, nanti kalo jatuh gimana?" tanyaku manja.
"Salah sendiri nggak mau pegangan," jawabnya santai.
Akhirnya, aku pegangan di pinggangnya. Lagi-lagi, dia menarik tanganku hingga ke perutnya, membuatku memeluknya dari belakang.
Rasa nyaman itu muncul kembali. Aku pun hanya diam sambil tersenyum di balik punggungnya. Wira kembali menjalankan motornya dan melesat menuju kampus.
Sampai di kampus, beberapa pasang mata melihat kami dengan pandangan yg bermacam-macam. Aku agak sedikit risih, namun Wira terlihat cuek saja.
Setelah motor terparkir, aku segera turun, begitu pun Wira. "Ya udah, kamu ke kelas gih, sarapan dulu. Nanti aku nyusul," katanya sambil melepas helmnya.
"Iya,"kataku pelan.
Rasanya, hatiku masih berdebar tak karuan. Bukan karena cara mengendarai motor Wira yang kencang, namun karena keakraban kami pagi ini.
Hatiku dag dig dug...
Saat aku akan berbalik meninggalkannya, Wira menahan tanganku sambil menatapku lekat-lekat. Lalu, dia membereskan rambutku yg berantakan. "Udah rapi. Sana masuk kelas, nanti kalau telat aku hukum," katanya sambil mendekatkan wajahnya dengan wajahku, lalu tersenyum hangat.
Aku makin salah tingkah kali ini. Lalu, aku pergi begitu saja, bahkan sedikit berlari demi menyembunyikan wajahku yang merona karena malu.
Sampai kelas, aku memilih bangku yang kemarin lalu kubuka sandwich yang tadi kubeli. Beberapa temanku sudah ada yang berangkat dan terlihat sedang mengobrol bersama yang lain. Dengan santainya, aku melahap sandwichku sambil membuka laptop.
"Nay, tumben udah dateng?" tanya Riva sambil duduk di sampingku.
"Iya, kalo telat nanti aku dihukum sama asdos," kataku cuek masih menatap laptop di depanku.
"Kamu kok duduk di sini lagi?" Dia mengerutkan keningnya.
"Gak boleh, ya? Seneng aja di depan, jadi fokus sama pelajaran," jawabku sambil menatapnya.
"Oh gitu. Nay, nanti nonton yuk," ajaknya.
"Gimana ya, liat nanti deh," kataku ragu.
Tak lama, Wira masuk kelas sambil menenteng laptopnya. Dia langsung menatapku dan Riva dengan tatapan tajam, seperti ingin membunuh saja.
"Selamat pagi semua," sapanya sambil meletakan laptop di mejanya lalu menatap kami satu persatu.
Riva malah memilih duduk di sampingku sekarang.
Duh, gawat nih...
Selama beberapa menit di kelas, perasaanku tidak enak karena Wira sering sekali melirik ke arahku dan Riva. Kulihat Riva juga agak aneh, dia seringkali menekan tengkuknya sambil menengok.
Ini anak kenapa?
"Kenapa?" tanyaku sambil berbisik di telinga Riva.
"Gak tahu nih, kok aku merinding gini ya, Nay," katanya sambil melirik ke arah sampingnya.
"Masa?" Aku tidak percaya.
"Iya nih. Duh, kenapa ya?" Dia terlihat takut.
"Kalian berdua malah ngobrol!" bentak Wira.
"Maaf kak, ini si Riva," kataku pelan sambil menunjuk Riva yang masih bersikap aneh.
"Kamu kenapa?" tanya Wira sembari menatap Riva dengan tajam.
"Eum, saya pindah belakang aja deh kalo gitu," kata Riva lalu membereskan buku serta laptopnya dan pindah ke bangku paling belakang.
Kulihat sekilas Wira tersenyum tipis. Hm ... mencurigakan.
Setelah 2 jam di kelas, akhirnya mata kuliah hari ini selesai.Beberapa temanku langsung berhambur keluar kelas, tinggal aku dan Wira yang berada di dalam.Dengan santai, aku melenggang keluar saat semua barangku sudah kumasukan tas. Namun, Wira menahan tanganku. Aku menatapnya sambil menaikkan satu alisku ke atas.
"Kenapa kak?" tanyaku.
"Katanya kamu mau bimbingan di luar? Jadi nggak? Mumpung hari ini aku lagi gak sibuk," katanya.
"Eum, sekarang?" tanyaku sambil berpikir.
Dia mengangguk penuh harap.
"Kamu ada janji sama cowok tadi? Jadi nggak mau bimbingan hari ini?" tanyanya.
Hah? Kok dia tahu Riva mengajakku nonton? Padahal kan, Riva ngajaknya pas Wira belum masuk ke dalam kelas. Ini anak emang aneh.
"Aku aneh? Kalau kamu takut sama aku seperti yang lain, ya udah, nggak masalah. Lupain tawaranku tadi," katanya ketus, lalu menghempaskan tanganku dengan agak kasar.
'Eh, kok dia seolah tau apa yang kufikirkan ya?' batinku
"Kak ...." Kali ini aku yg menahan tangannya. Dia menoleh dengan wajah keruh.
"Gitu aja ngambek ... Iya, aku mau. Cuma tadi tuh, aku mau pergi dulu sebentar ke toko buku. Kalo habis dari toko buku aja gimana?" tanyaku sambil mengedipkan mata.
Dia tersenyum lebar, seolah tidak pernah marah sebelumnya.
"Boleh. Ya udah, aku antar sekalian aja," katanya semangat.
Lalu, kami pergi keluar kelas berdua, menuju parkiran motornya yang tidak begitu jauh dari kelas.Kami melesat dengan cepat naik motor wira, seperti biasa. Kali ini tanpa disuruh, aku langsung memeluknya erat. Karena, dia ini seperti pembalap saja.Kami sampai di toko buku langgananku. Kami masuk ke dalam toko, lalu aku segera mencari buku yang kumaksud itu. Sedangkan, Wira hanya mengikutiku saja. Dia tidak tertarik pada buku, mungkin. Tapi, dia ini sangat pintar. Prestasinya sudah cukup banyak dikenal orang.
Sepertinya, aku harus bertanya tips bagaimana cara dia belajar selama ini. Karena asyik memilih buku, aku sampai tidak sadar kalau hari sudah siang.
"Udah belum?" tanya Wira dengan muka bete.
Aku terkekeh melihat ekspresinya.
Pletak...
Dia menjitak kepalaku pelan.
"Ah, Kak Wira ... sakit tahu...." Kubalas dengan cubitan bertubi-tubi di perutnya.
"Awas kamu ya, aku kelitikin sampai nangis nanti," katanya dengan tatapan tajam dan senyum liciknya.
"Gak takut, wlee," ledekku sambil sedikit berlari menjauh darinya.
Dia pun mengejarku. Kami malah bermain kejar-kejaran di sini.
"Maaf, bisa tolong tenang Mas, Mba...," kata Pak Satpam dengan wajah yang kurang mengenakkan.
Kami lalu berhenti dan tersenyum ke arah Pak Satpam. Wajahnya nampak merah padam, karena menahan amarah.
"Maaf pak," kata Wira berusaha ramah.
Karena efek kelelahan, perutku berbunyi. Aku tertawa mendengar bunyi perutku sendiri. Untunglah, sepertinya Wira tak mendengarnya.Kami lalu menuju kasir untuk membayar buku yang sudah kupilih. Ada 7 buku dengan jenis yang berbeda.
"Kamu itu mau jualan buku?" tanya Wira menatap tumpukan buku yg ada di meja kasir.
Mba penjaga kasir hanya tersenyum mendengar perkataan Wira.
"Enggak, buat nimpukin kamu nanti...," jawabku asal.
"Oh gitu, oke ... aku kasih nilai D nanti," katanya bercanda. Bahkan, matanya berkilat jenaka.
"Coba aja. Aku laporin Pak Roni nanti, kalau asdosnya semena-mena sama mahasiswa," ancamku.
"Bilang aja, aku nggak takut!" kata Wira sembari menatap mataku dalam.
"Maaf, semuanya jadi 268 ribu Mas, Mba." Mba penjaga kasir membuyarkan pertengkaran kami.
"Oh, iya Mba," kataku malu sambil kuambil 3 lembar uang seratus ribuan.
Setelah menerima kembalian, kami bergegas menuju ke arah motor Wira.
"Makan dulu ya, kamu pasti lapar. Udah siang juga," ajak Wira.
"Oke," kataku lalu segera naik motornya.
Kami makan di sebuah cafe yg tidak jauh dari toko buku tadi.
Saat makan pun, kami masih sering bercanda dan terkadang saling melontarkan ejekan.
"Udah yuk, nanti kesorean lagi bimbingan nya," kata Wira.
Sesuai perjanjian tadi, aku yang mentraktir makanannya. Kami berjalan ke parkiran depan, masih dengan ledekan yang kulontarkan ke Wira.Tiba-tiba, dari arah jalan raya ada sebuah mobil yang oleng tak terkendali. Mobil itu melesat cepat ke arah kami. Wira mendorongku menjauh, hingga aku terjatuh di trotoar jalan.
Brak!
Mobil itu menabrak Wira tepat di depan mataku. Aku bisa melihat darahnya yang muncrat. Wira lalu menghantam tembok yang ada di belakangnya hingga tembok itu hancur.
Astaga, Wira!
Hatiku sakit sekali melihatnya.
Kalau sampai terjadi apa-apa padanya, aku pasti akan merasa sangat bersalah. Aku terbengong menatap mobil yang sudah menabrak Wira. Kudekati perlahan, dengan kondisi kakiku yang lemas tak bertenaga.
Tak lama, beberapa orang menghampiriku.
"Wira! Kak Wira!" teriakku diiringi tangisan yang sudah tidak terbendung.
Aku berjalan sempoyongan ke mobil itu dan mencari di mana keberadaan Wira. Kubuang satu persatu runtuhan tembok guna mencari keberadaan Wira dengan isak tangis yang mulai terdengar. Ada seorang ibu yang memelukku agar aku menjauh dari sana. Beberapa orang mulai mengerumuni mobil tadi dan berusaha membantu.
"Kak Wira! Temen saya di sana, Pak, tolongin!" pintaku memelas dengan derai air mata yang membuat wajahku basah.
"Nanti, kami coba lihat ya, Mba?" kata salah satu bapak-bapak yang ada di sana.
Mereka mulai mencari dan membuka reruntuhan tembok. Korban di dalam mobil sudah dikeluarkan, tinggal mencari keberadaan Wira.
"Mba, nggak ada orang gitu kok?" kata bapak tadi sambil menatapku heran.
"Nggak mungkin, Pak. Pasti ada temen saya. Tadi dia dorong saya biar nggak ketabrak. Pasti dia di sana, Pak," kataku masih bersikeras.
"Nay …."
Suara ini ... Wira? Apa aku halusinasi ya? Sampai-sampai suaranya dapat kudengar dengan jelas. Namun, ternyata dia sudah berdiri di hadapanku tanpa luka sedikit pun. Ternyata, aku tidak berhalusinasi. Aku berdiri menatapnya. Kuamati setiap inci tubuhnya, guna mencari luka di sana.
"Oh, ini temannya, Mba? Gak apa-apa gitu kok, Masnya," kata bapak tadi, sembari ikut memperhatikan Wira yang kini berdiri di hadapanku.
"Iya pak, tadi saya sempat menghindar," jelas Wira sopan.
Orang-orang di sana mulai menjauh dariku dan Wira, karena kami selamat. Lalu, mereka membantu mengamankan TKP tadi. Aku berdiri, masih menatapnya bingung. Lalu, kupeluk dia sembari terisak.
"Hei ... aku gak apa-apa, Nay," kata Wira lembut sambil membelai kepalaku.
"Aku takut banget kamu kenapa-napa tadi. Aku pikir kamu ketabrak, Kak. Hiks...."
"Udah, yang penting aku gak apa-apa kan? Yuk, kita balik," ajaknya seraya melepas pelukanku dan menggandengku menuju motornya.
Kupeluk dia lebih erat dari sebelumnya. Aku masih merasa takut karena bayangan saat dia tertabrak tadi, masih sangat jelas di mataku.
Ah, benar. Aku memang melihatnya tertabrak mobil tadi. Aku yakin, bahwa aku tidak salah lihat. Tapi, bagaimana bisa dia selamat tanpa luka sedikit pun?
Tanpa kusadari, kami sampai di sebuah rumah yang cukup besar. Letaknya ada di pinggir kota, jauh dari keramaian. Bahkan, sejauh mataku memandang, hanya rumah ini satu-satunya yang ada di sekitar sini.
Apa ... ini rumah Wira?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 323 Episodes
Comments
Yuli Eka Puji R
ga ada di tempat kasir naro minuman botol kaca adanya kondom🤣😂😂😂
2023-07-24
0
Jonet Afendi
Asyik nih Ceritanya.....saya suka....jadi pingin kuliah lagi eh...indahnya kisah cinta ...
2022-11-24
0
Edmundus Ason
uh, masa ada orang yang nabrak dibiarkan aja thor, walaupun selamat, itu ngak mungkin terjadi didunia nyata
2022-10-06
0