Seruni
Sambil menangis, aku memeluk Ibu Pertiwi yang mengantar kepergianku. Ini adalah perpisahan kami setelah selama 15 tahun aku selalu diasuh Ibu Pertiwi.
"Maafkan Ibu, Runi. Ibu tak bisa mempertahankan kamu di sisi Ibu. Ibu hanya bisa mendoakan agar kamu bisa sukses dan mandiri. Maafkan Ibu ...." Entah sudah berapa kali Ibu Pertiwi meminta maaf padaku.
Aku melambaikan tangan dan naik angkot bersama Ibu Lina yang sudah menungguku. Selamat tinggal, Ibu. Aku janji, jika aku sukses nanti, aku akan datang kembali dan mengajak Ibu Pertiwi tinggal bersamaku.
"Sudah, jangan menangis terus. Nanti mata kamu bengkak, bagaimana bisa bekerja?" kata Ibu Lina setelah angkot yang kami tumpangi sudah memasuki kota. Aku memang terus menangis sejak tadi. Aku sedih berpisah dengan keluargaku namun aku terpaksa. Aku tak mau terus menyusahkan Ibu Pertiwi. Aku harus mandiri dan bisa hidup dari hasil usahaku sendiri.
"Nanti kalau bekerja harus banyak senyum. Sepupu saya bilang, kamu mungkin akan ditempatkan di bagian dapur. Kerja yang benar agar punya gaji yang besar!" nasehat Ibu Lina.
Aku menganggukkan kepalaku seraya menghapus air mataku yang seakan tak mau berhenti mengalir. Kami akhirnya sampai di tempat yang kami ketemuan. Setelah menunggu kurang lebih setengah jam, akhirnya saudara sepupu Ibu Lina datang.
"Nah, itu Putri sudah datang!" Ibu Lina menunjuk perempuan muda yang baru turun dari sebuah mobil sedan tua. Perempuan bernama Putri itu mengenakan celana jeans dengan kaos berkerah V yang ketat dan menonjolkan lekuk tubuhnya.
"Dia yang mau bekerja?" tanya Putri tanpa basa-basi padaku. Putri menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Masih muda, baguslah. Siapa nama kamu?"
Dengan jari-jariku aku membentuk namaku. "Seruni." *
"Hah? Kok gitu? Dia gagu ya?" tanya Putri sambil menatapku dengan heran.
Ibu Lina menepuk lengan Putri. "Kemarin sudah kukatakan kalau Seruni itu bisu, kamu tidak dengar?"
"Mana aku dengar? Suara musik di tempat kerjaku sangat kencang. Sebenarnya di tempatku tidak menerima karyawan yang punya cacat fisik macam dia tapi aku akan bicara deh sama bos-ku. Ayo, kita pergi sekarang!" Putri berbalik badan dan kembali masuk ke dalam mobil.
Aku menghela nafas lega. Aku masih ada harapan bisa bekerja. Aku pamit pada Ibu Lina dan tak lupa berterima kasih padanya dengan bahasa isyaratku. Aku masuk ke dalam mobil dan tak tahu akan dibawa kemana oleh Putri.
****
"Pakai ini!" Putri melempar sebuah dress warna merah dengan panjang selutut. "Pakai make up juga!"
Aku heran, kenapa aku harus bekerja dengan pakaian seperti itu? Bukankah kalau bekerja di restoran ada seragamnya? Saat diajak makan oleh donatur ke restoran, aku melihat pelayannya mengenakan baju seragam, kenapa aku malah memakai dress dan disuruh berdandan cantik?
"Kenapa aku harus pakai baju ini?" tanyaku dalam bahasa isyarat.
"Ih, kamu bicara apa sih? Aku enggak ngerti! Sudah ikuti saja apa yang aku suruh. Jangan kebanyakan protes. Sudah ditolong, banyak protes pula!" Dengan kesal Putri meninggalkanku.
Aku memakai dress merah yang Putri berikan lalu memakai make up. Aku tak mengerti caranya namun aku pernah melihat Ibu Pertiwi dandan. Hasilnya lumayan, wajahku jadi tambah cantik.
"Sudah?" Putri terkejut melihat penampilanku. Ia sudah berganti pakaian yang lebih seksi dari sebelumnya dan juga sudah memakai make up tebal. "Kayaknya si bos akan ijinin kamu kerja deh kalau kamu begini. Ayo, kita berangkat sekarang!"
Dengan patuh aku mengikuti perintah Putri. Ia mengemudikan mobil sedan tuanya menuju kota. Aku jarang jalan-jalan ke kota di malam hari. Anak kampung sepertiku langsung norak melihat kota S begitu ramai.
Mobil Putri berbelok ke sebuah gedung. Putri memarkirkan mobilnya lalu mengajakku masuk ke dalam gedung. Aku mulai merasa ada yang aneh. Bukankah Ibu Lina mengatakan kalau aku akan diajak bekerja di restoran? Kenapa aku malah pergi ke gedung area perkantoran?
Tak mau menerka-nerka, aku mengikuti saja kemana Putri membawaku. Kami naik lift ke lantai 10. Saat tiba di lantai 10, suara musik kencang langsung menyambut kedatangan kami.
Ternyata memang benar ada restoran toh di lantai 10. Wah, aku sudah berburuk sangka saja pada Putri. Aku pikir dia akan berbohong padaku.
Putri mengajakku masuk ke dalam sebuah ruangan gelap dengan banyak lampu warna-warni menyorot ke bagian tengah ruangan dan suara musik yang berdentum kencang. Banyak orang berjoget sambil menggelengkan kepalanya, ada juga yang berpelukan dan bermesraan. Restoran macam apa ini? Bukannya makan, kenapa mereka malah berjoget?
Putri nampak berbicara dengan seseorang lalu menunjuk ke arahku. Aku menunggu Putri memanggilku sambil melihat keadaan sekitar. Tempat apa ini? Restoran macam apa ini? Aku tak pernah tahu kalau ada restoran yang seperti ini? Bau rokok begitu pekat menusuk indra penciumanku. Banyak orang yang berciuman dan bermesraan di tempat ini tanpa tahu malu. Restoran macam apa yang memperbolehkan pelanggannya melakukan hal tersebut? Kenapa perasaanku tidak enak ya? Kenapa aku merasa ini bukan restoran pada umumnya?
Aku terkejut saat Putri menepuk bahuku. "Ayo, kamu bisa mulai kerja sekarang!" Putri mengajakku pergi ke sebuah ruangan. Aku bingung, aku akan bekerja apa?
"Masuklah, layani pelanggan di dalam!" perintah Putri.
Aku bertanya pada Putri apa yang harus aku lakukan -tentunya dalam bahasa isyarat- namun Putri malah marah padaku. "Ah! Aku tidak mengerti kamu ngomong apa!"
Aku mengeluarkan kertas dan pulpen yang selalu tersedia di sakuku. Sayangnya Putri tak sabaran menunggu. "Tak usah ditulis, percuma. Tak akan kelihatan di tempat remang-remang begini. Udah deh, jangan bawel. Kamu masuk saja dan layani pelanggan di dalam. Mau uang tidak? Kalau mau, kerja!" Putri membuka pintu ruangan lalu mendorongku masuk ke dalam dengan agak kasar. Ia menutup rapat pintu di belakangku.
Aku melihat di dalam ruangan tampak seorang bapak-bapak berusia hampir 50 tahun dengan perut buncit dan kepala plontos sedang meminum sesuatu dari botolnya secara langsung. Dua kancing kemejanya terbuka dengan dasi yang sudah dikendorkan dengan asal. Bapak-bapak tersebut tersenyum lebar melihatku. Tangannya melambai menyuruhku mendekat. "Sini! Layani Om!"
Radar bahaya dalam diriku berbunyi. Aku tahu ini bukan pekerjaan yang benar. Aku sadar kalau Putri sudah berbohong, ini bukan restoran, ini tempat tidak benar. Tempat perempuan nakal seperti yang pernah Ibu Pertiwi ceritakan padaku dulu. Tidak, aku tak mau bekerja di tempat seperti ini.
Bapak-bapak itu mendekat padaku dengan langkahnya yang sempoyongan. Aku dengan cepat membuka pintu dan langsung kabur. Putri melihatku pergi lalu menyuruh beberapa Bodyguard untuk mengejarku.
Aku terus berlari menuruni tangga dan terus berlari tanpa menoleh ke belakang. Aku tak mau diriku tertangkap. Aku harus pergi dari tempat tersebut. Ya Allah ... tolong aku. Aku tak mau bekerja seperti ini. Tolong selamatkan aku.
Aku berusaha bersembunyi dari para Bodyguard yang terus mengejarku. Aku berlari ke parkiran mobil, satu-satunya tempat untuk bersembunyi adalah di dalam mobil yang sedang di parkir. Aku membuka beberapa pintu mobil, sayangnya semua terkunci namun saat ada yang membunyikan alarm mobil, aku cepat-cepat menuju mobil tersebut. Diam-diam aku masuk ke dalam mobil dan bersembunyi di dalamnya.
Tak lama pintu mobil terbuka, seorang Nyonya cantik masuk dan tak menyadari keberadaanku. Nyonya tersebut mengemudikan mobilnya pergi dari gedung ini. Aku melihat para Bodyguard itu kebingungan mencari keberadaanku. Baru saja aku hendak bernafas lega, secara tiba-tiba mobil berhenti mendadak. "Siapa kamu? Kenapa kamu ada di mobilku?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
Katherina Ajawaila
awal cerita yg menyedihkan, SMP hari putri org ngk bisa bicara di tipu, ibu Lina main percaya aja restoran apa, jual daging basi. tega benar 😭
2024-10-09
0
Sri
waduh ibu lina biadab juga , orang kesusahan malah digituin dgn dalih "menolong"
2024-09-09
0
Syukurlah masih selamat seenggaknya selamat dari tempat itu dulu.
yang bohong Putri apa ibu Lina tuh?
ktanya pekerjaan di restoran?
2024-08-18
1