Renata dengan gontai berjalan menyusuri kampus, menuju fakultasnya, Fakultas Seni Rupa dan Desain. Renata mengambil jurusan desain komunikasi visual, yang sudah menarik minatnya sedari SMA.
Tak biasanya Renata tak bersemangat ke kampus. Mungkin karena sudah dua kali hari Minggu ia lewatkan tanpa menikmati cowok tampan anak penjual baju di pasar. Terakhir Renata hanya melihat cowok itu dari dalam mobil papanya, sedang membeli penthol langganannya. Wajah tertawanya, menambah pesona yang membuat jantung Renata riuh bahagia.
'Hhh... Kalo saja aku tau namanya. Kan bisa stalking di media sosial,' pikir Renata.
Renata lalu mengambil ponsel dari sakunya. Menyelami media sosial sambil berjalan menuju fakultasnya yang memang cukup jauh dari gerbang utama kampus. Fokus Renata hanya pada ponselnya. Selain untuk mengalihkan perhatiannya dari memikirkan cowok gebetannya, Renata juga sibuk mencari ide untuk proposal skripsinya.
Ya, meskipun berbadan dan berwajah imut, Renata adalah mahasiswa tingkat akhir yang disibukkan dengan segala macam yang berkaitan dengan skripsi. Tak sedikit yang menyangka Renata masih duduk di bangku SMA.
"Nebeng dek?" tanya sebuah suara yang mengalihkan fokus Renata.
"Hih! Iko!!!" teriak Renata sebal, ketika mengetahui teman satu kelasnya, Iko meledeknya. Iko hanya nyengir.
"Aku kira om-om ganjen," kata Renata yang sudah melemparkan pantatnya di jok motor matic Iko.
"Sial! Cakep kek Vino G. Bastian gini dibilang om-om ganjen," kata Iko sambil melajukan motornya.
"Eh, Vino G. Bastian itu udah bapak-bapak. Kalo dibandingin sama umur kita, jadinya dia om-om," kata Renata.
"Iye iye. Terserah lo aja, yang penting lo bahagia. Biar seisi dunia ikut bahagia," kata Iko.
"Harusnya kamu masuk sastra, Ko," kata Renata yang selalu kagum dengan bahasa Iko yang menurutnya selalu indah dan puitis.
"Ogah. Gue nggak mau mikir berat-berat," kata Iko asal.
"Heh, kuliah kita juga berat kalik," kata Renata.
"Tapi kan enak. Banyak gambar-gambarnya," kilah Iko.
"Kenapa nggak masuk seni rupa aja dulu?"
"Nggak keterima cuy. Sedih," kata Iko sambil membelokkan motornya ke fakultas mereka.
"Jadi dulu sempet milih seni rupa?" tanya Renata sambil turun dari motor Iko yang sudah terparkir rapih.
"Iya. Pilihan pertama seni rupa, pilihan kedua DKV. Keterimanya di DKV. Ya udah. Nasib. Takdir. Apalah daya manusia melawan kuasa Tuhan," kata Iko sambil melepas helm dan menggantungkannya di spion kanan.
"Mulai deh..." kata Renata.
"Cocok ya jadi pujangga?" tanya Iko sambil cengar cengir.
"Salah jurusan sih,"
"Nyari yang salah-salah, biar anti mainstream,"
"Susah ngomong sama kamu,"
"Lah dari tadi ngapain? Kumur-kumur?"
"Nggak. Nyanyi,"
"Pantesan suaramu terdengar merdu di telinga ku,"
"Ikooo!!!"
Tanpa Renata sadari, ada sepasang mata yang sedang mengamati gerak geriknya. Senyum terkembang melihat tingkah Renata dan kawannya, atau pacarnya?
'Lucu,'
***
"Eh, btw rame banget tadi di depan?" tanya Renata pada Lala yang sudah nongkrong di dekat tangga menuju lantai dua.
"Mahasiswa dari kampus sebelah," jawab Lala sambil sibuk dengan ponselnya.
"Kampus sebelah? Kampus mana? Ngapain? Ada acara apa?" tanya Renata, lalu duduk di samping Lala.
"Universitas Muhammadiyah. Acara galang dana untuk Palestina," jawab Lala masih sibuk dengan ponselnya.
"Itu bukan kampus sebelah namanya," protes Iko.
"Hehe... Itu mereka mau bantu jualin karya seni mahasiswa kita di acara kampus mereka. Naaah, yang pada kesini tuh mau angkutin karya-karya seni yang udah disetujui sama dosen dan senimannya," kata Lala yang sudah fokus pada kedua temannya.
"Oooo~" Iko dan Renata menanggapi bersamaan.
"Karya kita nggak ada yang ikut?" tanya Renata.
"Nggak tau sih. Kita kan jarang ngelukis. Paling poster-poster. Mana laku dijual?" kata Lala sambil tersenyum kecut.
"Nggak bisa ikutan galang dana dong," kata Renata dengan nada sedih.
"Kalo lo mau, dateng aja ke acara di kampus mereka. Beli sesuatu disana. Katanya hasil dari penjualan disalurkan ke Palestina langsung," kata Lala.
"Abis kuliah kesana?" tanya Iko pada Renata.
"Kamu mau kesana?"
"Kemana angin kan membawa hati mu, aku akan kesana," kata Iko sambil tersenyum.
"Iya iya, Abang Pujangga," kata Renata yang mulai risih dengan segala macam kalimat puitis dari Iko. Iko terkekeh.
Ketiga mahasiswa tingkat akhir itupun menuju kelas mereka, mengikuti masa-masa akhir perkuliahan dengan pikiran bercabang yang sulit ditata. Meski begitu, mereka sukses melewati hari dengan lancar.
"Jadi kita pergi?" tanya Iko pada Renata dan Lala.
"Gue skip. Nyokap barusan chat, suruh nemenin ke acara temennya," kata Lala.
"Lo gimana, Dek?" tanya Iko pada Renata dengan wajah cengar cengirnya yang khas.
"Ayo ah. Tapi helm gimana?" tanya Renata bingung, karena dia biasa naik bus ke kampus.
"Gampaaang... Cus," ajak Iko. Tanpa bertanya, Renata segera naik ke motor Iko.
"Ati-ati," pesan Lala kepada sahabatnya itu.
Iko melajukan motornya menyusuri jalanan kampus yang ramai karena memang ini jam-jam perkuliahan selesai. Motor Iko dengan gesit melaju menuju gerbang belakang kampus. Meski bingung, Renata tak menanyakan apapun pada Iko. Motor Iko berhenti di sebuah rumah kos yang Renata tahu itu adalah kos Iko.
"Gue ambilin helm dulu," kata Iko. Renata mengangguk.
Tak lama, Iko sudah keluar membawa helm boogie warna hitam dan menyerahkannya pada Renata.
"Siap melaju?" tanya Iko memastikan Renata sudah siap.
"Yup!"
Motor Iko kembali melaju menuju kampus tujuan yang membutuhkan waktu kurang lebih tiga puluh menit dari kampus mereka.
"Berarti gue anter pulang lo sekalian ya? Nanggung udah sampe tengah-tengah," kata Iko di tengah perjalanan mereka.
"Ntar kamu kejauhan baliknya," kata Renata.
"Halah. Cowok juga, biasa motoran jauh-jauh," kata Iko. Renata hanya diam.
"Sekalian sungkem sama camer," kata Iko dengan nada becanda. Satu timpukan kemudian mendarat di bahu Iko.
"Mungkin ada malaikat lewat lalu membawa serta doa ku untuk dikabulkan Tuhan," kata Iko, mulai puitis.
"Mulai..." kata Renata, jengah.
Tak terasa motor Iko sudah sampai ke kampus tujuan. Suasana cukup ramai dengan banyak hiasan berbau Palestina. Banyak pengunjung yang didominasi orang-orang berhijab, yang mungkin mahasiswa dari kampus tersebut.
"Kita salah masuk nggak sih?" tanya Iko melihat ke sekitar.
"Bener. Udah, yuk. Keburu kesorean," ajak Renata sambil bergegas masuk menuju tempat acara.
Banyak booth-booth yang berjajar disana. Mulai dari kuliner, pakaian, hingga karya seni dan kerajinan. Renata dan Iko sibuk mencari booth kampus mereka, sambil sesekali mampir ke booth makanan dan minuman untuk membeli camilan dan minuman untuk dimakan sambil jalan.
Akhirnya mereka menemukan booth kampus mereka yang bertajuk "Karya Seni Anak Bangsa untuk Palestina". Renata dan Iko bergegas menuju kesana. Renata berjalan sedikit tergesa-gesa karena harus segera pulang. Sampai akhirnya...
"Bruuuk..." Renata menabrak seseorang.
"Duh," Renata mengaduh karena terjatuh.
"Maaf," kata seseorang yang bertabrakan dengan Renata sambil mengulurkan tangan, hendak membantu Renata berdiri.
"Eh, iya. Nggak apa-apa, saya yang salah juga, nggal liat-liat," kata Renata sambil mengelap tangannya yang terkena sedikit serpihan pasir.
Betapa terkejutnya Renata ketika menengadah dan melihat sosok cowok yang sangat dikenalnya, yang coba dia nikmati setiap hari Minggu.
'Terimakasih, Tuhan,'
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments