Aku tersentak dan membuka mata mendadak saat seleret cahaya matahari menembus kaca jendela dan terasa panas membakar wajahku.
Aku bangun dengan cepat, merasa mual dan pusing. Kupejamkan mata sejenak sebelum memandang sekitar dengan nanar.
Aku tertidur semalaman dalam mobilku, yang sudah terparkir di halaman depan Istana, dekat jajaran rapi pohon palem tinggi. Entah sejak kapan aku sampai--aku tidak ingat. Kulirik arlojiku. Aku tersentak saat melihat waktu telah menunjukkan pukul sembilan pagi.
Sial! Aku terlambat!
Aku buru-buru menegakkan kursi dan menyalakan mesin, lalu memutar mobil dan meluncur keluar gerbang. Namun, Pasukan Pelindung menghalangiku keluar.
"Apa-apaan ini?" aku membuka jendela dan melongokkan kepala dengan marah. "Aku harus pergi menjalankan misi!"
"Perintah Presiden. Kamu dilarang keluar Istana hari ini," sahut salah satu Agen Pelindung bersenjata laras panjang, tatapannya garang. "Kembalilah."
Aku membelalak.
Setelah memarkir mobil, aku berjalan memasuki Istana sambil mengecek arlojiķu dengan cepat. Kutemukan satu pesan pribadi dari Randu yang dikirim ke ponselku.
Puri tidak masuk sekolah hari ini. Dia sakit. Kamu tidak perlu menjaganya hari ini. Dia aman di rumahku.
Aku tertegun. Puri sakit?
Aku teringat saat dia pingsan di pelukanku kemarin sore dan wajahnya yang seperti putri tidur saat aku meninggalkannya di rumahnya...
Aku tahu persis apa yang menyebabkannya pingsan. Ia terguncang karena bertemu diriku dan melihatku mati di pangkuannya di masa kehidupan ribuan tahun lalu. Visi seperti itu terus membanjiri benaknya seperti hujan badai yang tak bisa dihentikan.
Aku mengerutkan alis. Aku bahkan masih tidak bisa percaya visi seperti itu benar-benar terjadi. Tapi dia sepertinya begitu percaya hingga tak sadarkan diri berkali-kali kemarin. Bahkan dia sampai sakit dan tidak masuk sekolah hari ini.
Konyol sekali.
Tapi mungkin ada untungnya juga dia tidak masuk hari ini... aku begitu teledor sampai kesiangan untuk pergi ke sekolah. Meski jarak rumah Puri ke sekolah hanya sepuluh menit berjalan kaki dan di gedung tua itu tak ada apapun yang bisa membahayakan nyawanya, tapi tetap saja aku telah berkomitmen sebagai Agen Pelindung yang wajib melindunginya selama dia berada di luar rumah.
Dan, yang memalukan, aku gagal melakukannya pagi ini, terlepas dia pergi ke sekolah atau tidak... aku harusnya selalu siaga dan melaksanakan tugasku dengan benar.
Aku mengutuk diriku sendiri. Rasa malu dan amarahku membuncah. Aku menuju kamarku di paviliun, mengganti pakaian dengan setelan olahraga, lalu berlari ke arena gym dan menembak.
Aku menghabiskan waktu cukup lama untuk berlatih bela diri. Kuhajar samsak tinju sampai rontok dan kayu-kayu peraga sampai remuk. Buku-buku jariku berdarah, tapi aku tak peduli. Aku perlu meluapkan semua emosiku saat ini.
Masih untung aku tidak meledakkan tempat ini dengan bom atom, yang aku tahu tersimpan jauh di bawah tanah pondasi Istana ini.
Pukul dua belas siang, setelah tubuhku letih dan gemetar karena terlalu banyak latihan, aku mengenyakkan diri di kursi dan meja beranda paviliun tempatku biasa bersantai dan makan. Kubuka tabletku, memesan makanan dalam jumlah banyak, dan dengan cepat menelusuri semua laporan, data, pesan yang ada di server khusus Pasukan Pelindung dan Intelijen Negara.
Tak ada yang ganjil. Semua normal dan aman.
Aku membuka situs berita negara, dan terkejut melihat laman utama menayangkan berita penyerangan di Stasiun Ibukota kemarin. Ada fotoku yang diambil dari jauh saat melenggang tenang keluar Stasiun, tepat setelah membereskan pelaku yang sudah mengancam nyawa seorang anak kecil yang tidak bersalah.
Arya Balawa, Agen Pelindung Negeri Laut Pasir sekaligus keponakan Presiden Dirah Mahalini, berjasa menyelesaikan kasus penyerangan di Stasiun Ibukota. Pelaku tewas dalam ledakan bom yang dipasangnya sendiri, sementara sandera seorang anak kecil dan Agen Arya selamat tanpa terluka sedikit pun.
Aku mengerutkan alis. Kulihat foto-foto sang anak yang selamat dalam gendongan Dokter Kama, gerbong yang hancur, dan foto situasi penyanderaan yang sempat diambil sebelum aku datang. Bahkan ada fotoku dan Dokter Kama bernegosiasi dengan pelaku sebelum ledakan, lalu fotoku berjalan sendirian meninggalkan reruntuhan gerbong yang terbakar. Dilihat dari sudut pengambilannya, jelas foto ini diambil Agen Pelindung yang berjaga di peron Stasiun kemarin.
Situs berita ini menayangkan berita yang tentunya sudah lolos kurasi negara.
Kenapa mereka memamerkanku seperti ini? Apa maksudnya?
Mada Brata muncul dengan troli penuh makanan. Ia menyajikan steak, sup daging, roti, kentang tumbuk, potongan bebek panggang, sayur-sayuran, omelet, sosis bakar, tumis jamur, apel, jus buah, air, susu.
Mejaku penuh dengan hidangan. Aku menghabiskan semuanya tanpa sisa, seakan tidak makan berhari-hari.
"Tuan Arya mau hidangan pencuci mulut?" tanya Mada saat membereskan piring. Kuabaikan hantu pikirannya yang memancarkan rasa kagum dan minat berlebihannya padaku.
"Tidak, trims," tolakku. Aku tidak suka makanan manis.
"Presiden ingin saya menyampaikan pesan untuk Tuan Arya. Malam ini, Presiden mengundang Tuan Arya untuk makan malam pribadi di Paviliun Anggrek, pukul tujuh. Harap persiapkan diri."
Aku terkejut, tapi tidak bicara apa-apa. Rasa nyeri itu kembali terasa di rongga dadaku. Aku mengatupkan bibir, memejamkan mata, dan menarik napas dalam-dalam.
Setelah napasku membuatku lebih tenang, aku berusaha menyusun pikiranku dengan jernih.
Melalui visi Puri kemarin, aku tahu bahwa Dirah Mahalini adalah ibuku. Ia perempuan yang melahirkanku tujuh belas tahun lalu. Ia merahasiakan hal itu dan membohongi seluruh dunia. Ia menitipkanku untuk dibesarkan Galang di Akademi Militer Negeri Bukit Tinggi, mengatakan bahwa aku adalah keponakannya.
Tujuh belas tahun aku hidup tanpa mengenal betul siapa orangtua kandungku. Meski begitu, aku bisa bertahan hidup dengan baik sampai aku terjun langsung ke neraka pertempuran dua tahun lalu.
Aku menghabiskan hariku bertaruh nyawa, dan di saat aku hampir mati, Dirah mengutus Dokter Kama untuk menyelamatkanku. Ia membujukku untuk menjadi Agen Pelindung Negeri Laut Pasir, membuatku pulang dan tinggal di negeri ini, tanpa pernah memberitahukan kebenarannya padaku.
Dirah membuatku percaya aku yatim piatu sejak kecil. Aku tak pernah merasakan sentuhan dan kasih sayang seorang ibu sejak aku lahir hingga dewasa. Jika saat ini aku tahu dia adalah ibu kandungku, apa gunanya? Tak akan membuat perbedaan apapun.
Aku mengingat tindakanku mabuk-mabukan semalam, merasa tolol dan konyol. Gara-gara itu aku merendahkan pertahanan dan standar diriku sendiri. Aku hampir gagal menjalankan misi hari ini. Itu kesalahan terbodoh yang pernah kulakukan.
Aku selalu bisa bertahan dan berjuang di situasi perang berdarah sesulit apapun, jadi kenapa sekarang aku lembek dan mudah limbung hanya karena aku tahu aku masih punya ibu dan telah ditipu seumur hidupku?
Lagipula, aku punya misi untuk melindungi Puri sekarang. Aku menyaksikan sendiri betapa hebat kekuatan magisnya kemarin. Aku tahu, kekuatan itu akan membuatnya diincar dan dibunuh jika sampai diketahui musuh. Tugasku adalah menjaga rahasia itu dan memastikan hidupnya tetap aman sampai kapan pun.
Aku harus bisa mencegah perang dan melindunginya sekuat tenaga. Aku wajib fokus pada hal itu sekarang. Lainnya tidak penting.
Dan jangan sampai aku mengulang ketololan seperti semalam. Sampai kapan pun.
Karena tidak boleh meninggalkan Istana dan tidak menjalankan misi apapun, aku memutuskan menghabiskan waktu dengan menggali ide-ide untuk merancang berbagai jenis senjata baru. Ini adalah salah satu kegemaranku sekarang. Sejak memulai perang gerilya di Negeri Tanjung Agung dan berhasil mencuri data serta senjata Pasukan Negeri Lembah Merah, aku mulai belajar cara membuat berbagai jenis senjata, lalu mencoba mengembangkannya sendiri. Semua itu memakan waktu, tapi hasilnya membuatku sangat puas.
Aku bisa membuat bola perisai elektrik yang kusematkan dalam pistolku untuk melindungi diri, anti sadap tercanggih, bahkan bom yang tak terdeteksi dan bisa meledakkan apapun dalam radius lima ratus meter--melenyapkan semuanya tanpa bekas sama sekali, menyisakan hanya butiran debu hitam halus yang segera saja hilang ditiup angin.
Bom itu sudah melenyapkan pangkalan militer Negeri Lembah Merah di perbatasan antara Negeri Lembah Merah dan Negeri Tanjung Agung yang musnah. Itulah yang membuatku diburu secara besar-besaran hingga aku tersudut di lubang persembunyianku. Aku mengaktifkan bom yang sama untuk bunuh diri sekaligus membawa semua pemburuku ke neraka bersamaku, tapi kemudian Dokter Kama muncul. Ia memingsankanku dari belakang dan membawaku pergi secepat kilat, tepat sedetik sebelum bom itu meratakan semuanya hingga menjadi tanah.
Para pemburuku tewas tanpa jejak. Musuh di Negeri Lembah Merah mengira aku tewas di tempat.
Tapi begitu mereka melihat situs berita pagi ini, mereka akan tahu aku masih hidup dan berada di Negeri Laut Pasir. Aku menghela napas panjang dan mengerutkan alis.
Kenapa negara sengaja mengekspos diriku seperti ini? Agar Negeri Lembah Merah gentar? Supaya mereka datang ke sini dan memburuku? Agar perang pecah di masa depan?
Sebisa mungkin, aku ingin mencegah perang terjadi di negeri ini. Aku tak keberatan bertempur selama bertahun-tahun di Negeri Tanjung Agung karena negeri itu memang nyaris musnah saat itu. Hampir tak ada kehidupan tersisa di sana setelah Negeri Lembah Merah membombardir seluruh penjuru negeri. Tapi aku tak mau menyebabkan kerusakan atau menghancurkan kota atau negeri yang masih utuh dan mengandung denyut kehidupan. Aku tak ingin perang pecah di sini, dan menimbulkan banyak korban nyawa tak bersalah. Aku sudah pernah menyaksikan genosida seperti itu di depan mataku, dan itu lebih buruk dari apapun. Luka dalam jiwaku tak pernah pulih sejak menyaksikan langsung peristiwa pemusnahan masal di Negeri Tanjung Agung, sampai sekarang.
Aku sama sekali tak mengerti mengapa identitasku diungkap di mata dunia seperti hari ini. Aku harus melindungi Puri, bagaimana aku bisa melindunginya dan rahasianya jika musuh berusaha mengincar dan membunuhku? Aku tidak takut bertarung, aku tidak takut mati. Tapi aku takut gagal menjalankan tugasku. Aku tak ingin Puri terjerumus dalam bahaya dan terbunuh gara-gara aku.
Aku menghela napas panjang. Bahkan otak jeniusku tak bisa paham alasan di balik penayangan berita itu. Nanti malam aku akan bertemu Presiden. Aku akan mengonfrontasinya mengenai masalah ini.
Karena nasi sudah menjadi bubur, aku tak punya pilihan selain terus melangkah maju dan mengantisipasi hal-hal yang mungkin terjadi ke depannya. Kalau musuh akan datang dan menantangku, aku harus siap melawan dan membunuh mereka semua. Aku tak akan membiarkan Puri dan negeri ini terancam mati. Aku siap pasang badan untuk itu, dan aku akan mempersiapkan segalanya dari sekarang. Salah satunya, dengan merancang senjata yang tak pernah dilihat dan tak diduga siapapun di dunia ini. Senjata yang lebih kuat dari punya musuh, membuat mereka tak siap dan tak berkutik.
Seperti bom itu.
Aku berusaha mendesain ulang bom itu ke bentuk yang lebih praktis dan mudah dibawa. Selain itu, aku berpikir keras untuk meningkatkan kekuatan destruktifnya. Pasukan Negeri Lembah Merah punya perisai elektrik yang bisa dipakai melindungi diri. Perisai jenis itu tak bisa ditembus manusia atau senjata jenis apapun sampai sekarang. Aku harus bisa menemukan formula melubangi perisai itu, bagaimana pun caranya.
Aku menghabiskan waktu sampai senja dengan tabletku, membuat ratusan desain dan formula.
Aku sudah bisa menemukan rancangan yang pas untuk bom itu sesuai keinginanku. Aku mendesainnya seukuran kancing baju, ringan dan mudah dibawa ke mana-mana tanpa terdeteksi. Komponen bomnya berhasil kumodifikasi hingga muat dalam ukuran terkecil, dan lulus uji rancang melalui perangkat lunak simulasi senjata. Tinggal merakitnya dan menguji cobanya langsung nanti.
Tetapi aku belum bisa menemukan formula yang tepat untuk menghancurkan perisai elektrik. Aku melontarkan dan menyusun berbagai rumus, menelusuri tabel ribuan zat dan materi, mengombinasi dan memecah berbagai unsur, tetap saja hasilnya nihil.
Aku menghela napas panjang tepat saat Mada Brata muncul dan berdiri di sebelahku.
"Apa?" bentakku jengkel. Pikiran dan perasaannya masih saja menjijikkan saat memandangku, penuh minat dan agak bernafsu.
"Presiden sudah menunggu Anda untuk makan malam di Paviliun Anggrek. Apakah Anda bisa segera bersiap dan datang ke sana?"
Aku benar-benar lupa soal makan malam itu. Aku berdiri secepat kilat dan kembali ke kamarku. Kusimpan dan kukunci tabletku di brankas khusus dalam lemari. Aku buru-buru mandi, mengeringkan diri, dan memakai kemeja lengan pendek putih serta celana panjang hitam. Kukenakan arloji, sepatu bot, dan menyelipkan pistol di baliknya. Kusisir rambut ikalku--yang mau disisir model bagaimanapun tetap saja berantakan. Aku menyemprot parfum ke tubuhku, mengantongi ponselku, kemudian menutup pintu kamar dan berlari menuju Paviliun Anggrek.
"Maaf aku terlambat."
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments
Amelia
di rebonding 😀😀
2024-05-02
0
Amelia
hah🙄🙄
2024-05-02
0
Wistari
pasti ada udang di balik tepung/Chuckle//Chuckle/
2024-04-19
1