Episode 3

Berbagai macam jenis kerang laut menumpuk di tepi pantai. Diiringi senyuman riang seorang gadis kecil dengan gigi ompong di depan. Wajahnya memerah diterpa terik surya. Tengah hari yang mengasyikkan di atas pasir putih pantai dekat rumah kami.

Setelah mengumpulkan kerang-kerang indah, kami lanjut membentuk pasir yang basar menjadi sebuah istana. Dibentuk menggunakan ember biru kesayangannya. Sedangkan aku bertugas untuk menambah beberapa bentuk kecil dengan mangkuk kecil yang biasanya ia gunakan untuk bermain masak-masakkan.

Setelah istana selesai dibuat, kami akan menggunakan kerang-kerang tersebut sebagai hiasannya. Membuat istana tampak silau dengan tambahan terpaan sinar matahari.

“Istana kita cantik sekali,” ujar si gadis kecil.

Kala itu kami masih berusia masing-masing 7 tahun.

“Iya, kita pandai membuatnya,” jawabku.

Kini kami sama-sama berdiri seraya tersenyum lebar ke arah istana pasir berhiaskan kerang-kerang indah buatan kami.

“Falih, kita akan menjadi raja dan ratu di istana kerang,” ucap Hafa.

“Tapi artinya raja dan ratu adalah pasangan suami-istri. Kita ‘kan masih kecil, Hafa.”

Ombak pasang terdengar berisik. Beberapa perahu nelayan terlihat baik di tengah lautan maupun di tepi yang belum digunakan. Salah satunya ada ayahku di sana. Sebuah mata pencaharian paling banyak sebagai penduduk yang tinggal di daerah pesisir.

Terlihat manyun pada bibir Hafa setelah mendengar ucapanku. Kemudian ia menyusun alat-alat masak-masakkannya dan dimasukkan ke dalam ember biru kecil. Lantas meraih ranting kayu di dekatnya.

“Tapi ini istana buatan kita. Artinya, ini istana milik kita. Hafa dan Falih. Baiklah, Hafa dan Falih, bukan raja dan Ratu,” jelas Hafa.

Aku menjawab hanya dengan anggukan.

Setelah itu, Hafa berlari lincah ke arah pasir basah. Di sanalah ia menuliskan sesuatu dengan ranting yang dipungutnya barusan. Entah apa yang hendak ia tulis. Padahal tante Zainab sudah memperingatkan kami agar tidak dekat-dekat dengan ombak di siang hari.

Setelan singlet pendek berwarna kuning yang dikenakan Hafa langsung basah. Sebab ia menulis sambil duduk hingga ombak menyapu raganya. Melihat itu, aku langsung buru-buru untuk menarik lengannya agar tidak terlalu dengan dengan ombak.

“Jangan terlalu jauh, Hafa. Ombak sedang pasang. Nanti mama kamu marah!” tegasku.

Sebagai jawaban, Hafa hanya mengangkat bahu dan tetap menulis di tempat yang agak jauh, yakni tempat setelah aku menariknya.

Tertulis, Hafa dan Falih.

“Hanya itu?” tanyaku.

“Tunggu sebentar, Falih. Masih ada lanjutannya,” Hafa menjawab.

“Nah, mau ngapain kalian di sana? Mama ‘kan udah bilang kalau ombak lagi pasang itu jangan deket-deket!” tegas tante Zainab yang muncul tiba-tiba.

Dengan raut wajah terkejut, kami langsung mundur beberapa langkah dan berlari ke arah istana pasir tadi. Tante Zainab menyusul di belakang. Padahal, Hafa belum sempat menulis lanjutannya.

Di tempat semula, tante Zainab langsung mengambil barang-barang Hafa seraya meraih tangan mungil putri kecilnya itu. Hafa yang paham apa yang akan dilakukan mamanya itu langsung menangis dan menggeleng keras-keras.

Ya, ini waktunya tidur siang untuk Hafa.

“Nggak mau, Ma! Hafa masih mau main sama Falih!” gertak Hafa menolak.

“Falih juga pulang, kok. Nggak mungkinlah Mama biarin dia sendiri di sini dengan ombak pasang itu,” jawab tante Zainab seraya melayangkan pandangnya ke arahku.

“Tapi Mama nggak maksa Falih kayak Hafa juga!”

“Itu karena Falih menurut. Coba kalau kamu menurut juga ya Mama nggak akan maksa, sayang,” ujar tante Zainab.

Hafa langsung melihatku dengan pipinya yang telah basah oleh air mata. Juga ingusnya yang ke mana-mana. Namun tidak menutup wajah menggemaskan. Ia terdiam sejenak seolah memastikan tentang keputusanku untuk tetap di tempat atau mengikuti tante Zainab.

“Ayo, Falih. Kita pulang biar Hafa juga mau pulang,” tambah tante Zainab.

Aku mengangguk dan mengekor dari belakang. Sedangkan Hafa digendong. Masih terdngar suara tangisannya, namun ia membiarkan dirinya dibawa pergi sebab ia mengetahui aku turut mengikuti dari belakang. Sebuah kejadian yang sering terjadi sejak kami berusia 5 tahun. Hafa yang sulit disuruh tidur siang, dengan aku yang lebih dibebaskan oleh orang tuaku.

Siapa sangka jika saat-saat seperti ini terjeda selepas masa putih-merah usai.

***

Bulan purnama menggantung pada nabastala hitam di malam hari. Cahayanya cukup untuk menemani malam bakar-bakar ikan kerapu di halaman belakang rumah Hafa. Kami kembali ke rumahnya sore menjelang malam tadi. Sedikit terlambat dan membuat nenek Kai terlihat jengkel. Namun, semua berubah normal dalam sekejap setelah nenek Kai melihatku dan Gema membawakan dua ekor cumi-cumi jumbo dan beberapa ikan lainnya. Itu sebagai tambahan untuk empat ikan kerapu yang kami bawa tadi siang.

Tante Zainab sedang membuat bumbu di dapur. Gema mempersiapkan alat dan bahan untuk memanggang. Hafa dan aku membersihkan ikan dan cumi-cumi jumbo. Ya, aku nyaris tak percaya jika aku melakukan sesuatu lagi bersama dengan Hafa. Kembali. Setelah sekian lama. Berhadapan dengannya. Bukan lagi memantau dari kejauhan setiap kali fajar hendak terbit. Terakhir, nenek Kai cukup berperan untuk mencicipi tentunya. Sambil memantau dari karpet lebar yang digelar Hafa.

“Kenapa dari tadi kamu hanya diam, Fal?” Hafa bertanya.

“Eh? Itu karena aku pikir kamu mau fokus buat bersihin ikan-ikan ini,” jawabku.

Kini aku bisa leluasa untuk melihat ke arah Hafa. Sebab ini sambil melakukan kesibukan. Juga hanya ad dia tanpa ada orang lain, termasuk si menyebalkan seperti Gema itu.

“Bersihin ikan doang. Udah kayak mau ngerjain soal ujian aja,” ujar Hafa.

Aku tertawa.

Di sisi lain, aku melihat ke arah tempat Gema berada. Ia sedang membuat arang. Sambil mengipas-ngipas api dan tubuhnya secara bergiliran. Baguslah, ia tak melihat ke arah kami. Dengan begitu, aku tak perlu terlalu khawatir dengan ekspresi mengejek yang biasa ia layangkan padaku.

“Bagaimana pondok pesantrenmu? Aku selalu ingin menanyakan itu,” tanyaku.

Mendengar pertanyaanku, Hafa terlihat berpikir. Sembari melihat aksesoris langit berupa rembulan purnama dan bintang-bintang. Angin pantai di malam hari menerpa. Sudah tak ada yang bisa menandingi kenikmatan sensasi angin pantai di malam hari. Bersama aroma khasnya.

“Ya, di mana pun itu. Pasti ada hal menyenangkan dan menyedihkannya, ya. kamu pun pasti tahu itu. namun, ketika sudah tidak di sana. Baik kenangan indah maupun kenangan buruk akan selalu menyenangkan untuk diingat kembali. Walaupun tidak semuanya. Seru. Sangat seru karena aku mendapatkan banyak sekali pengalaman berharga di sana. Mulai dari agama, persahabatan, kemasyarakatan, pokoknya banyak deh. Rasanya aku ingin kembali ke sana namun tak ingin mengulangi beberapa kejadian menyebalkannya,” jawab Hafa diakhiri dengan senyuman.

“Kedengarannya menarik. Apakah bangunannya besar?”

“Iya. Besar dan banyak sekali. Karena di sana instansi pendidikannya sangat lengkap. Mulai dari TK sampai Universitas juga ada, loh.”

“Wah. Lalu, kenapa kamu nggak sekalian kuliah di sana?”

“Ah, tidak mau. 8 tahun sudah cukup lama. Aku memilih untuk melanjutkan kuliah di tempat lain saja.”

Aku mengangguk. Enggan untuk menanyakan alasannya lebih dalam lagi.

Sejenak, kami terdiam satu sama lain untuk lanjut membersihkan ikan-ikan. Mulai dari mengeluarkan isi perutnya, sisiknya, siripnya dan mencucuinya hingga bersih. Jumlahnya sebenarnya terlalu banyak untuk ukuran 5 orang. Seharusnya aku bisa mengajak ayah dan ibuku. Tante Zainab juga menyuruhku. Namun aku beralasan bahwa ini terlalu mendadak.

“Kalau kamu gimana sekolahnya, Falih?”

“Hmmm, gimana ya. Udah lulus 2 tahun lalu, sih. Jadinya, suasana di sekolah banyak yang terlupakan. Tapi, ya. Nggak ada yang istimewa. Tidak jauh berbeda dengan masa SD. Masuk pagi. Upacara di hari senin. Kalau terlambat dihukum. Bedanya, jam pulang lebih lama dan uang jajan bertambah. Udah, sepertinya cuma itu,” ujarku.

Hafa tertawa.

Tante Zainab terlihat keluar dari pintu belakang. Sambil membawa nampan berisi beberapa piring, sendok dan mangkuk.

Berbicara tentang rumah Hafa yang berlantai dua namun hanya ditempat 3 orang. Sebenarnya, jumlah asli penghuni rumah ini adalah 7 orang. Yaitu Hafa, kedua orang tuanya, kakek-neneknya dan dua adik kembarnya. Papa Hafa sedang bekerja di luar kota selama beberapa bulan, kedua adik kembar Hafa sedang mondok di pesantren yang sama dengan Hafa dan kakeknya telah meninggal sekitar 3 tahun lalu. Itulah yang menyebabkna rumah yang lumayan besar ini hanya ditinggali orang. Bahkan sebelum Hafa kembali, hanya tante Zainab dan nenek Kai yang tinggal di sini.

“Gimana ikan-ikannya Hafa? Falih?” tanya tante Zainab.

“Sedikit lagi, Ma,” jawab Hafa.

“Lalu bagaiman dengan arangnya, Gema?”

“Aman, Tante,” jawab Gema dari jarak beberapa meter sambil mengacungkan jempol.

Sebentar lagi, kami akan mulai memanggang ikan kerapu beserta kawan-kawannya. Ya, ikan kerapu yang utama karena itu adalah favorit nenek Kai. Walaupun sebenarnya kami semua juga menyukainya.

Bagaimana mungkin aku terbayang di hari yang tak terduga. Mendadak pula. Kami dengan adanya Hafa di antaranya menikmati malam bersama purnama sambil memanggang makanan lezat dan segar sepergi makanan laut yang ditangkap langsung dari habitatnya. Bukan dari perantara pasar.

Sejak usianya 12 tahun tertutup kain cadar, kini aku dapat melihat lagi wajahnya di usia 20 tahun. Terlepas dari apa pun alasannya melepaskan itu. aku bersyukur untuk malam ini.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!