TUNGGAL

Desa ini hanya terdiri dari satu dukuhan saja. Jika biasanya satu desa itu terdapat beberapa dusun, tidaklah dengan desa tempat dimana aku dilahirkan ini.

Mungkin itulah mengapa desa ini dinamakan desa Tunggal yang bisa berarti satu atau pun sendiri.

Jalanan aspal yang tidak terputus sampai di depan desa dahulu belumlah ada. Jalan yang dijadikan lalu-lalang oleh orang-orang dahulu adalah jalanan tanah yang kontur jalannya akan mengikuti bagaimana situasi langit.

Akan terasa keras dan panas di sepanjang musim kemarau. Jalanan juga akan berubah menjadi lembek dan berlumpur ketika air terus-terusan mengguyur di sepanjang musim penghujan.

Bangunan-bangunan yang berderet-deret itu dulunya adalah tanah lapang dan juga kebun-kebun dimana tempatku dulu biasanya bermain.

Udara sekarang sudah mulai mengikuti hawa udara di perkotaan.

Pagi yang dulu benar-benar terasa segar dan terasa sangat nyaman dengan hawa yang begitu sejuk yang memanjakan hidung dan wajah, sekarang udara didominasi asap-asap pabrik dan asap-asap dari ramainya kendaraan yang tanpa malu-malu langsung mengancam paru-paru.

Tunggal terletak di pelosok sekaligus terpencil. Jarak antara desa kami dengan pemukiman terdekat berkisar 25 KM dan itu satu-satunya jalur yang menghubungkan kami dengan sumber kehidupan lainnya.

Sawah, ladang dan juga kebun mengitari pemukiman warga. Tidak jauh dari rumah-rumah penduduk terlihat hutan yang masih rimbun dan nampak liar. Sungai yang menjadi sumber air bisa kami tempuh hanya dalam waktu kurang dari lima menit.

Bisa kalian bayangkan bagaimana suasana pedesaan zaman dahulu yang biasa diperlihatkan dari lukisan-lukisan buatan orang-orang dulu.

Keasrian, kesejukan dan ketenangan hidup berdampingan dengan alam sekitar yang masih begitu alami.

Seperti itulah layaknya desa Tunggal dimana dulu aku tinggal.

Selaras dengan tata letak geografis kami, penduduk di sini hampir semuanya mengerjakan hari-harinya dari pagi hingga petang di ladang dan di persawahan. Bercocok tanam adalah mata pencaharian yang kami kerjakan.

Hidup di negeri yang tropis ini memang menjadi keuntungan tersendiri bagi petani seperti kami.

Tanah Tunggal sangatlah subur. Dalam rentan 1 tahun kami bisa 2-3 kali menuai hasil panen. Padi menjadi produk unggulan kami sejalan dengan salah satu visi pemerintahan pada masa itu yang menginginkan bangsa ini mampu berswasembada dalam pangan.

Pertama kalinya desa ini dihuni hanya terdapat tidak lebih dari 25 kepala keluarga, merekalah yang menjadi penduduk awal desa ini.

Rumah-rumah kayu dengan halaman depan yang luas.

Jarak antara satu rumah dengan rumah yang lain yang masih berjauhan.

Aku sangat beruntung ketika masa kecilku aku langsung bisa bersekolah. Aku dan teman-teman sebayaku adalah murid angkatan pertama di Sekolah Dasar Tunggal.

Sedangkan anak-anak desa yang umurnya lebih tua dariku jarang ada yang bersekolah. Mereka bukannya tidak mau untuk menuntut ilmu, tapi tidak adanya fasilitas pendidikan yang memang kala itu belum ada di desa kami meskipun sudah dijanjikan dan ditagih berulang-ulang.

Begitu juga yang terjadi dengan jaminan kesehatan kami. Puskesmas terdapat di kota Kecamatan yang jarak tempuhnya sangat jauh dan belum ada alat transportasi yang selalu bisa membawa kami setiap harinya ke sana menjadi satu-satunya rujukan kami jika ingin berobat dan memerlukan penangan kesehatan lainnya.

Satu minggu sekali petugas dari puskesmas datang ke desa, itu pun hanya tertera di jadwalnya saja. Apalagi jikalau musim hujan tiba akses jalan menuju desa medannya menjadi sulit untuk dilalui.

Itulah gambaran umum tentang desa Tunggal tempat dimana aku menghabiskan masa-masa kecilku hingga aku tumbuh cukup dewasa untuk pergi meninggalkannya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!