Awan hitam tampak berkumpul di atas kepala seperti siap menumpahkan bebannya, ditambah angin bertiup kian kencang. Bukan hari yang pas untuk berburu.
Seorang gadis berambut merah terkepang, dengan busur dan anak panah ditangan tetap berjalan memasuki hutan dibuntuti pelayan setianya.
“Your highness, bagaimana kalau kita pulang saja? Sudah berapa lama kita berjalan, tapi tidak bertemu dengan hewan buruan satupun.” Pelayan setia sang putri berkata dengan cemas dan setengah lelah. Kakinya sudah berteriak minta diistirahatkan sedari tadi, bahkan cemilan yang dibawanya sebelum masuk ke hutan pun sudah habis. Sudah sejak siang mereka ada di hutan Philea ini dan sekarang matahari akan segera terbenam, tetapi sang putri belum menunjukan tanda-tanda ingin pulang.
“Sebentar lagi, Daisy. Aku yakin itu agak jauh ke dalam hutan,” balas Princess Viviane tetap teguh. Dia sudah satu bulan tidak melakukan hobinya ini, karena hukuman yang diberikan ratu karena ketahuan berburu.
Ratu sudah sering memintanya untuk menghentikan hobinya itu. Menurut sang ratu, berburu dan membunuh hanya pantas dilakukan seorang laki-laki, sedangkan seorang princess seharusnya melakukan sesuatu yang anggun seperti duduk di pesta teh menikmati gosip panas yang beredar dari setiap bangsawan Bellerian.
Viviane ingin setidaknya mendapat satu saja hewan buruan hari ini. Mau itu rusa, kijang, bahkan kelinci tak masalah baginya. Hal terpenting adalah panahnya melesat ke sasaran dan membawa daging enak untuk para pekerja kebun. Sang gadis sangat menyukai perasaan ketika anak panahnya berhasil mengenai sasaran.
“Tapi, Your Highness—”
Kata-kata Daisy terputus ketika tangan Viviane membekap mulutnya tiba-tiba.
“Sssttt … Daisy, menunduk,” bisiknya, lalu memberi isyarat dengan kepalanya agar pelayannya menatap ke depan.
Di sana di antara pepohonan dan tanaman perdu yang meranggas, seekor kijang asik mengunyah rumput. Jarak Viviane dengan kijang itu agak jauh, tetapi dia yakin panahnya bisa mencapai si kijang. Viviane tidak mengalihkan perhatian dari buruannya. Baru saja ia ingin menarik busurnya, kijang itu bergerak menjauh.
“Sial,” umpatnya pelan.
“Your highness, Anda mau kemana?” tanya Daisy saat tuan putrinya bergerak menjauh.
“Aku akan mengejarnya.”
“Jangan. Hujan sebentar lagi turun. Kita harus segera pulang.”
“Aku akan mencoba sekali lagi. Kalau gagal, maka kita akan pulang. Kau tunggu di sini saja,” ucap Viviane kemudian kembali melangkah meninggalkan pelayannya.
Daisy cuma bisa menghela nafas atas sikap sang putri yang keras kepala. Akhirnya memutuskan untuk menunggu majikannya di sana karena dirinya sudah tidak sanggup berjalan lagi. Hutan ini adalah hutan yang sering mereka masuki untuk berburu dan juga letaknya tidak terlalu jauh dari istana, jadi masih dalam wilayah yang terbilang aman. Maka dari itu, Daisy tidak terlalu khawatir membiarkan sang putri sendirian. Mereka sudah sering melakukan ini, mereka mengenali sebagian dari hutan ini dan putri Viviane lebih paham untuk tidak membahayakan dirinya sendiri. Namun, tanpa mereka sadari, ada yang mengawasi gerak-gerik mereka sejak tadi dari atas pepohonan yang rimbun.
“My Lord, apa yang akan kita lakukan sekarang?” Seorang pria dengan penutup wajah bertanya dengan pria lainnya yang tengah memakai teropong.
Sudah sejak tadi laki-laki yang disebut sebagai “My Lord” memutuskan untuk mengikuti gadis pemburu itu. Melompat dari satu pohon ke pohon lain.
Entah bagaimana dia bisa menjadi tertarik. apakah parasnya yang cantik, cara gadis itu memegang busur, atau rambut merahnya yang indah terlihat menarik di matanya
“Aku akan turun. Kalian tunggu disini,” kata pria berjubah hitam. Dia menyerahkan teropong kepada prajuritnya kemudian meraih busur dan anak panahnya yang memiliki bulu berwarna perak. Dia melompat dari atas pohon dengan ringan.
Sementara itu Viviane tanpa sadar masuk semakin jauh ke dalam hutan mengikuti buruannya. Ia perlahan mengendap-endap sekitar 30 kaki di belakang si kijang. Berusaha untuk tak terdengar dan tak terlihat. Bersembunyi di balik semak.
Merasa si kijang mulai stabil, Viviane menarik busurnya dengan anak panah berbulu merah. Mata hijaunya yang cemerlang mengawasi makhluk itu dengan tajam. Jangan sampai buruannya lepas. Viviane menahan napas ketika panah melesat ke arah si kijang menembus tubuh hewan itu hingga rubuh ke tanah.
Senyum di wajah Viviane terkembang sempurna. Cepat-cepat ia keluar dari persembunyiannya menghampiri hewan yang kini tergeletak tak berdaya. Namun baru beberapa langkah suara gemuruh tiba-tiba terdengar. Entah muncul dari mana seekor babi hutan menyergapnya. Dengan marah hewan itu berlari ke arah Viviane. Menyebabkan gadis itu panik. Ini pertama kalinya ia melihat babi hutan selama berburu di tempat ini. Itu berarti dirinya sudah memasuki hutan terlalu jauh.
Viviane berlari sekuat tenaga menghindari kejaran hewan yang terlihat ganas. Bukannya kembali ke tempat dimana Daisy menunggu, gadis itu malah berlari menjauh. Amukan babi hutan merupakan ancaman mematikan di hutan.
“Tolong!” teriak Viviane berharap seseorang mendengarnya.
Sambil berlari Viviane menarik busurnya ke belakang, dan satu panahnya mengenai babi besar itu. Pergerakannya sempat terhambat tapi sepertinya tidak terlalu berefek untuk hewan dengan taring menonjol ke atas. Babi itu malah semakin mengamuk dan mengejarnya.
“Tolong!” Viviane kembali berteriak dengan putus asa. Dalam hati ia menyesal kenapa dirinya tidak mendengarkan Daisy tadi.
Gadis itu mulai kehabisan nafas, kakinya seperti kehilangan tenaga. Terlebih saat dia terpojok di tepi jurang yang dalam. Sementara suara hewan itu terdengar kian mendekatinya, Viviane dengan gemetar melepaskan anak panah terakhir di tangannya bersamaan dengan tubuh babi hutan yang anehnya tersungkur ke dekat kakinya.
Viviane yang pucat pasi kemudian mendengus lega. Dadanya naik turun berkejaran dengan nafasnya yang tidak beraturan. Wajah putihnya semakin pucat dengan keringat sebesar biji jagung mengalir di pelipisnya. Sumpah demi apapun, dia sangat ketakutan tadi.
Viviane memperhatikan hewan yang tergeletak sekarat. Ada tiga panah yang menancap di tubuh hewan itu, satu panah yang ia tembakan di awal dan panahnya yang barusan sudah pasti tidak mengenai babi hutan itu.
Lalu milik siapa dua panah perak ini? Batin Viviane ketika melihat panah dengan bulu perak menancap menembus ke bagian terdalam hewan itu.
“Anda baik-baik saja, Nona?”
Viviane terkejut ketika sebuah suara menginterupsi nya. Dengan cepat menoleh ke sumber suara dan menemukan seorang pemuda berbaju lusuh dengan jubah hitam keluar dari balik semak. Dipunggungnya kantong anak panah berbulu perak menyembul. Sementara anak panah yang dikenal Viviane tertancap sempurna di pundak sang pria.
“Oh tidak,” desis gadis berambut merah sebelum pria asing itu ambruk ke tanah
...Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Nayla Fecky
ceritanya sangat menarik
2024-02-10
0
Pretty_Mia
Jalan cerita hebat.
2024-01-27
1