"Obatin dulu," ucap Kenzo dengan wajah serius.
Ia menarik tanganku, tetapi langkah kami terhenti oleh kemunculan seorang gadis cantik jelita dengan mata yang berkaca-kaca, padahal, seingatku, dimatanya enggak ada kaca.
Aku merasa seperti sedang terperangkap dalam adegan drama romantis, tapi dengan sentuhan komedi absurd.
"Hiks... hiks... maafin gue. Gue enggak sengaja," ucapnya dengan nada bergetar, sambil memegang tangan Kenzo.
Aku melihatnya sekilas dan cepat-cepat menundukkan kepalaku.
Nyatanya, di depanku adalah si protagonis yang selalu menjadi rebutan para cogan berduit.
Aku langsung mikir, 'Aduh, ini dia yang selalu jadi penyebab drama dan masalah di sekitar.' Mana kalau nangis suaranya hiks hiks hiks lagi.
"Aku enggak mau kena masalah sama dia," bisikku pelan pada diri sendiri.
Namun, teriakan suara beledek yang tiba-tiba muncul menambahkan nuansa kocak pada adegan ini.
"Lo apain Kiara?" teriaknya, seolah-olah berada di tengah-tengah pertunjukan opera sabun yang tak berujung.
"Tanya aja ke cewek lo?" ketus Kenzo dengan ekspresi serius.
Wajahnya yang ganteng di mata orang, tapi di mataku kelihatan seperti orang penanggih hutang.
Aku bahkan bertanya-tanya apakah dia pernah mencoba senyum dalam hidupnya.
"Dia apain lo?" tanya Gemma.
Ya, Gemma. Tokoh protagonis yang ganteng, baik hati, suka menabung, tapi dia bukan tipeku.
Sosok yang selalu tampil sempurna di mata banyak orang, tetapi di hatiku, dia seperti botol saus tomat yang tergeletak di sudut dapur, bagus tapi jarang terpakai.
"Gue enggak sengaja numpahin kuah bakso di cewek ini," tunjuk Kiara padaku, "terus Kenzo marah," lanjutnya.
Aku merasa seakan menjadi bahan stand-up comedy hidup karena Gemma yang tampaknya tertarik dengan kisahku yang klise ini.
Aku menundukkan kepalaku karena Gemma Gemma ini melihatku dengan penuh perhatian.
Seakan-akan aku adalah bintang dalam drama sehari-hari yang harus diobservasi.
Tiba-tiba, Bimo, si hobi tari tambang, malah menarik tanganku dan membawaku ke UKS bersama dengan Revan.
"Lah, bos kalian di tinggal?" tanyaku setelah setengah perjalanan.
Aku merasa seperti karakter dalam film komedi yang kehilangan naskah dan tak tahu harus kemana.
Mungkin UKS adalah tempat teraman di dunia novel ini, atau setidaknya itu yang kuduga.
Ketika sampai di UKS, suasanya tenang seolah berada di alam.
"Obati dia. Dia kena kuah bakso," ucap Bimo dengan nada dingin, sedingin es batu.
"Baik," ucap dokter tersebut, seolah-olah baru saja menerima tugas penyelamatan dunia.
"Hm," timpal Revan.
Keduanya keluar, meninggalkan aku dalam genggaman nasib di tangan sang dokter perempuan.
Dokter perempuan itu memandangku dengan serius, seakan-akan aku adalah kasus medis yang sangat mendesak.
Aku merasa seperti pasien utama dalam sebuah episode drama medis yang tayang setiap hari di televisi.
"Kamu siswi baru?" tanya dokter dengan ekspresi seperti baru saja menemukan unicorn hidup di UKS.
"Iya," jawabku pelan, mencoba tidak menimbulkan kepanikan lebih lanjut.
"Kenapa?" tanyaku, sambil mempertimbangkan apakah aku memasuki sebuah cerita horor atau hanya sekadar sketsa komedi absurd.
"Oh, enggak papa," ucap dokter, memandangiku seolah-olah aku adalah contoh hidup dari Murphy's Law yang berjalan dengan sempurna.
"Kamu olesin ya obatnya ke lukamu biar enggak berbekas," ucapnya sembari memberiku salep.
Aku menerimanya dengan ekspresi senang, berpikir bahwa ini mungkin satu-satunya keuntungan di dunia novel ini.
"Ini gratis kan?" bisik hatiku dalam hati, bersiap-siap untuk sebuah twist tak terduga.
"Dan ini kamu ganti baju ini," ucapnya sembari memberikanku seragam sekolah baru.
Aku meraih seragam itu dengan rasa ragu, seakan-akan menunggu dokter menyuguhkan tagihan besar di bawah bantal tempat tidurku.
"Ini... gratis juga, kan?" gumamku dengan nada curiga, dalam drama komedi yang berusaha mencari akal di tengah-tengah kekonyolan.
"Kalau kamu dibawa sama mereka, artinya gratis," ucap sang dokter sambil tersenyum misterius.
Dia yang dimaksud adalah Bimo dan Revan. Ternyata ada untungnya juga memiliki teman sekelas seperti mereka.
"Kamu istirahat di sini saja," ucap sang dokter, menunjuk tempat tidur di ruang UKS.
"Baik," ucapku sambil pura-pura sedih, padahal hatiku melompat kegirangan karena tidak harus belajar di kelas.
Aku bobok cantik di UKS, menganggapnya sebagai bonus tak terduga dari petualangan gila ini.
Aku bangun dari tidurku seolah-olah aku adalah putri salju.
Dan ketika aku membuka mataku, kupikir aku melihat kurcaci. Tapi mereka semua kelihatan ganteng.
"Loh, kalian ngapain di sini?" tanyaku bingung.
Ya, mereka adalah Kenzo, Bimo, dan Revan.
"Jagain lo," jawab Kenzo dengan suara dingin yang membuatku tiba-tiba merinding.
"Lo tidur lama banget sih," ejek Bimo.
Entah mengapa, sejak pertama bertemu dengannya, dia adalah orang yang paling menjengkelkan.
"Nih makan, bos yang beliin," ucap Revan sembari menyodorkan makanan.
Aku langsung menerimanya.
"Makasih."
Setelah itu, aku langsung makan seperti orang kelaparan, seakan-akan baru keluar dari hibernasi panjang.
"Kok kayak gini ya, lebih enak daripada di kamar sendiri," gumamku sambil menyantap makanan dengan lahap.
Tiba-tiba, aku mendengar suara dari samping. Setelah kulihat, ternyata ada Kiara dan empat pangdrannya sedang bercanda tawa.
"Balik kelas yuk," ajakku setelah selesai makan.
Mereka bertiga tampak bingung melihatku? Apa? Kenapa? Ada yang salah?
"Beneran mau ke kelas?" tanya Revan sok perhatian.
"Iya," jawabku.
Aku turun dari ranjang, dan tiba-tiba terdengar suara perempuan.
"Lo udah mendingan?" tanya Kiara dengan raut sedihnya.
"Iya, udah mendingan kok," jawabku sambil menunduk.
Padahal mah, sejujurnya, aku cuma ogah lihat dia aja.
"Maaf ya, lo jangan dendam ke gue. Gue enggak sengaja," ucapnya sederamatis mungkin.
"Iya, enggak papa kok." Aku tersenyum manis, berpikir untuk menyusun skenario balas dendam yang epic, seperti mengganti pasta gigi Kiara dengan wasabi.
Aku berjalan keluar dari UKS diikuti oleh tiga cecunguk.
Aku enggak mau beraul sama mereka, tapi kalau aku tunjukin rasa enggak suka, pasti mereka bakalan mulai membuly aku.
"Put?" panggil Bimo.
"Apa?" tanyaku balik.
"Lo punya duit enggak?" tanyanya tiba-tiba.
Aku langsung berhenti. Nah kan, dia mau malakin aku ya?
Kalau aku enggak kasih, apa dia bakalan bikin aku babak belur? Tapi kalau aku kasih, entar mereka ngelunjak.
"Ini," ucapku sambil memberikan seluruh uang yang ada di sakuku.
Aku berharap dengan memberikan uang, mereka nggak akan merepotkan aku lebih lanjut.
Semoga saja ini cukup untuk membeli ketenangan dari 'ancaman' mereka.
"Lo pindah sekolah karena di bully ya?" tebak Revan.
Siapa coba orang sinting yang berani bully anak mafia? Cari mati itu namanya.
"Enggak kok," jawabku.
"Makasih uangnya," ucap Bimo tanpa dosa.
Dia memasukkan ke dalam saku celananya, dan aku hanya bisa menghela napas panjang.
Dan kami kembali ke kelas dan mulai belajar lagi. Rasanya aku pengen nangis. Padahal pengen hip-hip hura-hura tapi enggak jadi karena di palak.
Revan, yang tiba-tiba memandangi tembok seolah-olah menemukan petunjuk kehidupan di sana, berkata, "Tau enggak, tembok ini sebenernya bisa jadi guru terbaik kita."
Bimo yang sudah mendengar ucapan Revan langsung menyahut, "Emangnya isi kepala lo udah kayak buku pelajaran ya? Gue pikir cuma bisa nyimpan lagu dangdut doang."
Mereka ketawa ngakak, seolah-olah enggak ada dosa sama sekali, padahal di depan mereka ada guru yang sedang mengajar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments