Hari ini adalah hari yang menyebalkan, aku harus ikut ibu di reuni keluarga yang di adakan satu bulan sekali. Biasanya ini adalah tugas Ratna, berhubung adik kesayanganku itu baru saja masuk kuliah kebidanan di luar kota. Jadilah aku yang ketiban apes harus mengantarkan ibu ke reuni keluarga. Aku bicara seperti ini bukan karena aku anak durhaka, semua itu tentu ada sebabnya. Aku malas bertemu sanak saudara yang merasa paling tau tentang kehidupanku, di ceramah,i dan pada akhirnya mereka akan berlomba untuk menjodohkanku.
"Hati hati put kalau Bawak motor, dari tadi kamu tuh sembarangan kalau nyetir. Tau gitu ibuk aja tadi yang nyetir"
"Ini udah hati hati buk, ibu duduk manis aja di belakang" ucapku.
"Put put depan ada truck Lo put, put lihaten depan itu loh ada truck"
"Iya ibuk......, puput tau"
"Jangan ngawur ta kalau nyetir"
Ya Allah ya Rasulullah, jika saja yang aku bonceng ini bukanlah ibuku, pasti sudah aku suruh turun di pertigaan jembatan tadi.
Beginilah ibuku, Raden Lasmiati Kusuma Dewi ini memanglah orang yang sangat cerewet, semua hal di komentari olehnya. Mulai dari jalanan, penampilan ibu ibu senam dan lain sebagainya. Suaranya pun keras dan lantang, hampir 15 tahun menjadi guru matematika tentunya melatih suara ibu tetap lantang jika bicara. Tapi biar pun begitu, ibuku adalah orang yang baik yang pernah ada di dunia. Hobinya masak, masak dalam skala besar, jika masakan sudah matang, maka ibu akan menyuruhku dan Ratna untuk mengantarkan makanan ke para tetangga. Ibuku adalah seorang perempuan yang cantik, wajahnya hampir sama denganku, mata kami sama sama sipit meski bukan keturunan cina, hidung kami mungil atau bisa kalian sebut pesek, kulit kami putih tapi pucat, rambut kami hitam dan lurus serta sifat kami yang plek ketiplek sama. Hal itu yang menyebabkan kami gampang berselisih paham dan bertengkar karena hal hal kecil. Sementara Ratna, dia adalah kebalikan semua dari ibu dan aku. Mata Ratna besar, indah dan berbinar, bulu matanya panjang, hidungnya mancung dan bibirnya tipis, kulitnya kuning Langsat, rambutnya hitam, lebat dan bergelombang. Dia juga mempunyai wajah yang sabar dan murah senyum, Ratna tak pernah marah, sekalipun dia marah, dia hanya diam dan tak berkata apapun. Kata ibu, Ratna sangat mirip dengan ayah. Selama ini pertengkaranku dan ibu selalu ada Ratna yang jadi penengah. Aku sampai menangis meraung Raung saat Ratna berangkat ke luar kota seminggu yang lalu, selain merasa kehilangan aku juga merasa ketakutan jika ibu sampai naik pitam terhadapku, tak ada lagi Ratna yang membelaku.
...........
"Put..puput, put...!!!!!"
"Iya buk iya kenapa?"
"Kenapa kenapa...., rumah pak.dhe Wiryo sudah kelewat jauh, tadi harusnya belok kiri lah kamu malah lurus aja, piye to put put"
"Eh iya ta buk, maaf maaf" jawabku sambil membelokkan sepeda secepatnya.
"Mangkanya jadi wong Wadon (Cewek) itu jangan ngelamun aja, kok bisa rumah p.dhe sendiri bisa lupa"
"Iya kan puput jarang kesini to buk, wajar kalau lupa" aku ngeles.
"Halah wajar apanya, kamu tuh mangkannya cepet nikah biar nggak ngelamun ae, lihaten ta tuh anaknya bu.dhe Supri, Udah gendong anak to, padahal baru lima bulan kemaren nikahan, sat set itu namanya"
"Buk mbok ya istigfar buk, itu bukan sat set namanya, ya Allah" Ucapku mengelus wajah, motor sudah terparkir di halaman luas rumah pak.dhe Wiryo. Sepupuku Anis memang baru menikah lima bulan lalu, tapi sekarang anaknya sudah lahir. Anis baru berumur 19 tahun dan dia sudah menikah serta memiliki anak. Bagi anggota keluargaku, itu adalah salah satu prestasi yang patut di banggakan. Hal itu karena Anis berhasil mendapatkan suami kaya raya dari desa sebelah, Namanya Roby anak Juragan cabai yang sawahnya berhektar hektar.
..........
"Assalamualaikum" ucapku dan ibu bebarengan.
"Wallaikumsalam" jawab para saudaraku yang sudah berkumpul di dalam rumah pak.dhe Wiryo.
"Eh puput to ini, sini ndok (panggilan untuk anak perempuan) duduk Deket bu.dhe" Bu Dhe Supri menyuruhku duduk di dekatnya, tepat di sebelah Anis yang sedang menggendong bayinya, tiba tiba perasaanku menjadi tak enak.
"Enggeh Budhe" jawabku, aku pun melangkah ke sebelah Anis, saat hendak duduk tiba tiba budhe Supri mengeluarkan kata kata mutiaranya.
"Eh put, nggak pengen ta gendong anak, nggak pengen ta punya suami, itu loh adikmu Anis udah punya anak, padahal masih muda. Lah kamu yang udah tua kok belum nikah nikah" ucap Budhe Supri secara tiba tiba, ini termasuk penyerangan tanpa aba aba. Aku tersenyum canggung dalam posisi yang tak kalah canggung.
(Aku belum duduk Lo ini, udah di cecer sama pertanyaan yang menyebalkan) ucapku dalam hati.
Semua yang ada di ruangan memandangku layaknya tontonan yang unik, tatapan mereka beraneka ragam, ada yang kasihan, ada yang penasaran dan ada pula yang cengengesan.
Aku yang duduk sebelah Anis, ingin rasanya berpindah duduk di pojokan ruangan, bersembunyi di antara kotak berkatan yang telah terusun rapi. Sekalian biar tak terlihat.
"Yah jangan di bandingkan to yuk Supri, Anis sama puput jelas beda. Kalau puput wajar belum nikah, dia kan selesai sekolah masih kuliah dan sekarang masih ngurusi karirnya" Ibu membelaku, meskipun ibuku galak. Tapi beliau tak terima jika anaknya di hina orang lain.
"Halah karir apa, wong kerjanya jual baju online, tokonya juga kecil to" Budhe Supri tak mau kalah.
"Eh jangan menyepelekan budhe, omset jualan baju online sekarang sangat lancar, satu hari bisa jutaan Lo, apa lagi toko baju milik puput udah terkenal di kota sini?" Kali ini Mbak Fatma yang membelaku, Mbak Fatma adalah anak dari pakdhe Wiryo, kami memang lumayan dekat sejak kecil. Aku menoleh ke Mbak Fatma, aku tersenyum tanda terimakasih telah di bela.
"Lagian jangan suka banding bandingkan orang lain dengan anakmu sendiri, sengaja biar perhatian orang orang yang mengarah ke anak dan cucumu itu kan, jadi kamu membahas Puput yang belum menikah" Ibu sepertinya sudah hilang kesabaran, kata kata ibu mulai pedas terdengar.
"Maksud kamu apa dek Lasmi?"
"Yuk Supri Taulah maksud saya apa, nanti kalau saya jelaskan. Yuk (panggilan kakak perempuan dalam bahasa Jawa) malah semakin kaget dan tidak terima loh"
Budhe Supri terdiam mendengar kata kata ibu, beliau tetap diam sampai acara berakhir. Aku sebenarnya tak ingin adu argumen ini terjadi. Tapi budhe Supri memang seperti itu orangnya, senang bergosip dan merendahkan orang lain tanpa mengaca dahulu.
..........
"Ibu lain kali jangan gitu, nanti kalau budhe Supri tersinggung dan marah sama kita gimana?"
"Ora nguros ndok, mangan gak jalok dekne (Gak mau tau, makan gak ikut dia kok)"
"Iya tapi kan ibu jadi di musuhi"
"Halah saudaranya Ayahmu sedari dulu memang begitu ndok, apa lagi yang namanya Supri. Bisanya gosip dan merendahkan orang lain. Dulu ndok Fatma yang di gosipin katanya kemedan (cinta mati) sama anaknya pak kades, lah sekarang buktinya ndok Fatma di nikahin to sama Bagus"
"Iya sih Bu"
"Ibu nggak terima kalau kamu jadi bahan olok olok orang lain, meskipun kenyataannya kamu memang belum menikah"
Mendengar kata kata belum menikah, aku jadi meringis.
"Mangkanne ta cepeto rabi (Mangkannya cepet nikah)
"Iya kan ini juga lagi berusaha Ibu, mau cari yang terbaik buat tak jadiin suami"
"Heleh ngomong tok nggak enek buktine ( bicara terus gak ada buktinya)
Ibu langsung pergi ke kamarnya untuk istirahat, sementara aku juga pergi ke kamarku untuk berganti baju. Aku bukannya tak sakit hati dengan perkataan budhe Supri, aku hanya terlalu kebal dengan omongan mereka. Semoga saja suatu saat nanti aku bisa benar benar menemukan jodoh untuk diriku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments